Kala Para Profesor Hukum Berdebat Legalitas Omnibus Law UU Ciptaker di MK

Kala Para Profesor Hukum Berdebat Legalitas Omnibus Law UU Ciptaker di MK

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO -Sidang judicial revie UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi persidangan yang cukup menguras waktu dengan reli panjang. 

Salah satunya menghadirkan para profesor hukum untuk membedah UU tersebut.

Di antaranya adalah guru besar Unpadj Bandung, Prof Gede Pantja Astawa dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof M Fauzan. Keduanya adalah ahli yang dihadirkan oleh DPR. Para profesor itu beradu argumen dengan para hakim konstitusi yang juga sama-sama profesor hukum.

Salah satu perdebatannya adalah cara menyusun UU Cipta Kerja yaitu dengan model omnibus law. Cara ini menjadi perdebatan yang panjang karena Indonesia sudah memiliki UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan.


"Tapi karena saya tergelitik oleh pernyataan Prof Pantja Astawa. Saya mohon klarifikasi. Tadi Prof mengatakan model pembentukan undang-undang dengan omnibus law ini, itu bisa dikategorikan sebagai konvensi. Nah, kira-kira ini dalil baru dari mana bisa membenarkan ini, Prof? Menganggap ini sebagai konvensi ketatanegaraan?" kata hakim konstitusi Saldi Isra sebagaimana dilansir dalam risalah sidang MK, Kamis (14/10/2021).

Saldi yang juga Profesor hukum tata negara Universitas Andalas Padang itu menyitir pendapat Ismail Suny. Yaitu peralihan sistem pemerintahan presidensial ke parlementer tahun 1945 tanpa mengubah konstitusi, dianggap sebagai konvensi ketatanegaraan dengan prinsip express agreement. Namun hal itu kemudian menjadi polemik yang tidak berkesudahan.

"Karena apa? Kita sudah ditanamkan konvensi ketatanegaraan itu adalah untuk mengisi kekosongan yang tingkatnya sama dengan konstitusi, tapi tidak diatur dalam konstitusi," kata Saldi.


"Nah, ini soal pembentukan undang-undang sudah ada undang- undangnya, bagaimana secara akademik kita bisa menerima argumentasi bahwa ini konvensi? Jangan-jangan selama saya jadi hakim MK, ada teori-teori baru terkait ini?" sambung Saldi.

Senada dengan Saldi, hakim konstitusi Wahiduddin Adams juga menyoroti strategi omnibus law. Apakah bagian dari strategi jalan cepat atau jalan pintas. Sebab sudah ada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan.

"Sebab kalau kebutuhan-kebutuhan harus selalu jalan pintas, tanpa ada pedoman dan batasan-batasan, bukankah kita nanti akan terjebak pada budaya yang saya sebutkan pada waktu lalu, membenarkan yang biasa, bukan membiasakan yang benar. Pedoman itu ada batasan- batasannya, nah kita ini belum ada batasan-batasannya," kata Wahiduddin.

Menjawab pertanyaan di atas, Prof Gede Pantja Astawa menjawab pertanyaan di atas adalah masalah strategi pemilihan yang mementingkan prosedur atau hasil. Apakah pembentuk UU mau lewat jalan biasa yang sampainya lebih lama, atau lewat jalan tol yang sampainya lebih cepat.

"Bahwa ketika dihadapkan oleh pilihan antara lebih mengedepankan tujuan (doelmatig) atau tetap terpaku pada wetmatig? Tentu saja pilihannya pada lebih mengedepankan tujuan. Kenapa tujuan? Karena kalau memang dia memberikan sebuah manfaat, kalau dikaitkan dengan soal tujuan. 

Menjawab pertanyaan Pak Yang Mulia Wahiduddin Adams ini, antara memilih jalan biasa atau jalan tol? Pilihannya menggunakan jalan tol. Makanya saya katakan, penggunaan metode omnibuslaw itu adalah jalan cepat menuju sebuah tujuan," jawab Pantja

Senada dengan Panjta, M Fauzan juga sependapat dengan pemilihan omnibus law dengan alasan lebih cepat dan menghemat energi dan biaya. M Fauzan mengaku tidak bisa membayangkan apabila mengubah lebih dari 70 UU harus dilakukan secara konvensional. Sebab, akan memerlukan waktu yang sangat lama.


"Misalkan untuk perubahan satu UU dibutuhkan minimal waktu 3 bulan, maka diperlukan waktu minimal sekitar 210 bulan atau setara dengan 17 tahun 6 bulan. Belum lagi berapa biaya yang dibutuhkan untuk mengubah 70-an UU tersebut," kata M Fauzan.

Sebagaimana diketahui, judicial review UU Cipta Kerja ke MK diajukan oleh banyak elemen. Yang mulai disidangkan saat ini 6 nomor perkara. Terakhir, Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (Yayasan HAkA) juga mendaftarkan judicial review terkait pasal pengaturan amdal di UU Cipta Kerja dan saat ini masih diregistrasi di kepaniteraan MK.

"Menyatakan Pasal 22 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'Penyusunan dokumen amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara bebas dan sukarela untuk melindungi kepentingan dan kebutuhannya'," demikian permohonan Yayasan HAKA dalam berkas judicial review-nya.(detik)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita