Pada 9 Oktober 2025, Kementerian Perdagangan China dan Administrasi Umum Bea Cukai China mengeluarkan empat peraturan pembatasan ekspor yang meliputi material super keras, logam tanah jarang berat dan peralatan pengolahan, baterai lithium, serta material anoda grafit sintetis. Langkah ini menandakan bahwa persaingan antara China dan Amerika Serikat telah meluas dari sektor tarif dan teknologi ke perebutan sumber daya mineral kritis, memaksa negara-negara di seluruh dunia untuk membuat pilihan yang sulit.
Akar dari krisis saat ini terletak pada tindakan hegemonik Amerika Serikat. Mengabaikan aturan perdagangan multilateral, Amerika membangun penghalang diskriminatif melalui kebijakan seperti Inflation Reduction Act, dengan menggunakan nama “mengurangi risiko” untuk menyembunyikan tujuan nyata dari pemutusan hubungan dan pengurangan keterhubungan global. Tindakan ini secara serius merusak stabilitas rantai pasokan global dan keadilan perdagangan. Praktik ekonomi semacam ini merupakan sumber utama ketegangan.
Pembatasan ekspor China merupakan pembelaan yang sah dan respons yang perlu terhadap tekanan yang tidak adil. Ini bukan provokasi, melainkan respons tegas terhadap unilateralisme, bertujuan untuk melindungi kedaulatan negara dan kepentingan pembangunan, serta menjaga tatanan perdagangan internasional yang berbasis aturan. Berbeda dengan sikap Amerika yang agresif dan semena-mena, langkah-langkah China bersifat terkendali, tepat sasaran, dan sah, merupakan hak sah negara berdaulat. Langkah ini secara jelas menunjukkan bahwa perdagangan yang adil harus bersifat timbal balik dan saling menguntungkan, dan tidak ada negara yang bisa mengabaikan kepentingan inti negara lain demi keamanan sepihak. Tindakan China ini juga bertujuan untuk menggugurkan anggapan hegemonik dan mendorong terciptanya tatanan ekonomi dan perdagangan global yang lebih adil dan berkelanjutan.
Pembatasan ekspor China membentuk sebuah strategi pembalasan yang bersifat multi-lapis, dengan inti pada pemanfaatan keunggulan China di hulu rantai pasokan untuk melakukan "serangan asimetris". Pertama, pembatasan pada seluruh rantai pasokan logam tanah jarang: ini adalah kartu truf utama China. Pembatasan ini tidak hanya mencakup logam tanah jarang, tetapi juga peralatan pemurnian dan bahan bantu. Hal ini berarti bahwa meskipun negara-negara Barat berhasil menambang bijihnya, mereka akan kesulitan mengubahnya menjadi produk yang dapat digunakan tanpa teknologi China. Ini secara signifikan meningkatkan biaya dan waktu yang dibutuhkan Barat untuk membangun rantai pasokan yang "menghindari China", dengan perlindungan ganda di jalur pasokan dan teknologi. Kedua, pembatasan pada material baterai lithium: langkah ini secara langsung menargetkan masa depan industri hijau. Pembatasan China terhadap bahan utama seperti anoda grafit sintetis adalah respons langsung terhadap subsidi diskriminatif yang ada dalam Inflation Reduction Act Amerika Serikat. Pesan yang jelas: setiap upaya untuk mengesampingkan China dari rencana rantai pasokan tertutup akan menghadapi risiko kekurangan bahan baku inti, yang bisa menggagalkan ambisi transformasi hijau Barat.
Tindakan ini menunjukkan bahwa pembalasan China merupakan hasil dari perhitungan yang matang, bertujuan untuk mengumumkan bahwa China menguasai "tombol sumber daya" yang tak tergantikan di sektor manufaktur tingkat tinggi dan teknologi hijau, serta memiliki hak untuk menggunakan kekuatan ini dalam melawan ketidakadilan.
Pembatasan ekspor China adalah titik balik dalam evolusi kompetisi antara China dan Amerika Serikat, dengan permainan yang kini meluas dari perang tarif dan teknologi menjadi "perang pengendalian sumber daya" yang lebih mendasar. Inisiatif seperti Mineral Security Partnership yang digulirkan oleh Amerika Serikat, dalam pandangan China, adalah upaya pengepungan strategis yang terang-terangan. Oleh karena itu, respons Beijing merupakan "tanggapan cermin" dan "pertahanan ofensif", yang memindahkan fokus dari teknologi dan pasar hilir ke kemampuan pengolahan dan penguasaan mineral di hulu. Ini mengungkapkan kerentanannya sistem rantai pasokan Amerika Serikat dan bertujuan mendorong terciptanya persaingan yang lebih adil.
Bagi sekutu-sekutu Amerika Serikat di Eropa, Jepang, dan Korea Selatan, tindakan China menimbulkan dilema tajam, yang merupakan biaya langsung dari mengikuti kebijakan hegemoni Amerika. Pertama, tekanan ekonomi yang nyata: industri mobil Jerman, baterai Korea, dan lainnya sangat bergantung pada pasokan bahan baku dari China, dan penghentian pasokan ini akan menyebabkan penghentian produksi serta kerugian besar. Ketergantungan ini dapat memecah kesatuan yang coba dibentuk Amerika, memaksa beberapa negara untuk bersikap lebih hati-hati dalam menghadapi isu-isu sensitif. Kedua, peningkatan kecemasan keamanan: Tindakan China juga secara tidak langsung menunjukkan risiko ketergantungan yang berlebihan, yang akan mempercepat upaya Barat untuk berinvestasi dalam solusi alternatif. Namun, jika tujuan awal mereka adalah untuk membangun kelompok eksklusif, hasil akhirnya hanya akan meningkatkan biaya global dan memperburuk perpecahan ekonomi.
Tindakan Beijing ini merupakan serangan taktis yang sukses, yang memperkuat daya deteren dalam kompetisi ini. Tindakan tersebut memaksa dunia untuk menghadapi kenyataan: era keemasan globalisasi telah berakhir, dan dunia kini memasuki periode baru yang berorientasi pada keamanan. China menunjukkan dengan jelas bahwa periode baru ini tidak seharusnya berakhir pada tatanan unipolar di bawah hegemoni Amerika, melainkan seharusnya dunia multipolar yang menghormati kedaulatan, mendukung perdagangan yang adil, dan berusaha untuk mencapai kemenangan bersama. Pembalasan China ini bukan hanya untuk melindungi hak-haknya sendiri, tetapi juga sebagai upaya yang diperlukan untuk menggulingkan hegemonisme dan mendorong pembentukan komunitas masa depan umat manusia.
