“Kita telah kalah perang dengan Hamas, dan kita juga kehilangan sekutu di dunia internasional,” kata Mayor Jenderal (purnawirawan) Israel Yizkhak Barik dilansir surat kabar Israel Maariv pada Ahad (17/3/2024).
Menurutnya, pemerintah Israel tidak bisa berbohong kepada rakyatnya untuk waktu yang lama terkait kekalahan menghadapi dengan gerakan Perlawanan Palestina Hamas. “Apa yang terjadi di Jalur Gaza dan perlawanan terhadap Hizbullah di Lebanon cepat atau lambat akan terbongkar, dan kemudian kebenaran yang selama ini disembunyikan akan terungkap,” tulis Barik
Ia juga menuduh kepemimpinan Israel hidup “dalam ilusi” . Barik memperingatkan bahwa Israel tidak siap menghadapi perang regional, yang akan “ribuan kali lebih sulit dan serius dibandingkan perang di Jalur Gaza”.
“Setiap hari tentara kita terbunuh dan terluka parah (di Gaza) oleh jebakan dan bahan peledak ketika mereka memasuki rumah-rumah tanpa pemeriksaan apa pun, dan tanpa menggunakan tindakan yang tepat,” tulisnya.
Barik juga menyoroti kekacauan di tingkat pejabat tinggi IDF. Ia menuduh Kepala Staf Angkatan Darat Israel Herzi Halevi terus menunda penunjukan komandan-komandan baru setelah kehilangan kontrol atas wilayah di Gaza sejak lama.
Mengingat dua tujuan Israel adalah membubarkan Hamas dan mengembalikan para tawanan, Barik mengatakan bahwa “Menteri Pertahanan dan Kepala Staf Israel melakukan perang dengan visi taktis dan bukan visi strategis,” dan mencatat bahwa “perang tidak bisa dimenangkan hanya dengan pertempuran taktis.”
Barik menyatakan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Menteri Pertahanan Gallant, dan Halevi “tidak membawa kita kemana-mana!”
“Jika terjadi perang regional yang menghancurkan negara, tidak ada keraguan bahwa dalam sejarah bangsa Israel, mereka akan dikenang selamanya,” pungkas mayor jenderal tersebut.
Menurut jumlah resmi Angkatan Darat Israel, hampir 600 tentara telah tewas di Gaza sejak 7 Oktober, termasuk hampir 250 tentara sejak dimulainya serangan darat di Jalur Gaza pada 27 Oktober. Namun Perlawanan Palestina telah berulang kali menyatakan bahwa perkiraan yang diberikan oleh tentara Israel “tidak mencerminkan kenyataan,” dan jumlah korban jauh lebih tinggi.
Palestine Chronicle melansir, sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan oleh Lebih dari 100 pejabat senior militer dan pemerintah Israel di Institut Kontra Terorisme Universitas Reichman juga mencapai kesimpulan serupa mengenai apa yang bisa terjadi jika terjadi perang habis-habisan antara Israel dan kelompok Perlawanan Lebanon, Hizbullah.
Menurut penelitian,bperang Israel-Lebanon di utara akan dimulai dengan “rentetan roket Hizbullah dlaam jumlah besar dan merusak”. Serangab yang kemungkinan akan menjangkau seluruh wilayah Israel. Jumlah roket Hizbullah yang menghantam Israel diperkirakan antara 2.500 dan 3.000 per hari.
Roket Hizbullah juga akan melibatkan perpaduan antara rudal jarak jauh yang presisi dan roket yang kurang akurat. Hizbullah kemungkinan besar akan memusatkan serangannya pada satu wilayah saja, misalnya pangkalan militer besar Israel atau kota tertentu di tengah negara.
Roket-roket tersebut akan terus berlanjut setiap hari dan kemungkinan akan berlangsung hingga enam minggu. Selain itu, skenario suram ini kemungkinan akan memburuk dan mengarah pada ‘kekacauan’ total ketika Hizbullah mengirim ratusan pasukan komando Radwan untuk merebut kota-kota dan desa-desa di Israel selain mengambil kendali atas pangkalan militer Israel, studi tersebut memperingatkan.
Saat ini diadili di Mahkamah Internasional atas tuduhan genosida terhadap warga Palestina, Israel telah melancarkan serangan brutal ke Gaza sejak 7 Oktober. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, 31,645 warga Palestina telah syahid, dan 73,676 terluka dalam genosida Israel tersebut.
Selain itu, setidaknya 7.000 orang belum ditemukan, diperkirakan syahid di bawah reruntuhan rumah mereka di seluruh Jalur Gaza. Organisasi-organisasi Palestina dan internasional mengatakan bahwa mayoritas dari mereka yang terbunuh dan terluka adalah perempuan dan anak-anak.
Agresi Israel juga mengakibatkan hampir dua juta orang terpaksa mengungsi dari seluruh Jalur Gaza, dengan sebagian besar pengungsi terpaksa mengungsi ke kota Rafah di bagian selatan yang padat penduduknya, dekat perbatasan dengan Mesir – yang kini menjadi eksodus terbesar di Palestina sejak Nakba 1948. Israel mengatakan bahwa 1.200 tentara dan warga sipil tewas dalam Operasi Banjir al-Aqsa pada tanggal 7 Oktober. Media Israel menerbitkan laporan yang menunjukkan bahwa banyak warga Israel terbunuh pada hari itu karena tembakan pasukan Israel.
Sumber: republika