GELORA.CO - Mantan Menkopolhukam, Mahfud MD, menanggapi pihak yang menyebut Soeherto terlibat pelangaran HAM berat masa lalu.
"Yang saya dengar, Pak Harto itu kan diduga terlibat melakukan pelanggaran HAM berat," katanya dilansir dari siniar Mahfud MD Official di Jakarta, Kamis, 13 November 2025.
Menurut Mahfud, sebenarnya tudingan itu tidak berdasar karena pemerintah tidak menyatakan Soeharto sebagai pelanggar HAM berat.
"Presiden Jokowi itu pernah membuat pengakuan bahwa pernah terjadi pelanggaran HAM berat di dalam 13 peristiwa," katanya.
Sslah satunya, adalah peristiwa tahun 1965-1966. "Itu kan tidak menyebut nama Pak Harto, peristiwa-[nya] yang disebut, dan peristiwa 66 itu, presidennya belum Pak Harto," ucapnya.
Menurut Mahfud, presiden saat itu adalah Bung Karno. Kemudian, peristiwa 1965 atau peristiwa pembantaian orang-orang yang disebut PKI sudah diadili oleh Mahmilub.
"Jadi Presiden Jokowi itu hanya mengatakan, mengakui terjadi pelanggaran HAM berat di 13 peristiwa," katanya.
Mahfud menegaskan, Presiden Jokowi mengakui itu bukan karena kehendaknya sebagai presiden, melainkan kehendak undang-undang.
"Undang-undang mengatakan, yang menentukan satu peristiwa itu pelanggaran HAM berat atau bukan, itu adalah Komnas HAM," katanya.
Menurut Mahfud, kalau Komnas HAM telah menetapkan, maka presiden tidak boleh mengatakan tidak setuju atau menolak.
"Gak boleh dong, undang-undangnya mengatakan begitu. Oleh sebab itu, [presiden] mengakui," ucapnya.
Meski mengakui ada peristiwa pelanggaran HAM berat, namun secara teknis yuridis atau hukum tidak bisa dibawa ke pengadilan.
"Sudah dicoba berkali-kali, enggak bisa dibawa pengadilan. Ada yang buktinya gak ada, ada yang pelakunya enggak ada, dan seterusnya," kata dia.
Atas dasar itu, Presiden Jokowi waktu itu memberikan keadilan terhadap korban pelanggaran HAM berat.
"[Penyelesaian] terhadap korban, bukan terhadap pelaku. Pelakunya siapa? Sudah 35 orang dibawa ke pengadilan bebas semua, enggak bisa dibuktikan," ungkapnya.
Menurut Mahfud, penyelesaian para pelaku pelanggaran HAM berat itu urusan DPR, Kejaksaan Agung, dan Komnas HAM.
"Silakan, gimana cara mengadili hal-hal yang setiap dibawa ke pengadilan tuh gagal terus, kan begitu," ucapnya.
Atas dasar itu, Mahfud menilai bahwa Soeharto tidak ada kaitannya secara langsung dengan peristiwa 1965 karena peristiwa 1965–1966 belum menjadi presiden.
"Pak Harto jadi presiden kan tahun 1967, tanggal 11 Maret mengambil alih pemerintahan secara de facto, meskipun de jure-nya masih Bung Karno," katanya.
Mahfud menyebut ada tujuh tafsir, di antaranya dari NU, TNI, dan seterusnya. Ini belum ada pengadilannya.
"Oleh sebab itu, kalau itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak [gelar Pahlawan Nasional Soeharto]," katanya.
Ia berpendapat, kalau soal ada catatan hukum, semua presiden sama-sama mempunyai catatan.
"Presiden-presiden tuh semuanya intervensionis. Kalau enggak intervensionis rakyatnya pecah, kira-kira gitu waktu itu alasannya," katanya.***
Sumber: konteks
