Oleh:Selamat Ginting
PEKAN ini, kebijakan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, kembali menyita perhatian publik. Dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mulai merazia kendaraan berpelat luar provinsi, termasuk pelat BL asal Aceh. Tujuannya jelas: menertibkan kendaraan milik perusahaan yang secara operasional berada di Sumut, namun terdaftar di luar daerah, agar pajaknya masuk ke kas Sumut.
Kebijakan ini tentu berdasar pada kewenangan otonomi daerah dalam mengelola sumber pendapatan. Namun, respons yang muncul, khususnya dari masyarakat Aceh dan pimpinan daerahnya, menunjukkan bahwa kebijakan teknokratis seperti ini tetap memerlukan pendekatan sosiologis dan komunikasi politik yang cermat.
Dimensi Politik: Tegas, Tapi Harus Inklusif
Dari sudut pandang politik lokal, langkah Gubernur Bobby dapat dimaklumi. Mengoptimalkan penerimaan pajak dari kendaraan yang memang beroperasi di Sumut adalah bagian dari tanggung jawab seorang kepala daerah. Namun demikian, dalam konteks hubungan antarprovinsi, terlebih dengan Aceh yang memiliki status dan identitas kedaerahan yang kuat, kebijakan ini memerlukan kehati-hatian.
Aceh bukan sekadar tetangga geografis, melainkan juga saudara dalam sejarah panjang kebangsaan. Oleh karena itu, ketika pelat BL menjadi sorotan dalam razia, respons dari Aceh tidak bisa dihindari. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), memang merespons dengan tenang. Namun jika tidak dikelola dengan baik, ketegangan simbolik ini bisa berujung pada ketidaknyamanan relasi antarwilayah.
Dimensi Sosiologis: Identitas dan Kohesi Sosial
Dari sisi sosiologis, pelat kendaraan telah melampaui fungsi administratif. Ia menjadi simbol identitas daerah, apalagi bagi masyarakat Aceh yang sangat menjunjung tinggi kedaulatan daerah dan nilai-nilai lokal. Ketika pelat BL dirazia, banyak masyarakat Aceh memaknainya bukan sekadar razia pajak, melainkan sebagai bentuk perlakuan yang tidak adil terhadap identitas kolektif mereka.
Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, kebijakan yang menyentuh simbol-simbol identitas harus disampaikan dengan pendekatan persuasif dan edukatif, bukan semata tindakan represif. Komunitas di wilayah perbatasan Aceh-Sumut, yang selama ini hidup dalam relasi sosial yang cair dan harmonis, bisa terdampak secara sosial jika kebijakan ini menimbulkan rasa curiga atau ketidaknyamanan.
Menghindari Polarisasi, Mengedepankan Dialog
Kita tentu memahami semangat Gubernur Sumut dalam meningkatkan PAD. Namun pendekatan teknis harus dilengkapi dengan pendekatan kultural dan politis. Jangan sampai niat baik itu menimbulkan sentimen negatif yang bisa memperlemah semangat kebersamaan antardaerah.
Ada beberapa langkah yang bisa diambil:
1. Perlu ada komunikasi langsung antar pemerintah provinsi. Pemprov Sumut dan Pemprov Aceh bisa duduk bersama untuk menyepakati pendekatan terbaik dalam menyikapi kendaraan perusahaan yang beroperasi lintas wilayah.
2. Sosialisasi kepada masyarakat harus dilakukan secara terbuka dan persuasif. Penegakan hukum bisa dilakukan tanpa menimbulkan kegaduhan sosial, dengan mengedepankan edukasi tentang pajak daerah dan hak serta kewajiban warga.
3. Data dan fakta perlu menjadi dasar. Razia hendaknya berbasis domisili operasional kendaraan, bukan semata pelat nomor. Ini untuk menghindari kesan generalisasi atau diskriminasi.
Penutup
Dalam negara kesatuan yang majemuk seperti Indonesia, relasi antarwilayah harus dijaga dengan saling pengertian, bukan kecurigaan. Otonomi daerah bukan hanya tentang wewenang, tetapi juga tentang tanggung jawab moral dan sosial untuk menjaga harmoni antar saudara sebangsa.
Kebijakan fiskal harus bijak dan berkeadilan, agar semangat membangun Indonesia dari daerah tidak berubah menjadi potensi perpecahan horizontal.
Mari kita jaga PAD, tetapi juga jaga persaudaraan.
Pengamat Politik Universitas Nasional (Unas)