Korupsi Biskuit Balita dan Bumil Diusut KPK, Siapa Anggota DPR Ikut "Cawe-cawe"?

Korupsi Biskuit Balita dan Bumil Diusut KPK, Siapa Anggota DPR Ikut "Cawe-cawe"?

Gelora News
facebook twitter whatsapp
Korupsi Biskuit Balita dan Bumil Diusut KPK, Siapa Anggota DPR Ikut "Cawe-cawe"?

GELORA.CO -
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut kasus dugaan korupsi dalam program Pengadaan Makanan Tambahan (PMT) untuk balita dan ibu hamil di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) periode 2016–2020. Penyelidikan atas kasus ini telah berlangsung sejak 17 Juli 2025.

Program yang seharusnya menyediakan asupan gizi tambahan berupa biskuit untuk mencegah stunting ini justru disalahgunakan. "Pada kenyataannya, biskuit ini nutrisinya dikurangi. Jadi, lebih banyak gula dan tepungnya. Sedangkan premix, campuran vitamin, mineral, dan bahan lainnya juga dikurangi," kata Pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, dikutip Senin (11/8/2025).

Pengurangan kandungan gizi tidak hanya membuat produk tidak bermanfaat, tetapi juga membuat harga biskuit menjadi lebih murah. Selisih harga inilah yang diduga menimbulkan kerugian keuangan negara. 

Akibatnya, biskuit tersebut tidak efektif dalam mengatasi stunting. "Di situlah timbul kerugian. Itu tidak ada pengaruhnya bagi perkembangan anak dan ibu hamil, sehingga yang stunting tetap stunting," jelasnya.

Pun, KPK akan segera menaikkan status perkara ini ke tahap penyidikan. "Sebentar lagi kita akan ambil keputusan untuk dinaikkan," tegasnya.
 
Soal penyelidikan kasus ini, Kemenkes menghormati proses hukum yang dilakukan KPK. Ia mengklaim kasus dugaan korupsi ini terjadi sebelum masa kepemimpinan Menteri Kesehatan Budi Sadikin.

"Kasus tersebut terjadi pada periode tahun 2016–2020, sebelum era kepemimpinan Menteri Budi. Kami menghargai dan menyerahkan proses penyelidikan kepada KPK," kata Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman,

Kemenkes telah melakukan pengawasan internal dan secara proaktif melaporkan dugaan penyimpangan ini kepada KPK sebagai bagian dari upaya perbaikan tata kelola. "Jika memang terbukti ada pelanggaran hukum, tentu harus mengikuti proses penindakan hukum lebih lanjut," tandasnya.

Anggota DPR diduga cawe-cawe!


Berdasarkan data yang diterima Monitorindonesia.com, DPR RI melalui Komisi IX diduga kerap mengajukan permohonan logistik PMT BUMIL, PMT Anak Sekolah, MP ASI dan APD Pekerja kepada Direktur Bini Gizi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. 

Hal itu dilakukan dalam rangka kunjungan kerja (Kunker) di Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Tengah VII meliputi, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga, dan Kabupaten Kebumen.

"Sehubungan dengan kegiatan Kunjungan Kerja Ke daerah Pemilihan Anggota DPR RI sebagaimana tugas, fungsi, dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD RI, dan DPRD, serta Keputusan DPR RI No. 1/DPR RI/2009-2010, maka kami bermaksud mengadakan sosialisasi kesehatan ibu dan anak, edukasi pola makan sehat seimbang dan pemberian MP AS di wilayah Dapil Jawa Tengah VII (Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga, dan Kabupaten Kebumen)," tulis permohonan itu yang ditandatangani Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi NasDem Amelia Anggraini pada tanggal 2 Februari 2017. 

"Oleh karena itu, mohon kiranya Kementerian Kesehatan, RI dapat membantu dalam hal logistik; MT BUMIL = 20 ton; PMT ANAK SEKOLAH = 20 ton; MP ASI = 20 ton; ADP Pekerja = 20 ton," tambahnya.

Anggota DPR RI yang sama juga melalui Komisi IX mengajukan permintaan obat-obatan kepada Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI. 

Hal itu dilakukan dalam rangka bakti sosial masa reses di Daerah Pemilihan Jawa Tengah Vil yang meliputi 3 kabupaten yaitu Kabupaten Kebumen, Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Purbalingga.

"Diberitahukan dengan hormat, bahwa kami akan melaksanakan kembali Bakti Sosial di Daerah Pemilihan Jawa Tengah VIl yang meliputi 3 (tiga) kabupaten yaitu Kabupaten Kebumen, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga pada masa reses sidang III tahun sidang 2016-2017 yang akan dilaksanakan pada bulan maret 2017".

"Sehubungan dengan itu kami mengharap bantuan saudara kiranya dapat menyediakan kebutuhan untuk kegiatan bakti sosial di masyarakat tersebut berupa obat-obatan," tulis permohonan itu yang juga ditandatangani Anggota Komisi IX DPR RI, Amelia Anggraini pada tanggal 2 Februari 2017.

KPK ingatkan potensi korupsi


KPK sebelumnya telah mengingatkan pentingnya pengelolaan anggaran dalam program penurunan prevalensi stunting.

Koordinator Harian Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (STRANAS PK) Niken Ariati mengingatkan, pengalokasian dana yang cukup besar perlu diikuti pengelolaan dana yang baik.

"Hal ini yang menjadi titik rawan terjadinya korupsi. Sehingga perlu upaya lebih lanjut untuk dapat menciptakan penanganan stunting dan pengelolaannya yang bebas dari risiko korupsi," ujar Niken, di Gedung Merah Putih KPK, pada Januari 2023 lalu.

KPK melalui Kedeputian Koordinasi Supervisi mendapatkan informasi adanya laporan Inspektorat Pemerintah Daerah terkait pengadaan pada program penurunan prevalensi stunting yang tidak memberikan manfaat optimal.

Selain itu, penganggaran program ini juga bukan menjadi prioritas pada beberapa Pemda. 

Meskipun, program ini menjadi prioritas nasional.

"Kemudian dari identifikasi yang KPK lakukan, terdapat beberapa praktik dalam upaya penanganan prevalensi stunting yang berisiko menimbulkan korupsi. Praktik tersebut dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu anggaran, pengadaan, dan pengawasan," bebernya.

Pada aspek penganggaran, Niken menuturkan temuan lapangan menunjukkan adanya indikasi tumpang-tindih perencanaan dan penganggaran antara Pemerintah Pusat dan daerah.

Selanjutnya, pada aspek pengadaan, adanya pengadaan yang bersumber dari DAK non fisik masih belum berjalan optimal. 

Kemudian, terdapat pengadaan barang yang tidak dibutuhkan

Sebagai contoh, untuk program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang diseragamkan ke seluruh daerah tanpa analisis kebutuhan objek. 

Hal ini membuat pengadaan barang yang tidak berguna bagi masyarakat.

Pengadaan alat peraga (pendukung kampanye) juga bersifat sentralistis, yang menyebutkan, terdapat keterbatasan peran vendor.

Vendor yang menyediakan alat tersebut harus mendapat lisensi dari BKKBN. 

Sementara pada aspek pengawasan, belum ada pedoman teknis untuk Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dalam melakukan audit atau pengawasan khusus terkait pelaksanaan program.

"Praktik-praktik dalam aspek tersebut sangat berisiko menimbulkan penyimpangan yang berujung pada tindak pidana korupsi. Hal ini tidak bisa disepelekan karena akan berdampak pada pelayanan kesehatan gizi yang masyarakat dapatkan," kata Niken.

Dari berbagai temuan tersebut, KPK kemudian menyampaikan beberapa rekomendasinya. 

Pada aspek penganggaran, KPK merekomendasikan adanya integrasi perencanaan dan penganggaran antara pusat dan daerah untuk mencegah terjadinya tumpang tindih alokasi anggaran.

Juga dibutuhkan peran Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam menyusun Pedoman Penyusunan APBD-nya. 

Niken bilang, tim Stranas PK akan mendorong integrasi perencanaan dan penganggaran melalui format digital, mulai dari level desa hingga pusat.

"Termasuk monitoring proses penyusunan RKP, Renja, RKA dan DIPA, sehingga ke depan tagging anggaran untuk stunting benar-benar mendukung penurunan prevalensi stunting," tandasnya.

Jauh sebelum diumumkan penyelidikan KPK tersebut, Monitorindonesia.com, pada 30 Agustus 2024 silam pernah memberitakan "Siapa Penikmat Biskuit Program Stunting Kemenkes senilai Triliunan Tiap Tahun (1)"

Saat itu Monitorindonesia.com mengonfirmasi dan/atau meminta tanggalan kepada Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Sadikin dan Sekjen Kemenkes, Kunta Wibawa. Namum tidak memberikan komentar.

Sumber: monitor
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita