GELORA.CO -Pemilihan Legislatif 2024 melalui sistem terbuka memiliki cerita tersendiri. Terutama bagi caleg yang kalah dalam daerah pemilihannya.
Wasekjen DPP Partai Demokrat Jansen Sitindaon menulis testimoninya sebagai Caleg DPR Dapil Sumatera Utara (Sumut) III yang tak berhasil lolos ke Senayan dalam akun media X pribadinya, @jansen_jsp, Kamis (14/3).
“Semalam KPUD Sumut telah melakukan pleno. Terimakasih utk 12.461 suara yg telah memilih saya di Dapil 3 Sumut. Mohon maaf saya belum terpilih. Namun suara dari teman2 ini jadi tambahan sehingga 1 kursi DPR-RI di Dapil ini di dapat oleh kami Demokrat. Walau bukan saya yg duduk, amanah dari suara teman2 ini akan kami jaga dan salurkan melalui perwakilan yg nanti duduk di parlemen. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih atas pilihannya ini,” tulis Jansen.
Berdasarkan Pleno KPUD Sumut, terdapat 10 caleg DPR yang lolos dari Dapil Sumut III.
Mereka ialah Ahmad Doli Kurnia Tandjung (Golkar): 141.846 suara; Bob Andika Mamana Sitepu (PDIP): 94.621 suara; Rudi Hartono Bangun (NasDem): 103.387 suara; Sugiat Santoso (Gerindra): 58.226 suara; Ansory Siregar (PKS): 66.736 suara; Delia Pratiwi Br Sitepu (Golkar): 119.047 suara; Bane Raja Manalu (PDIP): 91.169 suara; Hinca IP Pandjaitan (Demokrat): 74.375 suara; Nasril Bahar (PAN): 59.947 suara dan Mangihut Sinaga (Golkar): 116.091 suara
Jansen lalu berharap bahwa Pileg ke depan dapat berjalan lebih baik. Dia pun mengendus ada praktik politik uang dalam perguliran Pileg 2024.
“Semoga kedepan Pileg kita jadi lebih baik. Politik uang yg merusak ini dapat hilang. Bersama dgn ini saya juga memohon maaf ke publik dan masyarakat luas karena telah menjadi pejuang sistem terbuka di MK kemarin. Yg ternyata membuat Pileg kali ini jadi lebih “bar-bar” di semua tingkatan. Tanpa pandang bulu mulai DPRD Kab/Kota, Propinsi sampai RI. Dengan ini saya mengubah pandangan dan posisi saya atas itu. Krn melihat realitas dan praktek di pemilu kali ini, ternyata saya telah salah berjuang mempertahankan sistem ini,” ungkapnya.
“Sistem terbuka ini hanya akan efektif jika dibarengi penindakan terhadap politik uang yg terjadi. Itu kuncinya. Tanpa itu, dari pemilu ke pemilu sistem ini akan membuat pemilu legislatif kita tambah rusak. Semua caleg “terpaksa” nebar uang atau sejenisnya ke rakyat. Tanpa itu tidak ada jaminan dia dipilih. Rakyat juga menyambut dgn hangat. Bahkan inilah yg diharapkan datang. Pileg akhirnya jadi ajang banyak-banyakan mendata orang dan nebar uang,” sebutnya.
“Dan ini sudah di level dianggap normal bahkan harus dilakukan jika maju pileg. Membagikan ide tidak lagi penting seperti lazimnya pemilu, yg penting membagikan uang dan banyak-banyakan uang. Krn ini kunci terpilih. Belum lagi pemilunya barengan, fokus akhirnya lebih ke Pilpres. Pileg jadi “anak tiri”. Mendesak Pileg dan Pilpres kembali dipisah! Sehingga pelaksanaan/pengawasan Pileg fokus. Tidak terbagi,” tulis Jansen menambahkan.
Jansen pun menduga 99 persen caleg terpilih karena melakukan politik uang.
“Sebagai peserta yg ada dilapangan ikut pemilu, harus saya katakan: “mungkin 99 porsen caleg terpilih di pemilu kali ini krn politik uang atau varian sejenisnya. Dan ini terjadi di semua tingkatan. Mulai Kab/Kota sampai RI. Mungkin 1 porsen saja yg murni terpilih tidak melakukan itu. Namun yg sudah membagi uang tidak terpilih jumlahnya lebih banyak lagi,” ungkapnya lagi.
“Inilah realitas di Pileg kita kali ini. Pileg yg lalu sebenarnya juga sudah terjadi, namun kali ini lebih bar-bar. Silahkan tanya ke teman2 yg terpilih — atau tidak terpilih namun suaranya signifikan diatas puluhan ribu — dia habis berapa? Atau dia nyebar berapa puluh atau ratus ribu amplop? Errornya berapa porsen? Apakah keadaan ini ingin terus kita diam-diamkan? Apalagi pertahankan? Seakan-akan semua berjalan normal, benar dan baik-baik saja? Tentu jawabnya tidak! Mari kita benahi dan perbaiki,” tandasnya.
Sumber: RMOL