Kontradiksi Firli Bahuri: Minta Koruptor Mati, tapi Tuntut Ringan Juliari

Kontradiksi Firli Bahuri: Minta Koruptor Mati, tapi Tuntut Ringan Juliari

Gelora News
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Ketua KPK Firli Bahuri melontarkan pernyataan yakni koruptor layak dihukum mati. Namun, pernyataan itu menjadi kontradiksi dengan langkah KPK yang beberapa kali justru menuntut ringan terdakwa kasus korupsi.

Pernyataan Firli soal hukuman mati itu dikemukakan usai menghadiri diskusi "Bersinergi Bersama Berantas Narkoba, Korupsi, Terorisme Untuk Pembangunan SDM Unggul di Era Vuca" di Gedung PRG Polda Bali, Rabu (24/11).

Ia juga yakin semua pihak setuju koruptor diberikan hukuman maksimal, termasuk hukuman mati. Meski demikian, hukuman mati untuk pelaku korupsi hanya termuat dalam satu delik saja, yakni pada Pasal 2 UU Tipikor.

"Kami, KPK, dan segenap seluruh anak bangsa yakin bahwa para pelaku korupsi itu harus dilakukan hukuman mati. Tapi ingat negara kita negara adalah negara hukum. Konsekuensinya adalah hukum menjadi panglima. Semua proses harus mengikuti prosedur hukum," kata dia.

Berikut bunyi pasalnya:

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Penjelasan Pasal (2):

Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Firli menilai ketentuan itu membuat tidak semua bentuk kasus korupsi dapat diterapkan ancaman hukuman mati. Sebab, ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi.

Ia pun berpendapat seharusnya ada perubahan dalam UU Tipikor untuk memperluas ketentuan soal pidana mati.

"Bahkan saya pernah menyampaikan perlu dibuat pasal tersendiri sehingga 30 tindak pidana korupsi bisa dikenakan hukuman hari ini," kata Firli.

Terkait tuntutan hukuman mati, Firli Bahuri pernah mengultimatum bahwa pelaku korupsi bansos di saat pandemi COVID-19 bisa diterapkan. Namun nyatanya hal itu masih sebatas wacana.

"Jangan pernah berpikir, coba-coba atau berani korupsi dana bansos. KPK pasti akan mengambil opsi tuntutan hukuman mati," kata Firli Bahuri dalam keterangan tertulis yang dibagikan kepada wartawan per 29 Agustus 2020.

Sebab, sekitar 4 bulan kemudian, KPK mengungkap adanya praktik suap terkait bansos penanganan COVID-19. Kasus yang diawali OTT itu turut menjerat Juliari Batubara selaku Menteri Sosial.

Pada saat konferensi pers pun Firli Bahuri memberi isyarat untuk menjerat Juliari dengan hukuman mati seperti tercantum dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Hanya saja penyidik akan mengkajinya lebih dulu sebelum menggunakan pasal tersebut.

Namun, KPK hanya menjerat Juliari Batubara dengan Pasal 12 huruf b UU Tipikor. Bukan Pasal 2 UU Tipikor yang mengatur soal pidana mati.

KPK mengaku sedang membuka penyelidikan baru terkait bansos. Namun hingga kini belum diketahui kejelasannya.

Proses hukum KPK terhadap Juliari Batubara terus bergulir hingga sidang di Pengadilan Tipikor. Namun, pernyataan Firli Bahuri seakan tetap jadi wacana.

Dalam sidang tuntutan pada 28 Juli 2021, KPK menuntut Juliari Batubara pidana penjara selama 11 tahun. Beserta denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara, uang pengganti sekitar Rp 14 miliar, hingga pencabutan hak politik selama 4 tahun.

Juliari Batubara dinilai terbukti menerima suap hingga Rp 32 miliar melalui anak buahnya. Suap terkait dengan pengaturan vendor bansos sembako untuk masyarakat terdampak COVID-19.

Pasal yang dipakai KPK ialah 12 huruf b UU Tipikor. Ancaman maksimal dalam pasal itu ialah penjara seumur hidup atau 20 tahun.

Terlepas dari perbuatan Juliari Batubara yang tidak masuk kategori Pasal 2 yang mengatur hukuman mati, KPK tetap menuai kritik lantaran tuntutan kepada mantan Mensos itu tidak maksimal. Dari opsi maksimal yang bisa diambil penjara seumur hidup atau 20 tahun, KPK lebih memilih 11 tahun penjara.

Pada akhirnya, hakim menghukum Juliari Batubara 12 tahun penjara. KPK dan Juliari Batubara menerima putusan itu. Politikus PDIP itu kini sudah dieksekusi ke lapas.

Sebelum perkara Juliari, KPK juga sempat menuai kritikan yang serupa saat menangani kasus Edhy Prabowo. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu terjerat kasus suap izin ekspor benih lobster.

Penangkapan Edhy Prabowo dan Juliari Batubara terjadi hanya selang sekitar sebulan. OTT yang menjadi sejarah karena pertama kalinya KPK menangkap menteri aktif. Meski demikian, KPK dinilai tak serius dalam menangani perkara tersebut.

Ketika Juliari Batubara dituntut 11 tahun penjara, Edhy Prabowo dituntut 5 tahun penjara oleh KPK. Padahal, pasal yang diterapkan ialah Pasal 12 b UU Tipikor dengan ancaman maksimal penjara seumur hidup atau 20 tahun.

Edhy Prabowo bersama sejumlah anak buahnya diyakini menerima suap sejumlah USD 77 ribu dan Rp 24.625.587.250 atau totalnya sekitar Rp 25,75 miliar. Duit itu berasal dari para pengusaha pengekspor benih benih lobster (BBL) terkait percepatan pemberian izin budidaya dan ekspor.

Pengadilan Tipikor Jakarta pun setuju dengan tuntutan KPK dan menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara kepada Edhy Prabowo. Namun politikus Gerindra itu mengajukan banding karena yakin bisa bebas.

Akan tetapi, Pengadilan Tinggi DKI malah memperberat hukuman Edhy Prabowo menjadi 9 tahun penjara. Jauh lebih berat dibanding tuntutan KPK. Belum diketahui apakah opsi kasasi akan ditempuh Edhy Prabowo.

Perkara terbaru terkait tuntutan ringan KPK ialah kasus Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, 6 tahun penjara. Dia dinilai terbukti menerima suap dan gratifikasi terkait jabatannya hingga belasan miliar rupiah.

Nurdin dinilai terbukti menerima suap SGD 150 ribu dan Rp 2,5 miliar dari pemilik PT Agung Perdana Bulukumba dan PT Cahaya Sepang Bulukumba Agung Sucipto. Suap tersebut diterima untuk memenangkan perusahaan Agung dalam proyek di Dinas PUTR Sulsel.

Untuk gratifikasi, Nurdin Abdullah dinilai terbukti menerima Rp 7,587 miliar dan SGD 200 ribu selama menjabat sebagai Gubernur Sulsel 2018-2023.

Nurdin dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf a dan 12 B UU Tindak Pidana Korupsi. Meski dijerat dua pasal berlapis, tuntutan Nurdin Abdullah 'hanya' 6 tahun penjara. Saat ini, vonis hakim masih belum diketok. [kumparan]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA