Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Utang Negara

Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Utang Negara

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


Oleh:Dr. Ahmad Yani
UNDANG Undang Dasar 1945 bukan hanya sekedar konstitusi hukum dan politik, tetapi merupakan konstitusi ekonomi. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 UUD.

Karena itu konstitusi mengamanatkan kepada pemerintah untuk menyusun ekonomi sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi untuk hajat hidup orang banyak, bumi dan air serta kekayaan alam diperuntukan bagi kemakmuran rakyat.

Selanjutnya ekonomi diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Untuk itu perlu kebijakan ekonomi yang benar-benar melindungi kepentingan bangsa dan negara terutama sekali kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat. Artinya, menurut Yudhie Haryono (2021) ekonomi tidak akan mampu memberikan harapan kalau hanya dilaksanakan orang kelas jenderal pesolek dan kelas petruk blusukan.

Ekonomi konstitusi tentu bukan arsitektur ekopol yang memastikan pengojek, tenaga kerja wanita, pengutang, pengimpor sebagai prestasi yang dibanggakan di forum-forum internasional.

Karena itu persoalan yang dihadapi Indonesia begitu sangat rumit karena pemerintah hanya mengandalkan utang dan utang untuk menggerakkan roda ekonomi, sehingga akhirnya membuat bangsa ini semakin berada pada jurang kebangkrutan. Utang Indonesia sedang dalam keadaan membahayakan.

Hasil audit laporan keuangan pemerintah selama tahun 2020 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperlihatkan beberapa hal yang harus diwaspadai pemerintah, salah satunya penambahan utang pemerintah. Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara, yang dikhawatirkan pemerintah tidak mampu untuk membayarnya.

Laporan hasil audit BPK yang disampaikan di hadapan DPR RI dan Presiden itu tentu bukan asal-asalan. Sebagai lembaga auditor, BPK sudah menorehkan banyak prestasi, baik di tingkat nasional maupun internasional. Tentu setiap laporan BPK telah dilengkapi dengan hitungan yang cermat, menurut standar dan rekomendasi internasional, IDR (International Debt Relief) dan IMF.

Sebagaimana kita ketahui bersama dari penjelasan para ekonom, bahwa rasio utang pemerintah terhadap PDB naik tajam setiap tahunnya. Menurut pengamat ekonomi, Anthony Budiawan (2021), rasio utang terhadap PDB dari 24,7 persen (2014) menjadi 30,2 persen (2019). Dan melonjak menjadi 39,4 persen (2020). Diperkirakan akhir tahun 2021 ini rasio utang mencapai 46 persen hingga 48 persen dari PDB.

Bahkan dengan kondisi ini menurut Anthony, kemampuan Indonesia membayar bunga dan utang luar negeri bergantung dari ketersediaan utang luar negeri. Artinya ekonomi seperti yang dinyanyikan oleh Rhoma Irama "gali lubang tutup lubang".

Keadaan ekonomi yang mengandalkan utang seperti itu sudah masuk pada tahap krisis. Karena Indonesia mengandalkan utang dengan membayar utang sementara kemampuan Indonesia menghasilkan devisa sangat lemah, bahkan sudah negatif.

Meminjam istilah Said Didu, ekonomi Indonesia berkembang dengan cara buatan yaitu dengan mengandalkan utang, oleh Said Didu istilahkan dengan "ekonomi ventilator". Ekonomi yang dipaksakan tumbuh dengan utang meskipun rasio utang sudah semakin berbahaya. Kemampuan Indonesia membayar bunga dan utang luar negeri saat ini tergantung dari ketersediaan utang luar negeri.

Permainannya bukan lagi apakah Indonesia mampu membayar, tetapi juga apakah pihak asing bersedia untuk terus memberi utang. Dari perspektif ekonomi, Indonesia sudah dalam ancaman default. Baik dari hasil audit BPK maupun dari perspektif ekonomi, Indonesia sudah dalam ancaman utang dan itu berbahaya.

Risiko utang yang demikian membahayakan itu dari perspektif hukum sudah melanggar ketentuan Pasal 12 Ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara.

Yaitu dimana utang negara sudah mencapai batas maksimun 60 persen dari PDB maka kebijakan ekonomi tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Bahkan kalau kita melihat skema utang Indonesia sekarang dan beban bunga utang terhadap penerimaan pajak pada akhir Mei 2020 mencapai 27,7 persen karena penerimaan pajak rendah, hal ini melampaui standar aman yang ditetapkan IMF 10 persen.

Ketika rasio penerimaan pajak terhadap PDB terus turun, defisit membengkak, beban bunga dibayar dengan utang baru, dan utang pemerintah akan naik dengan cepat, maka itulah ekonomi ambruk dan utang menggunung, bahkan bisa melampaui batas maksimum 60 persen dalam jangka waktu yang lama.

Di sisi lain defisit anggaran sudah melampaui 3 persen dari PDB sesuai yang ditetapkan oleh Pasal 12 (3) UU Keuangan Negara. Meskipun beberapa ekonom masih mempertanyakan angka 3 Persen itu, tapi secara hukum angka itu adalah angka maksimun yang harus dipertahankan oleh pemerintah supaya tidak terjadi defisit yang semakin besar.

Namun pada tahun 2020 defisit anggaran mencapai 6,2 persen dari PDB. Diperkirakan pada tahun 2021 defisit 5,7 persen. Tentu hal ini telah melampaui ketentuan hukum dan dapat disebut sudah melanggar ketentuan hukum yang berlaku.

Tetapi pemerintah membuat akal-akalan untuk mempertahankan status quo dengan skema ekonomi yang melanggar UU Keuangan negara itu.

Pemerintah kemudian mengeluarkan Perppu 1 Tahun 2020 yang Kemudian menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Meskipun UU itu untuk alasan Covid-19, tapi norma yang diatur adalah masalah ekonomi. Jadi tujuan utamanya adalah untuk menyelamatkan skema ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah meskipun merugikan negara, menambah utang dengan alasan covid, melampaui batas defisit APBN dengan alasan Covid-19 dan lain-lain.

Maka dengan UU Nomor 2/2020 itu pemerintah membuat pasal-pasal tertentu untuk menyelamatkan diri dengan memberikan imunitas bagi pejabat yang mengambil kebijakam sehingga terbebas dari jelas hukum.

Bahkan UU tersebut memperbolehkan Bank Indonesia membeli Surat Utang Negara (SUN) di Pasar Primer, padahal sebelumnya diharamkan, BI hanya boleh membeli SUN di pasar Sekunder. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan praktek Pembelian SUN ini akan dipersoalkan secara hukum dikemudian hari.

Usaha pemerintah untuk mempertahankan status quo atas skema ekonomi itu tidak berjalan mulus. Ada penambahan utang negara yang terus meningkat dengan bunga tinggi, diprediksi utang itu akan melonjak mencapai 10 ribu triliun apabila diteruskan sampai tahun 2024. Kemudian utang BUMN tahun 2020 mencapai 2.000 triliun.

Tingginya angka utang tidak memberikan tren positif bagi kinerja BUMN. Justru akhir-akhir ini kita selalu mendapatkan berita BUMN merugi terus menerus.

Perusahaan pelat merah seperti seperti Kereta Api Indonesia, per Januari hingga Maret 2021 mengalami kerugian Rp 303,4 miliar. Kemudian disusul oleh Garuda Indonesia yang menderita kerugian hingga Rp 15,19 triliun pada kuartal III 2020. Kemudian Pertamina pada semester 1 2020 Pertamina mencatatkan kerugian sebesar Rp 11 triliun.

Akibatnya BPJS yang diberitakan surplus pada Kuartal 1 2021 kini menaikan tarifnya untuk BPJS kesehatan. Kemudian pemerintah sedang membahas bersama DPR tentang UU Perpajakan untuk kenaikkan pajak sembako menjadi 12 persen.

Kenaikan tarif dan berbagai kebijakan itu juga tidak memberikan dampak apapun bagi kondisi ekonomi kita, malah justru kondisi ini makin terpuruk. Langkah apapun yang diambil oleh pemerintah menurut saya tetap tidak mampu menghindari krisis ekonomi yang akan menghantam Indonesia.

Kembali lagi pada laporan hasil audit BPK sebagaimana yang disebutkan di atas, dapat kita duga bahwa laporan audit itu memperlihatkan ada penyimpangan kebijakan yang dilakukan oleh pimpinan lembaga/kementrian dalam melaksanakan pinjaman luar negeri.

Tidak mungkin BPK mengatakan hal yang demikian kalau tidak ada persoalan yang sangat membahayakan negara. Karena itu sesuai ketentuan pidana Pasal 34 Ayat (1) UU Keuangan Negara, harus ditindaklanjuti oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara serius.

Menurut saya, secara konstitusional kalau dibaca dari perspektif Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, terdapat prinsip-prinsip ekonomi yang diabaikan oleh pemerintah dalam mengambil kebijakan utang itu sehingga menyebabkan negara dalam keadaan ekonomi yang amburadul seperti sekarang ini.

Tidak ada kemandirian ekonomi, negara hanya mengandalkan hutang untuk membayar utang, sehingga menjaga keseimbangan kemajuan nasional terabaikan.

Maka dari perspektif itu apabila risiko utang sudah sangat berbahaya seperti sekarang ini berdasarkan konstitusi dan UU, DPR dapat memanggil Presiden untuk segera diminta penjelasan dan pertanggungjawaban hukum penggunaan utang yang besar itu.

Menurut saya pertanggungjawaban hukum melalui lembaga legislatif sangat penting dan mendesak. DPR tidak boleh hanya diam menunggu apa yang terjadi, harus ada inisiatif DPR bahkan bila perlu membentuk Panitia Khusus Angket DPR untuk membuka semua kondisi keuangan negara saat ini.

Kita sudah memasuki ambang krisis, dan apabila skema ekonomi ini terus menerus terjadi akan menyebabkan keadaan bangsa ini semakin terpuruk.

Skema apapun yang sedang diambil dari perspektif ekonomi sudah tidak memungkinkan lagi. Meskipun pemerintah akan berupaya menaikkan pajak (PPN) seperti yang sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR untuk mengurangi defisit anggaran, namun resikonya besar yaitu daya beli turun dan pengangguran, kemiskinan serta ketimpangan sosial akan meningkat.

Dengan demikian, kita sudah harus siap siaga menghadapi krisis dan resesi berkepanjangan di 2022.

Sebagai penutup, kalau semua pilihan sudah tidak memberikan jalan keluar dari semua ini, maka krisis dan resesi berkepanjangan di tahun-tahun yang akan datang, maka menurut Anthony keuangan negara dipastikan juga ambruk. Utang menggunung. Mungkin Bank Indonesia harus terus cetak uang. Inflasi akan melonjak. Kepercayaan luar negeri luntur. Devisa kabur. Selamat datang 1998.

Kalau demikian pengadilan rakyat akan mengadili kekuasaan itu dengan kehendaknya. Karena itu, sebelum hal ini terjadi, DPR harus segera mengambil sikap. Wallahualam bis shawab.

(Ketua Umum Partai Masyumi.)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita