GELORA.CO -Pengakuan Prabowo Subianto bahwa sebelum jadi Menteri Pertahanan sudah kuasai hampir 500 ribu hektare lahan HGU, bukan 340 seperti yang diungkap Anies Baswedan dalam debat capres ketiga, memicu sejumlah pertanyaan publik.
Sebab, meski calon presiden nomor urut 2 itu mengaku telah menyerahkan lahan yang dikuasainya kepada negara pada 2,5 tahun lalu, dia tak menjelaskan berapa luas lahan yang diserahkan dari total nyaris 500 ribu hektare HGU tersebut.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Arjuna Putra Aldino, menilai seharusnya Prabowo bisa menjelaskan berapa luasan lahan yang diserahkan kepada negara dari total 500 ribu hektare lahan HGU. Karena, menurut Arjuna, UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sudah menegaskan bahwa HGU sebagai produk dari kebijakan publik merupakan informasi terbuka dan wajib disediakan setiap saat.
“Tidak ada alasan bagi siapapun atau Badan Publik apapun untuk menutup informasi HGU. Pasal 11 ayat (1) UU KIP sudah menegaskan bahwa HGU sebagai produk dari kebijakan publik merupakan informasi terbuka dan wajib disediakan setiap saat,” ucap Arjuna kepada redaksi, Rabu (10/1).
Menurut Arjuna, proses pemberian HGU yang berlangsung tertutup ini minim pengawasan dan rawan terjadi praktik KKN karena terjadi di ruang gelap. Terlebih, data HGU yang tertutup selama ini memicu konflik antara masyarakat adat atau penduduk lokal dengan pihak korporasi pemegang izin. Warga kerap tak tahu bahwa lahan yang mereka garap telah dikuasakan kepada perusahaan melalui skema HGU.
“Rakyat sering tiba-tiba diusir, digusur, dengan alasan tanahnya sudah dikuasakan kepada korporasi lewat skema HGU. Ini tidak adil,” tambah Arjuna.
Lebih lanjut, Arjuna menilai skema HGU yang tidak adil ini yang menjadi sumber ketimpangan kepemilikan lahan yang berujung pada kesenjangan sosial. Padahal semangat HGU dalam Pasal 12 ayat (1) UU Pokok Agraria 1960 diperuntukkan untuk “Segala usaha bersama dalam lapangan agraria atas dasar kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong royong lainnya, dengan mengupayakan penguasaan 2 ha sebagai batas minimum usaha tani rakyat".
Data Koalisi Masyarakat Sipil menyebutkan, dari 53 juta hektare penguasaan/pengusahaan lahan yang diberikan pemerintah, hanya 2,7 juta hektare yang diperuntukkan bagi rakyat. Sisanya 94,8 persen untuk korporasi. Arjuna pun menilai terjadi ketimpangan distribusi dan alokasi lahan sehingga data menyebutkan 56 persen aset nasional berupa tanah dikuasai oleh hanya sekitar 0,2 persen elite ekonomi.
“HGU yang dominan diberikan untuk korporasi inilah sumber ketimpangan sosial. Padahal amanat UUPA 1960 tidak demikian. HGU seharusnya diberikan untuk usaha pertanian rakyat,” tegas Arjuna.
Di sisi lain, menurut Arjuna, jumlah petani gurem (petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare) kian meningkat pesat. Berdasarkan data BPS, jumlah petani gurem pada 2023 mencapai 16,89 juta. Angkanya naik 18,54 persen dari 2013 yang terdapat 14,25 juta petani gurem.
Proporsi petani gurem terhadap total jumlah petani di Indonesia juga meningkat, dari 55,33 persen pada 2013 menjadi 60,84 persen pada 2023. Artinya, mayoritas petani Indonesia adalah petani gurem.
“Jumlah petani gurem terus meningkat. Di lain sisi, ada (sedikit) warga yang mendapatkan HGU beribu-ribu hektare. Itulah simbol oligarki. Supremasi hukum yang melemah membuat para oligarki menggunakan politik untuk mengendalikan sumber daya material dan mempertahankan kekayaan,” ujar Arjuna.
Arjuna menambahkan, saat ini terjadi tren peningkatan konflik agraria selama dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Konsorsium Pembangunan Agraria (KPA) mencatat, terjadi 3.182 letusan konflik agraria hingga 2022. Kasus terbanyak di sektor perkebunan dan infrastruktur. Sementara sejak 2020 hingga paruh pertama 2023, Komnas HAM menerima setidaknya 2.427 pengaduan terkait dengan isu agraria.
Jumlah korban terutama korban kriminalisasi pun terus meningkat dalam 3 tahun terakhir. Pada 2022, misalnya, KPA mencatat ada 497 kasus kriminalisasi terkait dengan konflik agraria, meningkat signifikan dari tahun sebelumnya sejumlah 150 korban.
Pun dengan jumlah korban tewas yang terus berjatuhan setiap tahun. Pada 2022, KPA mencatat ada 3 korban tewas dan 41 korban terluka dalam letusan konflik. Apabila ditotal, jumlah korban pada 2022 sebanyak 541 orang.
“Konflik agraria seringkali mengorbankan rakyat. Rakyat kerap dikriminalisasi bahkan tewas saat konflik dengan korporasi. Negara harus berperan melindungi rakyatnya bukan melindungi korporasi,” tegas Arjuna.
Untuk itu, Arjuna berharap kepada para calon presiden dan wakil presiden ke depan untuk bisa berpihak pada kepentingan rakyat kecil. Dalam pengambilan kebijakan agraria seperti pemberian HGU haruslah tegas berpihak pada kepentingan rakyat kecil. Memperluas koperasi rakyat dan usaha pertanian rakyat. Tidak tersandera pada kepentingan dirinya dan oligarki yang menyertainya.
“Capres dan cawapres ke depan harus berani mengubah pola HGU yang selama ini dominan diberikan pada korporasi. Harus berani mengubah pola alokasi dan distribusi lahan negara. Harus ada keadilan alokasi dan distribusi, terutama untuk petani kecil dan usaha pertanian rakyat,” tutup Arjuna.
Sumber: RMOL