Kategori Korupsi Pemilu, Langkah Rizal Ramli Hapus Presidential Threshold Didukung KPI

Kategori Korupsi Pemilu, Langkah Rizal Ramli Hapus Presidential Threshold Didukung KPI

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Dewan Pendiri Koalisi Peduli Indonesia (KPI), Hilman Firmansyah menilai, ambang batas pencalonan Presiden (Presidential Threshold) telah mereduksi hak rakyat untuk memilih.

Sebab, hanya mereka yang bisa lolos ambang batas itulah yang bisa mengajukan Calon Presiden (Capres) dan pilihan rakyat pun menjadi terbatas.


Himan berpandangan, jika Pemilu langsung 2024 diberlakukan Presidential Threshold maka akan berdampak terjadinya permainan uang, atau kuasa uang.

Analisa Hilman, kekuatan permainan uang kemudian sangat dominan di dalamnya.

"Yang tak kalah penting PT itu kemudian juga munculkan apa yang disebut kuasa uang yang membungkam demokrasi," demikian kata Hilman dalam keterangan tertulisnya, Minggu (29/8).  

Hilman menegaskan, politik uang bukan sekadar memperjualbelikan suara rakyat (vote buying). Bentuk lain politik uang bisa saja money politic, electoral corruption, ada political corruption dan lainnya.

Hilman kemudian mengkhawatirkan biaya politik uang yang harus dipunyai oleh setiap calon presiden dan wakil presiden.

"Praktik politik uang ini bisa kita lihat saat calon presiden dan wakil presiden yang tengah mencari dukungan dari partai politik, karena imbas dari keberadaan presidential threshold," terang Hilman.

Ia meyakini praktik demokrasi semacam itu merupakan jenis korupsi pemilu.

"Kalau kita bicara presidential threshold, maka yang paling berkaitan dengan itu adalah bagaimana calon kandidat presiden atau wakil presiden memberi mahar ke partai politik untuk bisa dicalonkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden," jelasnya.

Atas dasar itulah, KPI mendukung langkah Rizal Ramli untuk terus memperjuangkan penghapusan ambang batas pencalonan atau presidential threshold 20 persen bersama tokoh nasional lainnya.

"Menurut Rizal ramli presidential threshold adalah sistem yang keliru namun disenangi partai politik. Kesenangan itu, karena adanya upeti atau mahar politik yang diterima dari calon pemimpin," demikian Hilman mengutip pandangan Rizal Ramli.

Hilman kemudian mengusulkan adanya revisi UU Pemilu yang mendorong munculnya lebih dari 2 pasangan calon. UU Pemilu, ditambahkan Hilman harus merepresentasikan substansi mendorong banyak calon lebih dari dua pasangan calon.

"Jadi calon itu harus lebih dari dua pasangan sebagai ikhtiar transisi dan pembelajaran demokrasi baik untuk elite maupun rakyat Indonesia," pungkasnya. (RMOL)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita