Berbicara dalam diskusi "Refleksi Seperempat Abad Reformasi" yang digelar secara virtual pada Kamis (14/3), ia menyinggung soal tanggapan sejumlah pihak terhadap Petisi Bulaksumur yang dia nilai tidak diterjemahkan sebagai upaya perbaikan terhadap pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) yang berlangsung serentak untuk kedua kalinya pada tahun 2024 ini.
"Apa yang diingatkan oleh para Guru Besar itu hanya dipandang sebagai hak demokrasi. Dan itu tidak dipandang, dipahami intinya," ujar Profesor psikologi sosial tersebut.
Dia menegaskan, petisi yang disampaikan guru-guru besar UGM itu pada dasarnya mengingatkan praktik yang tidak benar dalam proses demokrasi di dalam negeri.
"Padahal intinya bisa dilihat, kita mengingatkan, terutama yang terjadi adalah semakin hari semakin melakukan kegiatan pembodohan kepada masyarakat, dan memanfaatkan kebodohan itu untuk sebuah kemenangan," sambungnya.
Dia juga menyinggung soal klaim kemenangan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di saat tahapan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara belum selesai.
Padahal dia mengamati, terjadi banyak masalah dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2024. Dimana, terjadi upaya pemenangan yang melanggar undang-undang dan konstitusi negara yaitu UUD 1945.
"Kalau kita mau melihat 58 persen (kemenangan suara Pabowo-Giban) itu jelas memanfaatkan yang namanya kebodohan, tetapi juga memanfaatkan kekuasaan. Tidak akan mungkin bisa menang seperti itu, karena kita juga tahu bahwa partai-partai yang ada di sana juga budak dan mereka juga punya kader-kader militan," tutur Koentjoro.
"Yang menarik, ada beberapa daerah yang digadang-gadang menjadi kandang banteng menjadi hilang, kalah total (dari pasangan capres-cawapres tertentu). Itu saya kira kalau tidak terstruktur, sistematis, masif tidak akan target," sambungnya.
Selain itu, Koentjoro juga mengamati adanya kekacauan di sistem informasi yang dimanfaatkan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) dalam proses rekapitulasi suara.
"Dimana-mana kita dengar setiap kali ada pemaparan hasil pemilu di situ ada keributan-keributan yang terjadi. Itu menurut saya mengindikasikan sesungguhnya ini ada masalah," katanya.
Ditambah, dia juga mendapati dan mendengar banyak informasi mengenai pengakuan KPU tentang Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) bekerjasama dengan perusahaan teknologi informasi raksasa asal China, Alibaba.
"Itu artinya data kependudukan kita jadi terbuka dan menjadi masalah-masalah. Itu bagi saya sesuatu yang tidak sederhana," keluhnya mengungkit.
Belum lagi, Koentjoro mendapati masyarakat dibodohi dalam memilih capres-cawapres, dengan cara diberikan bantuan sosial (bansos) dari pemerintah.
"Sekali lagi gerakan-gerakan kebodohan-kebodohan dan pembodohan-pembodohan ini bertentangan dengan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut saya ini tidak bisa ditoleransi. Memanfaatkan kekuasaan itu sangat-sangat jelas," ucapnya.
Maka dari itu, Koentjoro meyakini jargon Indonesia Emas 2045 yang juga digaungkan oleh pasangan Prabowo-Gibran sebagai visi Presiden Joko Widodo yang akan dilanjutkan hanya menjadi mimpi, apabila hasil pemilu yang ada sekarang ini dipenuhi kecurangan-kecurangan.
"Oleh sebab itu saya mengatakan itu bukan Indonesia Emas, tapi Indonesia Cemas tahun 2045. Karena sekarang kita tahu yang terjadi itu apa. Sekarang bonus demografi, tapi yang namanya olahraga saja bayar. Mencari SDM petani sekarang susah," tuturnya.
"Kalau kita mau membuat Indonesia Emas, kita perlu tahu situasinya ke depan seperti apa, dan SDM nya seperti apa. Kalau melihat hasil Pemilu kita, enggak usah mikir muluk-muluk lah, karena sekarang negeri kita ini masih begini," demikian Koentjoro menutup.
Sumber: rmol