Aan menjelaskan, MK sudah meletakkan soal judicial activism ini sejak 2008 terkait dengan pemilu. Judicial activism adalah pilihan putusan yang dibuat oleh hakim dalam mewujudkan keadilan.
"Yang ingin saya sampaikan adalah, hal-hal yang sebenarnya kosong, vakum, di dalam UU dan peraturan perundang-undangan diisi oleh MK, MK melakukan tafsir yaitu apa di sini? menurut saya adalah living constitution," kata Aan dalam paparannya di MK, Selasa (2/4).
"MK tidak terbatas terhadap kata-kata yang ada di UU. Tapi berdasarkan UUD, Mahkamah melakukan living constitution," sambungnya.
Aan mengatakan, MK kadang-kadang mengambil posisi judicial activism dalam putusannya. Kadang pula mengambil posisi judicial restraint.
"Saya pernah meneliti rasio decidendi MK ini, dari sisi benang merahnya saya melihat MK berani melakukan judicial activism ketika terjadi 'kedaruratan hukum' ada suatu yang mendesak di bidang hukum yang mahkamah harus hadir," ucapnya.
Dia mencontohkan, misalnya jika mahkamah melihat ada WNA yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, sementara mekanisme KPU dan Bawaslu tidak berjalan, maka MK harus mengeluarkan putusan diskualifikasi.
"Mahkamah hadir untuk memutus bahwa diskualifikasi. Tidak mungkin kepala daerah itu WNA," ucapnya.
Terkait pemilu, Aan menyebut putusan MK nomor 56/PUU-XVII/2019 terkait syarat calon pejabat publik, Mahkamah memiliki pendirian yang sangat fundamental karena adanya keinginan untuk memberlakukan syarat yang ketat bagi calon kepala daerah.
Menurut Aan, dalam perkara tersebut juga berlaku kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai pemimpin masyarakat.
"Yang mempunyai karakter dan kompetensi yang mencukupi, sifat kepribadian dan integritas, kejujuran, responsibilitas, kepekaan sosial, spiritualitas, nilai-nilai dalam kehidupan, respek terhadap orang lain dan lain-lain," ucap Aan.
Sehingga dia menilai, jika pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak memiliki karakter dan kompetensi yang cukup, maka MK harus masuk memutusnya.
"Dalam hal Mahkamah menilai bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak berintegritas maka mahkamah dapat melakukan diskualifikasi meskipun dalam UU tidak termaktub kewenangan mahkamah tersebut," pungkasnya.
Sumber: kumparan