Yusril Ihza vs Jimly: Antara Legacy Memalukan dan Etika

Yusril Ihza vs Jimly: Antara Legacy Memalukan dan Etika

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Dua master hukum tata negara Indonesia, Yusril Ihza Mahendra dan Jimly Asshiddiqie, beradu argumen. 

Yusril dan Jimly saling 'menyerang' terkait etika kepantasan seorang advokat, yang juga ketua umum partai politik, menangani gugatan terhadap AD/ART parpol lain.

'Tidak ada asap jika tidak ada api'. Jimly memang yang lebih dahulu menyindir Yusril. Sindiran itu disampaikan melalui cuitan menggunakan akun Twitter @JimlyAs, Sabtu (2/12/2021).

Melalui cuitannya, Jimly menilai sulit diterima etika kepantasan seorang pengacara juga menjabat ketua umum partai. Apalagi turut mempersoalkan AD/ART partai lain.


"Tapi perlu diingat juga, tegaknya hukum dan keadilan harus seiring dengan tegaknya etika bernegara. Meski UU tidak eksplisit larang advokat jadi ketum parpol, tapi etika kepantasan sulit diterima, apalagi mau persoalkan AD parpol lain. Meski hukum selalu tertulis, kepantasan dan baik-buruk bisa cukup dengan sense of ethics," tulis Jimly seperti dilihat detikcom, Minggu (3/10/2021).

Jimly memang tidak menyebut siapa pengacara dimaksud. Tapi, tanpa disebutkan identitas, publik tentu sudah bisa menebak. Sebab cuma Yusril, yang berprofesi sebagai pengacara juga menjabat ketua umum partai.

Pakar hukum tata negara itu kini mengemban jabatan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB). Yusril saat ini berstatus sebagai kuasa hukum empat mantan kader Partai Demokrat (PD) yang mengajukan uji materi atau judicial review (JR) terhadap AD/ART PD.


Yusril tak berdiam diri. Dia melancarkan serangan balik. Cukup tajam, karena juga mengungkit rekam jejak Jimly.

Salah seorang pengacara pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin dalam sengketa Pilpres 2019 itu mengulas keputusan Jimly, selaku Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), mengabulkan gugatan terhadap Undang-Undang tentang Komisi Yudisial (UU KY).

Gugatan yang diungkit Yusril mempersoalkan kewenangan KY mengawasi etik dan perilaku para hakim. Imbasnya, kewenangan KY mengawasi etik dan perilaku para hakim diamputasi.

"Prof Jimly batalkan UU KY yang mengatur kewenangan KY untuk mengawasi etik dan perilaku hakim, sehingga KY tidak bisa mengawasi hakim MK. Ini legacy paling memalukan dalam sejarah hukum kita ketika Prof Jimly menjadi Ketua MK," kata Yusril kepada wartawan, Minggu (3/10).

'Amunisi' Yusril menyerang balik Jimly nampaknya terisi penuh. Yusril mengulas aturan yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menangani perkara yang menyangkut dengannya.

"UU Kekuasaan Kehakiman tegas memerintahkan agar hakim mundur menangani perkara kalau dia berkepentingan dengan perkara itu. Di mana etika Prof Jimly?" sebut Yusril.

"Namun tidak seorang pun yang mengemukakan dissenting opinion dengan misalnya mengatakan, 'tidaklah etis MK menguji UU yang para hakim MK sendiri berkepentingan dengannya'," imbuh Yusril menyayangkan.


Sebetulnya, pengujian materil bisa dilakukan dengan legislative review atau dengan menyerahkan kewenangan memeriksa ke DPR RI. Menurut Yusril, akan memenuhi etika kepantasan jika MK menyerahkan gugatan UU KY soal kewenangan mengawasi etik dan perilaku hakim ke DPR.

"Tokoh pengujian materil bukan hanya bisa dilakukan MK, legislative review juga bisa. Akan lebih memenuhi 'etika kepantasan' jika menyatakan 'tidak berwenang' memeriksa dan memutus perkara tersebut dan menyerahkannya kepada legislative review," tuturnya.(detik)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita