Ilmuwan Israel: Penyintas Covid-19 Lebih Kebal daripada Orang yang Divaksin

Ilmuwan Israel: Penyintas Covid-19 Lebih Kebal daripada Orang yang Divaksin

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Sebuah penelitian kelompok ilmuwan Nussenzweig yang berlangsung di Israel menemukan bahwa kekebalan alami yang terbentuk pasca sembuh dari Covid-19, lebih ampuh dari pada orang biasa yang sudah divaksinasi lengkap namun tidak pernah terinfeksi Covid-19.

Dikutip dari Science Mag pada Kamis (26/8), data yang baru dirilis ini menunjukkan orang yang pernah terinfeksi Covid-19 jauh lebih kecil kemungkinannya terinfeksi ulang, terkena varian Delta, bergejala berat, maupun dirawat di rumah sakit akibat gejala serius.

Terlepas dari studi ini, para ahli penyakit menular menekankan bahwa vaksin tetap sangat protektif terhadap penyakit parah dan kematian. Dan infeksi di antara orang yang belum divaksinasi akan sangat berisiko.

"Apa yang kami tidak ingin orang katakan adalah: `Baiklah, saya harus keluar dan terinfeksi, saya harus mengadakan pesta infeksi`. Karena seseorang bisa mati (akibat penyakit ini)," kata Michel Nussenzweig, ahli imunologi di Universitas Rockefeller yang meneliti respons imun terhadap SARS- CoV-2 dan tidak terlibat dalam penelitian.

Para peneliti juga menemukan bahwa orang yang pernah terinfeksi SARS-CoV-2 sebelumnya, lalu menerima satu dosis vaksin messenger RNA (mRNA) Pfizer-BioNTech, lebih terlindungi dari infeksi ulang dari pada mereka yang pernah terinfeksi namun belum divaksinasi.

Penelitian yang dilakukan di Israel sebagai salah satu negara yang paling banyak menerima vaksinasi COVID-19 di dunia, memeriksa catatan medis puluhan ribu orang Israel, memetakan infeksi, gejala, dan rawat inap mereka antara 1 Juni dan 14 Agustus, ketika varian Delta mendominasi di Israel. Ini adalah studi observasional terbesar sejauh ini untuk membandingkan kekebalan alami dan yang diinduksi vaksin terhadap SARS-CoV-2.

Analisis baru bergantung pada database Maccabi Healthcare Services, yang mendaftarkan sekitar 2,5 juta orang Israel.

Studi yang dipimpin oleh Tal Patalon dan Sivan Gazit menemukan dalam dua analisis. Pertama, orang yang divaksinasi sepanjang Januari, Februari, Juni, Juli, dan paruh pertama Agustus, enam hingga 13 kali lebih mungkin terinfeksi dari pada orang yang belum divaksinasi namun sebelumnya pernah terinfeksi virus corona.

Kedua, dengan membandingkan lebih dari 32.000 orang dalam sistem kesehatan, risiko mengembangkan gejala Covid-19 adalah 27 kali lebih tinggi di antara yang divaksinasi, dan risiko rawat inap delapan kali lebih tinggi.

"Perbedaannya sangat besar," kata Charlotte Thålin, seorang dokter dan peneliti imunologi di Rumah Sakit Danderyd dan Institut Karolinska yang mempelajari tanggapan kekebalan terhadap SARS-CoV-2.

Kendati demikian, dia memperingatkan bahwa jumlah infeksi dan peristiwa lain yang dianalisis untuk perbandingan itu cukup kecil. Misalnya, tingkat rawat inap yang lebih tinggi dalam analisis 32.000 orang, didasarkan pada hanya delapan rawat inap dalam kelompok yang divaksinasi dan satu kelompok yang sebelumnya terinfeksi.

Dan peningkatan risiko infeksi 13 kali lipat dalam analisis yang sama, didasarkan pada hanya 238 infeksi pada populasi yang divaksinasi, kurang dari 1,5 persen dari 16.000 orang, dibandingkan 19 infeksi ulang di antara jumlah orang yang sama yang pernah menderita SARS-CoV-2.

Tidak seorang pun dalam penelitian ini yang terinfeksi SARS-CoV-2 meninggal, yang menunjukkan bahwa vaksin masih menawarkan perisai yang tangguh terhadap penyakit serius, meski tidak sebaik kekebalan alami.

Dalam analisis lain, para peneliti membandingkan lebih dari 14.000 orang yang terkonfirmasi Covid-19 dan masih belum divaksinasi, dengan jumlah yang setara dengan orang yang sebelumnya terinfeksi yang kemudian menerima satu dosis vaksin Pfizer-BioNTech. Tim menemukan bahwa kelompok yang tidak divaksinasi dua kali lebih mungkin terinfeksi ulang dibandingkan dengan kelompok yang divaksinasi tunggal.

"Kami terus meremehkan pentingnya kekebalan infeksi alami, terutama ketika (infeksi) baru terjadi," ujar Eric Topol, seorang dokter-ilmuwan di Scripps Research.

"Dan ketika Anda meningkatkannya dengan satu dosis vaksin, Anda membawanya ke tingkat yang tidak mungkin Anda tandingi dengan vaksin mana pun di dunia saat ini," lanjut dia. [jurnas]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita