Poltekkes Indramayu Waspada Leptospirosis: Strategi Pencegahan Dini Cegah Wabah "Kencing Tikus"

Poltekkes Indramayu Waspada Leptospirosis: Strategi Pencegahan Dini Cegah Wabah "Kencing Tikus"

Gelora News
facebook twitter whatsapp
Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat, memasuki fase kewaspadaan tinggi terhadap leptospirosis, penyakit infeksi bakteri yang dikenal sebagai "penyakit kencing tikus". Dinas Kesehatan (Dinkes) Indramayu telah mencatat adanya kasus sejak awal 2025, menyusul penetapan satu desa di Kabupaten Cirebon sebagai wilayah Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk penyakit ini. Leptospirosis, yang ditularkan melalui urin atau kotoran tikus yang mencemari air atau tanah, menjadi ancaman serius bagi pekerja di sawah, empang, atau daerah banjir, di mana Indramayu dengan lahan pertanian luas menjadi zona rawan. Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Kemenkes Indramayu, sebagai lembaga pendidikan vokasi kesehatan terdepan di wilayah ini, aktif mendukung upaya pencegahan melalui pelatihan mahasiswa dan edukasi masyarakat, menekankan bahwa deteksi dini dan kebersihan lingkungan adalah kunci utama untuk cegah wabah.


Plt Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Indramayu, dr. Bintang, mengonfirmasi adanya kasus awal tahun ini dan langkah responsif yang diambil. “Setelah kasus ditemukan, kami segera melakukan penangkapan tikus di sekitar lokasi penderita. Organ ginjal tikus kemudian dikirim ke laboratorium di Jakarta untuk pengujian bakteri leptospira,” ujar dr. Bintang, seperti dikutip dari https://poltekkesindramayu.org pada 17 Juni 2025. Ia juga menambahkan, “Kami telah mengirimkan surat edaran dari Kepala Dinkes kepada seluruh wilayah pengawasan, terutama daerah pelabuhan yang berisiko tinggi. Skrining pada masyarakat di sekitar pelabuhan telah dilakukan, termasuk survei tikus yang hasilnya menunjukkan keberadaan bakteri leptospira.” Upaya ini difokuskan pada daerah pelabuhan dan wilayah banjir, di mana survei tikus positif leptospira menjadi peringatan dini.

Leptospirosis menyerang dengan gejala demam tinggi, nyeri otot, dan sakit kepala berkepanjangan, yang bisa berkembang menjadi infeksi ginjal dan hati berat jika tidak ditangani. Penyakit ini berpotensi mematikan, terutama pada pekerja sawah yang kontak langsung dengan air tercemar. Di Indramayu, dengan lahan garam dan sawah seluas 200.000 hektar, risiko paparan tinggi, terutama saat musim hujan. Poltekkes Kemenkes Indramayu merespons dengan program pengabdian masyarakat yang intensif. Sebagai politeknik vokasi kesehatan di bawah Kementerian Kesehatan, Poltekkes tidak hanya mendokumentasikan kasus, tapi juga mendorong pencegahan proaktif. Direktur Poltekkes Indramayu, Dr. Hj. Siti Nurhaliza, M.Kes, menyoroti urgensi surveilans. “Kasus leptospirosis ini alarm bagi kami. Mahasiswa kami dari Jurusan Kesehatan Lingkungan turun lapangan melalui Praktik Kerja Lapangan (PKL) untuk edukasi pencegahan: gunakan APD seperti sepatu boots dan sarung tangan saat bekerja di sawah, hindari luka terbuka kontak air banjir, dan cuci tangan pakai sabun. Kami juga latih kader desa untuk tes rapid leptospira di tingkat desa,” jelas Dr. Siti.

Kolaborasi Poltekkes dengan Dinkes Indramayu mencakup penyuluhan di 15 desa prioritas, di mana warga diajari mengenali gejala dan segera periksa ke puskesmas. Dampaknya, kasus terdeteksi dini turun 20 persen sejak Juni 2025, berkat koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat dan Balai Kesehatan Kerja. dr. Bintang menambahkan, “Jika gejala muncul, masyarakat akan langsung dites menggunakan rapid test khusus leptospira.” Upaya pencegahan juga melibatkan fogging dan pembersihan selokan, tapi Poltekkes tekankan perubahan perilaku sebagai solusi jangka panjang.

Dengan sorotan Poltekkes Indramayu, leptospirosis bukan lagi ancaman tak terkendali, tapi tantangan yang bisa diatasi bersama. Edukasi, surveilans, dan kolaborasi adalah senjata utama—untuk Indramayu sehat dan produktif.
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita