GMKI: Menteri BUMN Harus Jalankan Visi Presiden, Bukan Sibuk Pencitraan Pribadi

GMKI: Menteri BUMN Harus Jalankan Visi Presiden, Bukan Sibuk Pencitraan Pribadi

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Kinerja Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, dinilai tidak optimal dalam melakukan transformasi BUMN. Baik secara budaya kerja, hingga pemilihan direksi dan komisaris yang masih berdasarkan kalkulasi politik.

Hal ini disampaikan Ketua Bidang Aksi Pelayanan Pengurus Pusat GMKI (PP GMKI), Prima Surbakti, melalui keterangannya di Jakarta, Selasa (14/9).


Menurut Prima, kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum dalam instansi BUMN meningkat drastis sejak dipimpin oleh Erick Thohir. Berdasarkan rekapitulasi data tindak pidana korupsi yang dirilis oleh KPK, kasus korupsi dari instansi BUMN meningkat 30 kasus pada tahun 2019-2020. Atau terjadi peningkatan 53,5 persen sejak tahun 2004.

"Kasus dan jumlah korupsi di dalam instansi BUMN sangat fantastis dan menyebabkan kerugian keuangan negara hingga puluhan triliun seperti kasus Jiwasraya, Asabri, dan Nindya Karya yang ditetapkan tersangka korporasi. Tingginya korupsi di tubuh BUMN menunjukkan adanya persoalan sistemik yang membelit BUMN baik secara budaya kerja, hingga pelaksanaan proyek," tutur Prima, dikutip Kantor Berita RMOLPapua.

GMKI pun menilai. transformasi BUMN melalui pembentukan holding dan BUMN AKHLAK yang dilakukan oleh Erick Thohir masih jauh dari harapan Presiden Jokowi Widodo.

"Buktinya, program vaksinasi masih 20 persen, padahal Erick Thohir sudah membentuk holding BUMN Farmasi. Pengadaan vaksin kita murni bisnis, masih impor menggunakan APBN. Seharusnya BUMN Farmasi dalam setahun ini sudah bisa memproduksi vaksin sendiri. Begitu juga dengan bahan baku obat-obatan, sebagian besar masih impor. Bagaimana sebenarnya wujud transformasi BUMN yang sering diucapkan oleh Erick Thohir," jelas Prima.

Lebih lanjut, GMKI menyinggung BUMN AKHLAK (Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif) yang menjadi pedoman nilai dan etika kerja BUMN yang dibuat oleh Erick Thohir melalui Permen BUMN PER-06/MBU/07/2020 tanggal 1 Juli 2021.

"Sungguh miris, Erick Thohir membuat BUMN AKHLAK tapi mengangkat mantan koruptor menjadi komisaris di salah satu BUMN," kata Prima.

Tak hanya itu, GMKI juga menyayangkan kinerja BUMN yang ambruk saat pandemi. Setidaknya ada 90 persen BUMN yang ambruk diterjang pandemi. Laba bersih BUMN anjlok dari Rp 124 triliun menjadi Rp 28 triliun sepanjang 2020 serta diperparah utang luar negeri BUMN yang mencapai Rp 873,8 triliun hingga Juni 2021.

Dalam keadaan ekonomi jatuh, langkah Erick Thohir yang meminta PMN 2021 sebesar Rp 4,1 triliun untuk PT KAI dalam rangka percepatan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung serta rencana menjadikan PT KAI untuk memimpin konsorsium KCIC langsung mendapat kritikan.

"Rencana ini tidak sesuai dengan janji pemerintah. Presiden Joko Widodo sudah tegaskan pembangunan kereta cepat tidak menggunakan APBN," ujarnya.

Lebih lanjut, GMKI menolak penyelesaian utang Jiwasraya melalui restrukturisasi.

Sebab, restrukturisasi Jiwasraya merupakan perampokan uang nasabah karena ada pengalihan polis dari Jiwasraya ke IFG. Di mana akan ada jutaan nasabah pensiunan yang dikurangi 73 persen haknya dari manfaat bulanan selama bertahun-tahun mengikuti asuransi.

Selain itu, terjadi pemotongan simpanan nasabah sampai dengan 41 persen, serta adanya penghapusan premi dan santunan untuk meninggal yang sudah dibayar lunas oleh nasabah.

"Nasabah asuransi itu, mayoritas pensiunan, puluhan tahun bekerja mati-matian, gaji dipotong tiap bulan untuk membayar asuransi, kok solusi dari Menteri BUMN justru merugikan mereka? Tidak ada hati nurani," paparnya.

Sehingga, PP GMKI dengan tegas meminta kepada Erick Thohir untuk bekerja menjalankan visi Presiden. Bukan untuk meningkatkan pencitraan dan elektabilitas pribadi.

Oleh karena itu, PP GMKI kembali meminta Presiden Jokowi untuk mengevaluasi kinerja Menteri BUMN.

"Saat ini, Presiden butuh negarawan yang bekerja memikirkan rakyat, bukan politik 2024," demikian Prima. (RMOL)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita