Sederet Prestasi Sri Mulyani di Rezim Jokowi, Mulai dari Utang Meroket hingga Terkait Kasus Rafael Alun

Sederet Prestasi Sri Mulyani di Rezim Jokowi, Mulai dari Utang Meroket hingga Terkait Kasus Rafael Alun

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu mengungkapkan sederet prestasi menonjol dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.

Hal tersebut ditanggapi Said Didu melalui akun Twitter pribadi miliknya. Dalam cuitannya, Said Didu membeberkan ada 5 prestasi dari Sri Mulyani.

Said Didu menyebutkan bahwa prestasi itu mulai dari utang yang meroket, hingga memperkaya staf Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Prestasi menonjol Ibu Menkeu Sri Mulyani di Rezim Jokowi. Pertama; utang meroket dari Rp2.600 triliun menjadi Rp7.800 triliun dengan bunga tinggi. Kedua; mengurangi atau mencabut subsidi utk rakyat. Ketiga; memberi insentif pajak dan subsidi kepada orang kaya. Keempat; menaikkan pajak, Kelima; Memperkaya staf @KemenkeuRI," tutur Said Didu dikutip WE NewsWorthy dari akun Twitter pribadi miliknya, Minggu (12/3).

Sementara itu, diketahui bahwa Kemenkeu jadi sorotan usai sejumlah mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai Kementerian Keuangan memamerkan hartanya melalui media sosial, di antaranya Rafael Alun Trisambodo dan Eko Darmanto.

Terkait hal itu, KPK pun mengungkapkan terdapat 134 pegawai pajak yang memiliki saham di 280 perusahaan. Saham tersebut mayoritas dimiliki menggunakan nama istri.

"Jadi yang kita temukan 134 ini untuk pegawai pajak saja, jadi bukan Kementerian Keuangan dan itu saham yang dimiliki, baik oleh yang bersangkutan maupun istri. Sebagian besar sih nama istri tapi kan kalau di LHKPN yang bersangkutan dan istri dianggap sama," kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan, dikutip dari Detik.

Pahala mengatakan 280 perusahaan saham yang ditemukan itu bergerak di banyak sektor. Salah satunya katering makanan.

"Kalau perusahaannya apa saja, sedang kita dalami dan bervariasi. Kalau lihat namanya sih ada yang katering," ujar Pahala.

Dia mengatakan ada potensi konflik kepentingan terkait kepemilikan saham pegawai Pajak. Terlebih, jika perusahaan itu bergerak di sektor konsultan pajak.

"Buat kami yang berisiko, bukan salah, yang berisiko kalau perusahaan itu konsultan pajak atau konsultan, bukan berarti yang lain nggak berisiko, berisiko juga tapi ini yg paling tinggi risikonya," ujar Pahala.

Menurut Pahala, perusahaan konsultan yang sahamnya juga dimiliki pegawai pegawai Pajak dapat menimbulkan potensi perbuatan korupsi. Pegawai Pajak dengan wewenangnya bisa menerima sesuatu yang di luar ketentuan.

"Kira-kira jalannya begini, apa sih risiko dari pegawai Pajak? Dia berhubungan dengan wajib pajak dan risiko korupsinya, dia menerima sesuatu dengan wewenangnya. Kan dia punya wewenang dan jabatan. Kenapa kita bilang berisiko konsultan pajak, karena dengan wewenangnya dia bisa menerima sesuatu dengan wewenang dan jabatannya," paparnya.

Transaksi ini, kata Pahala, tidak akan masuk dalam pelaporan LHKPN sang pegawai Pajak. Transaksi itu akan masuk dalam data perusahaan.

"Nah itu yang kita pandang sebagai risiko dengan kepemilikan ini, terbuka opsi untuk katakanlah kalau ada oknum yang nakal menyalahgunakan wewenang dan jabatannya untuk menerima sesuatu dari wajib pajak. Ada opsi yang lebih aman ketimbang nerima langsung," tutur Pahala.

"Kalau ditransfer ke bank, dia akan kelihatan di LHKPN-nya tapi kalau dia lewat perusahaan, nggak ada di LHKPN dan KPK tidak boleh membuka PT ini. Nggak ada wewenang kita buka PT kecuali sudah di penindakan," pungkasnya.

Sumber: newsworthy
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita