Purbaya, Suara Tenang di Tengah Riuh

Purbaya, Suara Tenang di Tengah Riuh

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh:Agung Nugroho

DI tengah politik yang semakin bising dengan klaim dan sorak-sorai kemenangan, suara jernih sering tenggelam. Semua orang ingin bicara, sedikit yang mau mendengar. 

Namun kadang, satu sikap tenang justru berbicara lebih keras dari ribuan kata. Purbaya Yudhi Sadewa memilih jalan itu -- tidak dengan teriakan, tidak dengan panggung, tapi dengan diam yang penuh makna.

Belakangan publik ramai memperbincangkan soal utang Whoosh. Angka-angka besar beterbangan di layar berita, istilah ekonomi jadi bahan debat, sementara rakyat kecil hanya bisa menatap layar sambil bertanya-tanya: siapa yang nanti akan membayar semua ini? 




Di tengah hiruk-pikuk itu, nama Purbaya muncul, bukan karena ia ikut menambah kebisingan, tapi karena ia justru menepi dari sorotan.

Banyak yang mengira itu bentuk menghindar. Tapi bagi sebagian orang yang masih percaya bahwa sikap juga bisa menjadi pernyataan. Ketidakhadirannya di podium justru jadi pesan paling jujur. 

Purbaya seolah ingin mengatakan, tidak semua kehadiran harus ditunjukkan, apalagi jika rakyat sedang menahan napas di tengah beban ekonomi yang makin berat. Diamnya menjadi tanda hormat kepada kesadaran publik, kepada perasaan banyak orang yang mulai lelah melihat pesta di tengah krisis.

Kadang, diam justru lebih jujur daripada pidato panjang yang dibuat untuk memoles citra. Karena tidak semua yang ramai adalah kebenaran. 

Di masa ketika politik telah berubah menjadi arena penampilan, langkah sederhana seperti itu justru terasa langka. Banyak pejabat lebih sibuk menjaga elektabilitas ketimbang menjaga rasa malu. Survei menjadi kompas, bukan lagi nurani.

Namun Purbaya memilih arah yang berbeda. Ia tahu, politik seharusnya tentang keberanian menjaga kejujuran, bukan tentang siapa yang paling sering tampil di layar. 

Ia tidak ingin menari di atas penderitaan rakyat, tidak ingin menambah simbol palsu di tengah rakyat yang sedang menanggung beban utang. Ia mungkin tidak populer karenanya, tapi ia tetap teguh menjaga martabatnya sebagai pelayan publik.

Elektabilitas mungkin menurun, tapi sejarah tak pernah mengingat angka. Sejarah hanya mencatat sikap. Dan dalam politik yang kehilangan rasa, sikap seperti itulah yang paling bernilai. 

Purbaya tidak sedang melawan siapa pun. Ia hanya berusaha menjaga agar akal sehat tetap punya tempat di republik ini. Ia mungkin hanya satu di antara banyak suara, tapi dalam gelombang kebisingan yang menenggelamkan nurani, satu suara tenang bisa jadi kompas bagi rakyat yang masih percaya bahwa negeri ini belum sepenuhnya gelap.

Mungkin Purbaya tidak akan viral. Tapi ketika rakyat mulai bosan dengan drama politik yang penuh kepura-puraan, nama-nama seperti dirinya akan kembali dicari. Karena di balik diamnya, ada keberanian. 

Di balik ketenangannya, ada rasa hormat pada rakyat. Dan di balik satu sikap yang sederhana itu, tersisa keyakinan bahwa integritas belum benar-benar hilang dari republik ini.



(Direktur Jakarta Institute)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita