Survei UI: Agama Jadi Varian Penyumbang Terbesar Polarisasi

Survei UI: Agama Jadi Varian Penyumbang Terbesar Polarisasi

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Hasil Survei Nasional yang dilakukan oleh Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) mengungkap bahwa polarisasi politik di Indonesia adalah fakta yang terjadi baik di dunia maya (daring) maupun di dunia nyata (offline). Polarisasi itu diprediksi kembali terjadi di 2024. Hoaks menjadi salah satu ancaman terkuat untuk munculnya polarisasi.

“Agama varian penyumbang terbesar polarisasi,” kata Ketua Laboratorium Psikologi Politik UI Prof Hamdi Muluk dalam rilis hasil survei nasional bertajuk polarisasi politik di Indonesia : Mitos atau Fakta? yang dipantau secara daring di Jakarta, Minggu (19/3). ,

Selain agama, tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah juga dapat menjadi penyumbang polarisasi. Hasil riset menunjukkan adanya sentimen berbasis antiluar negeri, yang kerap disebut masyarakat anting Asing atau Aseng.

Menanggapi sentimen itu, Menteri Investasi dan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menepis adanya isu investasi Indonesia dikuasai oleh asing.

Sementara Ketua Lakpesdam PBNU Ulil Abshar Abdallah menyebut, jika polarisasi sudah terjadi, salah satu upaya untuk mengatasinya adalah dengan mengimbau kepada pemengaruh (influencer) agar tidak ikut dalam kontenstasi politik tersebut.

Ia menyarankan para influencer puasa menahan diri tidak turun dalam acara dukung mendukung, melainkan justru mendinginkan suasana.

“Saya mengajurkan tokoh-tokoh bisa disebut sebagai influencer itu sebaiknya tidak ikut terlibat dalam poltik dukung mendukung,” kata Ulil.

Berbeda dengan Ulil, Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari khawatir saran Ulil tidak dijalankan oleh para influencer, karena ada contoh ulama yang mendukung calon.

Qodari memberikan saran paling fundamental yakni mengubah desain konstitusi, yakni pemenang pilpres cukup mayoritas sederhana dengan 40 persen ataupun 35 persen suara dalam satu putaran.

Menurut Qodari, aturan mengenai pemenang pemilu presiden harus 50 persen plus 1 menjadi persoalan terjadinya polarisasi. Dengan aturan tersebut maka calon dipaksa menjadi dua kubu, karena sangat sulit bagi calon manapun untuk menang dalam satu putaran.

Karena pemilihan diikuti multi partai, bila ada tiga calon dengan kekuatan relatif sama, sulit untuk bisa mencapai 50 persen plus satu dalam satu putaran. Yang pada akhirnya dibuat dua putaran. Jika ini terjadi maka akan mengalami pembelahan dan polarisasi yang terjadi dengan dimensi keagamaan.

“Menurut saya dari kaca mata ilmu politik, salah satu penyebab pengutuban yang ekstrim itu adalah desain konstitusi atau desain aturan dan itu harus diubah, kalau itu konstitusi lewat amandemen UU 1945,” kata Qodari.

Sumber: inilah
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita