Oleh: A Zaini Bisri*
RENCANA proyek Rempang Eco-City memicu konflik antara pemerintah dengan warga sekitar. Pada Kamis, 7 September 2023, terjadi bentrok antara masyarakat sekitar dengan tim gabungan yang terdiri atas TNI, Polri, Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Satpol PP. Ratusan warga memblokade jalan agar tim gabungan tidak masuk ke wilayah Pulau Rempang untuk mengukur lahan dan memasang patok buat proyek itu.
Pada Senin, 11 September 2023, warga juga menggelar unjuk rasa di depan kantor BP Batam. Aksi tersebut juga menimbulkan kericuhan antara pendemo dengan aparat keamanan. Bahkan hingga Selasa, 12 September 2023, petugas kepolisian telah menahan 43 orang pendemo.
Rencana pengembangan wilayah Rempang telah dimulai sejak 2004 berdasarkan Akta Perjanjian No. 66 Tahun 2004, kerja sama antara BP Batam dan Pemerintah Kota Batam dengan PT Makmur Elok Graha (MEG). Perusahaan ini mulai memimpin proyek kawasan ini pada 12 April 2023, ditandai dengan Peluncuran Program Pengembangan Kawasan Rempang di Jakarta.
Permasalahan antara masyarakat Pulau Rempang dengan BP Batam dan pemerintah berakar dari penolakan warga terhadap proyek Rempang Eco-City. Proyek tersebut membuat warga yang telah bermukim secara turun-temurun terancam kehilangan tempat tinggal. Mereka menolak keras janji manis BP Batam terkait penyiapan hunian tetap relokasi bagi masyarakat terdampak.
BP Batam akan menyiapkan hunian tetap relokasi bagi masyarakat terdampak ke kawasan Dapur 3 Sijantung, Pulau Galang, yang dinilai menguntungkan warga yang umumnya berprofesi nelayan. Hunian tetap yang disiapkan berupa rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta dengan luas tanah maksimal 500 meter persegi.
Pengosongan Lahan
Menko Polhukam Moh. Mahfud Md menegaskan, kasus di Rempang itu bukan penggusuran tetapi pengosongan lahan, karena hak atas tanah itu telah diberikan oleh negara kepada entitas perusahaan sejak 2001 dan 2002. Pulau Rempang itu sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha.
Namun pada 2004, hak atas penggunaan tanah itu diberikan kepada pihak lain. “Sebelum investor masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan tidak pernah ditengok, sehingga pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, SK haknya itu sudah dikeluarkan pada 2001, 2002 secara sah,” kata Mahfud.
Situasi menjadi rumit ketika investor mulai masuk ke Pulau Rempang pada 2022. “Ketika kemarin pada 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” lanjut Mahfud.
Oleh karena itu, kekeliruan tersebut pun diluruskan, sehingga hak atas tanah itu masih dimiliki oleh perusahaan sebagaimana SK yang dikeluarkan pada 2001 dan 2002. “Proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan. Bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya, bukan,” tandas Mahfud.
Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menyebutkan, sebagian besar dari tanah seluas 17.000 hektare di Rempang merupakan kawasan hutan dan tidak ada hak atas tanah di atasnya. Saat ini, di pulau tersebut juga ada pengajuan permohonan Hak Pengelolaan (HPL) oleh BP Batam seluas kurang lebih 600 hektare yang merupakan Area Penggunaan Lain (APL).
“Jadi, masyarakat pun yang tinggal di sana juga tidak ada sertifikat,” ujar Hadi dalam Rapat Kerja dengan Komisi II DPR, 12 September 2023. Sebelum isu mengemuka, katanya, pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat dan sebagian di antaranya menerima usulan berupa solusi dari pemerintah. Hadi mengungkapkan, terdapat 15 titik tempat masyarakat hidup di Rempang yang mayoritas tinggal di pinggir pantai dan berprofesi sebagai nelayan.
Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, memastikan sosialisasi ke masyarakat terkait rencana pengembangan Rempang terus berlangsung. Tidak hanya itu, pendataan terhadap masyarakat terdampak pengembangan yang akan direlokasi pun terus dilakukan. Setidaknya, sudah ada 70 persen warga yang setuju untuk direlokasi.
Penolakan Warga
Sikap penolakan warga antara lain disampaikan perwakilan masyarakat, yakni Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) pada 25 Juli 2023. Penolakan relokasi tersebut telah disampaikan ke Komnas HAM, DPR, DPD, kementerian di Jakarta, hingga Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kepri.
Ketua Keramat Gerisman Achmad mengaku kecewa dengan wacana pengembangan kawasan Rempang-Galang itu. Pasalnya, kala itu Pemkot Batam maupun BP Batam dinilai tidak pernah menginformasikan langsung ke masyarakat. Menurutnya, mereka ada karena masyarakatnya, tapi sekarang malah masyarakatnya pula yang diabaikan.
Dalam aksi unjuk rasa pada 11 September 2023, masyarakat menyampaikan beberapa tuntutan. Pertama, menolak penggusuran 16 kampung tua yang ada di Pulau Rempang, Galang. Kedua, mendesak Polri membubarkan posko terpadu yang didirikan di Pulau Rempang dan menghentikan intimidasi serta kekerasan terhadap warga.
Ketiga, mereka menuntut Presiden Jokowi membatalkan penggusuran 16 kampung tua, mencopot M Rudi sebagai kepala BP Batam, dan membebaskan masyarakat Pulau Rempang yang ditahan tanpa syarat. Kepala BP Batam M Rudi yang sempat menemui pendemo mengatakan, proyek Rempang Eco-City bukanlah kewenangan dirinya, tetapi pemerintah pusat.
Pendekatan Represif
Kerusuhan di Rempang ini mengingatkan kita pada kekerasan di Wadas pada Februari 2022 yang lalu. Rencana pembangunan Bendungan Bener di Purworejo adalah juga masuk Proyek Strategis Nasional (PSN), sama dengan Rempang Eco-City. Namun, demi PSN ini, Desa Wadas dikepung oleh gabungan aparat Polri dan TNI. Puluhan warga ditahan di Mapolres Purworejo.
Dilihat dari manfaat langsungnya untuk masyarakat, proyek Bendungan Bener jelas memiliki utilitas lebih tinggi dibandingkan Rempang Eco-City. Proyek di Batam ini – dengan investasi Rp 381 triliun dan ditargetkan menyerap lebih dari 300.000 tenaga kerja – akan mengubah Pulau Rempang menjadi kawasan industri, jasa, dan pariwisata.
Di benak masyarakat setempat, proyek ini sejatinya hanya akan menyulap Pulau Rempang menjadi pulau modern yang tidak lagi mencirikan budaya Melayu, dengan cara merelokasi penduduk setempat secara paksa.
Tentu saja “jebol desa” (tepatnya “jebol pulau”) ini bukan perkara gampang. Memindahkan 7.500 jiwa dalam tempo singkat sama saja dengan mencerabut manusia dari penghidupan, budaya, dan adat-istiadat lokal yang sudah berlangsung lama. Belum lagi mereka merasa memiliki tanah secara turun-temurun dari nenek moyang mereka sejak zaman kolonial Belanda.
Seperti halnya letupan-letupan sosial yang berlangsung sebelumnya, misalnya kasus viral remaja Syarifah yang membuat video kritik kepada Wali Kota Jambi Syarif Fasha dan perusahaan China PT RPSL pada Juni 2023 yang lalu, konflik di Rempang ini juga terasa diwarnai sentimen sosial.
PT MEG yang dipercaya menjadi nakhoda untuk mengembangkan kawasan seluas 17.000 hektare itu disebut-sebut sebagai anak usaha Artha Graha Network, yang pemiliknya merupakan salah satu taipan di Indonesia, yakni Tomy Winata. PT MEG kemudian menggandeng investor dari China.
Sudah bukan rahasia umum lagi, jor-joran investasi China di era Presiden Jokowi ini acapkali menimbulkan konflik di lapangan. Selain itu, masyarakat mulai mempertanyakan janji penyerapan tenaga kerja lokal yang menyertai investasi, karena China lebih menyukai mengirim tenaga kerjanya sendiri untuk mengerjakan proyek-proyeknya di Indonesia.
Sentimen sosial itu meningkatkan konflik dan perlawanan warga Rempang, ditambah pendekatan represif oleh pemerintah dan aparat keamanan dalam menyikapi protes warga. Pendekatan represif dan koersif adalah jalan pintas mengatasi kegagalan komunikasi yang seharusnya informatif dan persuasif. Jokowi pun mengakui, konflik Rempang karena kelemahan komunikasi pada jajaran pemerintahannya.
Paradigma Lama
Sesuai amanat konstitusi, kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam semestinya ditujukan untuk memuliakan hak rakyat dan demi kemakmuran rakyat. Karena itu, setiap investasi untuk pembangunan seharusnya mengedepankan dialog dan keadilan bagi warga setempat. Itulah inti tanggapan dari dua ormas Islam terbesar di Tanah Air, yakni NU dan Muhammadiyah, terhadap kasus ini.
Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf mengingatkan, kesentosaan masyarakat adalah yang paling penting dalam kasus ini, sedangkan risiko investasi adalah hitungan kemudian. Ia mengatakan, meskipun ada kesadaran bahwa investasi diperlukan oleh negara, investasi harus benar-benar digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, terutama masyarakat di daerah tempat investasi ditanamkan.
Sementara itu, PP Muhammadiyah menuding pemerintahan Presiden Jokowi telah gagal melaksanakan mandat konstitusi dengan menggusur masyarakat yang telah berada di sana jauh sebelum Indonesia merdeka.
Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) & Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah dalam keterangan tertulisnya menyebutkan, masyarakat telah menempati pulau itu sejak 1834, jauh sebelum Indonesia merdeka pada 1945. Karena itu, mereka mengritik pernyataan Menko Polhukam Mahfud Md, yang menyatakan bahwa wilayah tersebut belum pernah digarap.
Memang agak aneh, di tengah kemajuan demokrasi, humanisme, dan hak asasi manusia, pemerintahan kita masih menganut paradigma lama dalam membangun negeri. Pertumbuhan ekonomi tampaknya menjadi tujuan dengan mengorbankan keadilan dan pemerataan. Padahal salah satu problem sosial dan ekonomi negara kita adalah kesenjangan yang masih sangat lebar antara penduduk yang kaya dan miskin.
Kiranya harus ada koreksi terhadap banyak kebijakan pemerintah akhir-akhir ini agar rakyat betul-betul menjadi subjek dalam pembangunan. Manusia harus menjadi tujuan akhir dari pembangunan, bukan sekadar sarana untuk kesuksesan sebuah proyek pembangunan.
*A. Zaini Bisri, jurnalis senior dan dosen Universitas Pancasakti Tegal.