Oleh Laksma TNI Purn. Ir Fitri Hadi S, MAP
Analis Kebijakan Publik
PULAU Rempang hanya sebuah pulau kecil di Kepulauan Riau tiba- tiba saja mencuat ke ranah publik mengaduk-aduk perasaan karena bentroknya warga masyarakat dengan aparat polisi. Korban berjatuhan, termasuk anak-anak SD yang tidak berdosa diterjang gas air mata yang diletupkan aparat kepolisian tersebut.
Tangispun pecah dari anak-anak dan tentunya juga orang tua mereka, pedih perih bukan cuma di mata, tapi sampai ke hati mereka yang paling dalam. Betapa tidak, bumi yang mereka diamin turun temurun, sejak ratusan tahun yang lalu, dipaksa harus mereka tinggalkan. Terbayanglah di mata harihari mendatang kehidupan yang suram dan penuh ketidakpastian karena harus tinggal di rumah pengungsian di rumah susun.
Jangan bayangkan mereka tinggal di apartemen, mereka tinggal di rumah susun. Mereka tidak dapat lagi bersendau gurau dengan tetangga karena terkotak tembok rumah susun. Tidak ada lagi anak- anak yang berlarian bermain di halaman. Mereka tidak melihat lagi ayam mereka yang berkotek, suara ciap anaknya, atau ikan-ikan yang dapat mereka tangkap di tepian pantai. Mereka tercabut dari habitaon kehidupan mereka
Pembangunan kawasan ekonomi baru Rempang Eco City itu bakal menggusur 16 Kampung Melayu Tua yang telah eksis mereka huni turun temurun sejak 1834, sejak republik ini belum berdiri.
Mengapa Pemerintah tampak seperti begitu menggebu- gebu mengusir rakyatnya dari tanah leluhurnya, sehingga pemerintah dengan aparatnya yang bersenjata bentrok fisik untuk mengusir rakyatnya yang seharusnya mereka lindungi. Pemerintah berniat melakukan pengembangan proyek pulau Rempang menjadi kawasan ekonomi hijau yang diminati oleh produsen kaca terkemuka asal China yakni Xinyi Glass Holdings Ltd. Komitmen investasi siap dikucurkan oleh Xinyi Glass Holding dalam proyek Rempang Eco-City tersebut. Komitmen investasi tersebut bahkan telah disepakati dalam perjanjian kerja sama antara Indonesia dan China yang telah ditandatangani pada 18 Juli 2023 lalu. Pabrik kaca terbesar asal China Xinyi Glass Holdings Ltd tersebut mampu menyerap tenaga kerja sekitar 35 000 orang.
Pengembangan proyek di Pulau Rempang yang mendatangkan investor dari China tersebut hendaknya jangan dilihat dari sisi hitung hitungan ekonomi saja. Banyak factyu or yang harus dipertimbangkan terutama masalah kehidupan penduduk selanjutnya yang harus direlokasi akibat pengembangan proyek tersebut. Ada hal lain yang tidak kalah pentingnya yaitu yang menyangkut ”pertahanan dan kedaulatan negara”.
Seperti kita ketahui, secara sepihak China mengklaim sebagian wilayah Indonesia di Laut China Selatan atau LCS berupa Nine Dash Line dan diperbarui dengan Ten Dash Line. Tindakan China ini dapat dianggap telah melakukan ekspansiisme di Laut Cina Selatan yang merupakan perairan yang strategis bagi Indonesia. Klaim sepihak Cina Nine atau Ten Dash Line berdampak pada hilangnya wilayah kedaulatan Indonesia lebih kurang 83.000 Km persegi atau 30% dari luas wilayah lautnya. Klaim Cina ini jelas melanggar hukum laut Internasional (UNCLOS 1982) yang juga telah ditanda tangani Cina, secara tegas menyatakan perairan Natuna adalah zona ekonomi ekslusif Indonesia (ZEEI). Klaim sepihak China ini masalah pertahanan negara yang mengancam kedaulatan Indonesia, itulah masalah besar China dengan Indonesia yang tidak boleh dianggap remeh dan dipandang sebelah mata.
Pengembangan proyek di Pulau Rempang dengan mengundang perusahan besar asal China yakni Xinyi Glass Holdings Ltd yang mampu menyerap tenaga kerja sekitar 35 000 orang dapat menjadi ancaman tambahan atas klaim sepihak China Ten Dash Line. Potensi hilangnya wilayah kedaulatan Indonesia lebih kurang 83.000 Km atau 30% dari luas wilayah lautnya akibat ekspansi China dapat benar benar terwujud bila bangsa Indonesia abai dan menganggap remeh claim China tersebut. Pulau Rempang atau lokasi berdirinya pabrik kaca terbesar asal China Xinyi Glass Holdings Ltd dapat secara perlahan dan sistematis berubah menjadi pangkalan aju militer China guna mewujudkan klaim China Ten Dash Line.
Pulau Rempang menjadi pangkalan aju Militer China sangat pontensial mengingat Pulau Rempang berasa dikawasan yang sama dengan wilayah yang diklaim oleh China. Dengan alasan untuk kebutuhan fasilitas pabrik kaca Xinyi, mereka dapat saja dengan mudah membangun dermaga lengkap dengan fasilitas perbaikan kapal. Dengan demikian bukan hal yabg sulit bagi China menjadikan Pulau Rempang sebagai pangkalan aju armada lautnya guna mendapatkan sumber logistik bagi kekuatan armada Angkatan Laut China di LCS karena Pulang Rempang adalah lokasi yang sangat strategis, sangat berdekatan dengan Singapura sebagai rantai pasoknya. Armada Angkatan Laut China dapat saja sandar didermaga yg difasilitasi oleh Xinyi. Harus selalu diingat, bahwa Belanda dengan VOCnya masuk Indonesia kala itu adalah untuk kegiatan ekonomi atau berdagang, lalu berubah menjadi penjajah sampai 350 tahun karena ketersediaan pangkalan di Batavia (baca Jakarta). Mengapa demikian? Karena mereka sudah punya pangkalan aju di Batavia atau Jakarta.
China bila masih menghargai Indonesia sebagai sahabat maka China harus mencabut klaimnya atas wilayah Indonesia yang telah ditetapkan oleh hukum laut Internasional. China tidak bisa secara sepihak mengklaim suatu wilayah yang berbatasan dengan negara lain apalagi telah ditetapkan oleh hukum yang diakui dunia. Indonesia harus punya keberanian untuk melawan tindakan China tersebut. Salah satunya dengan meninjau ulang semua kerja sama Indonesia dengan China, bahkan bukan itu saja, Indonesia menghentikan semua kerjasama dengan China selama China masih melakukan klaim wilayah Indonesia dengan tidak mengindahkan hukum yang berlaku.
Untuk itu hentikan segera rencana pembangunan pabrik Kaca Xinyi China karena selain telah menyengsarakan rakyat juga berpotensi semakin mengancam kedaulatan wilayah Indonesia setelah klaim China Ten Dash Line. Bongkar isi perjanjian investasi tersebut, apa manfaat investasi tersebut bagi Indonesia, bukan sekedar menjadikan rakyat Indonesia hanya sebagai jongos atau buruh rendahan dinegerinya sendiri dipabrik itu.
Indonesia tidak perlu takut melawan aksi China yang tidak menghargai kedaulatan negara lain yang telah diakui dunia, apalagi China ikut menandatangani hukum internasional tersebut. Indonesia tidak sendiri dalam menghadapi klaim sepihak China tersebut, bukan hanya Indonesia yang kedaulatannya diancam oleh China. India, Malaysia, Vietman, Philipina dan Jepang adalah negara yang diklaim sepihak oleh China dalam Ten Dash Line. Untuk itu Indonesian tidak perlu ragu mengajak negera negara yang terdampak Ten Dash Line untuk bersinergi dalam menghadapi arogansi China tersebut.
Surabaya, Sabtu 16 September 2024