Kesaksian Warga Australia Tinggal di Indonesia: Cemas Selama Pandemi

Kesaksian Warga Australia Tinggal di Indonesia: Cemas Selama Pandemi

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Setiap malam dalam beberapa minggu terakhir, Tara McGowan mendengar suara ambulans lewat depan rumahnya setiap 10 menit sekali.

Selama dua pekan lalu, empat orangtua dari mahasiswanya telah meninggal dunia akibat COVID-19.

Tara merupakan pengajar bahasa Inggris di salah satu universitas di Yogyakarta, yang juga melihat langsung bagaimana pandemi ini menyerang salah satu tetangganya.

Wanita asal Australia ini mengaku melihat tetangganya berjalan ke mobil dalam kondisi kesulitan bernafas.

"Banyak orang meninggal. Situasinya begitu menakutkan," ujar Tara kepada ABC.

Bertambahnya jumlah korban meninggal dan pasien COVID-19 ini diperkirakan belum mencapai puncaknya.

"Puncak gelombang kedua penularan COVID-19 di Indonesia belum terjadi," ujar Edhie Rahmat, dari Project HOPE, sebuah LSM setempat. 

"Pasien sakit hanya menunggu kematian pasien lainnya sehingga mereka bisa punya kesempatan untuk masuk ke rumah sakit," katanya.

Indonesia melaporkan lebih dari 20 ribu kasus baru per hari sejak awal bulan Juli ini.

Pada hari Jumat pekan lalu (09/07), tercatat 38.124 kasus positif dengan 871 kematian.

Menko Maritim dan Investasi RI Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya mengakui kemungkinan skenario terburuk di mana jumlah kasus harian bisa mencapai 40 ribu hingga 50 ribu.

Namun dikhawatirkan jumlah kasus baru dan kematian akibat COVID sebenarnya lebih tinggi lagi karena masih kurangnya tes yang dilakukan.

"Mereka sekarang mengangkut mayat dengan mobil truk karena ambulans sudah tidak mencukupi," kata Tara.

"Mereka menumpuk mayat-mayat itu, agak menjijikkan rasanya," ujarnya.

Rumah sakit di beberapa kota besar di Pulau Jawa telah mengalami kelebihan kapasitas, begitu pula dengan persediaan oksigen bagi pasien COVID.

Presiden RI Joko Widodo telah menjanjikan tambahan fasilitas perawatan untuk pasien COVID, serta meminta para produsen oksigen untuk mengutamakan pasokannya bagi keperluan kesehatan.

Pekan lalu, Australia mengumumkan bantuan ventilator, oksigen, 40.000 peralatan tes COVID, serta 2,5 juta dosis vaksin buatan AstraZeneca.

Menurut Tara McGowan, warga Australia mungkin banyak yang tidak memahami bagaimana dampak pandemi ini pada suatu negara seperti Indonesia.

"Orang meninggal di rumahnya, orang menyaksikan bagaimana tubuh keluarganya menjadi biru di depan mata sendiri," ujarnya.

"Bila orang Australia bisa melihat langsung apa yang terjadi di Indonesia saat ini, mereka pasti akan cepat-cepat pergi vaksinasi," kata Tara lagi.

Melewatkan kematian nenek di Australia

Banyak orang Australia yang tinggal di Indonesia saat ini tak bisa pulang untuk mengunjungi keluarganya sejak awal pandemi tahun lalu.

Pemerintah Australia pada awal Juli juga telah mengambil kebijakan untuk mengurangi kuota warga Australia di luar negeri yang bisa pulang ke negaranya.

Salah satu warga Australia yang berada di Indonesia, Hana Joyce, telah tinggal di Ubud, Bali, sejak tahun 2017.

Ia mengaku tidak pernah pulang ke Australia selama pandemi, dan telah melewatkan sejumlah acara penting keluarganya.

Hana menyebutkan tidak bisa pulang ke Australia ketika neneknya meninggal pada Desember tahun lalu, akibat adanya pembatasan serta biaya karantina hotel yang sangat mahal.

"Kami mengalami beberapa peristiwa penting dalam keluarga, yaitu kelahiran anak saya, kematian nenek, dan pernikahan saudara, namun kami tidak bisa berkumpul," kata Hana.

Hana menikah dengan orang Bali, Ketut Aprinawan, dan telah dikarunia tiga orang anak yang masih balita. Mereka mengelola sebuah restoran Jepang di Ubud, yang dibuka tidak lama sebelum pandemi.

Pandemi telah menekan perekonomian dan mendorong Indonesia masuk ke masa resesi untuk pertama kalinya dalam dua dekade.

Perekonomian Bali yang sangat bergantung pada sektor pariwisata sangat terpukul akibat pembatasan perjalanan yang berlaku di banyak negara.

Namun Hana merasa bersyukur karena bersama suami dan karyawan restoran serta tetangga-tetangganya, mereka semua telah mendapatkan vaksinasi lengkap.

"Saya dan suamiku, seluruh pegawai restoran kami serta para tetangga telah divaksinasi jauh sebelum orangtuaku di Australia yang berumur 70-an mendapatkan vaksin," ujar Hana.

Pemerintah RI telah mendahulukan program vaksinasi untuk Bali karena terkait dengan rencana mereka untuk membuka kembali Pulau Dewata bagi para turis.

Secara nasional, pemerintah Indonesia telah menargetkan vaksinasi terhadap 180 juta orang pada awal tahun 2022.

Data pekan lalu menunjukkan baru sekitar lima persen dari orang Indonesia yang telah divaksinasi secara lengkap.

Warga Indonesia di Australia merasa bersalah

Bagi Felia Erlang, seorang warga Indonesia yang tinggal di Australia, ada rasa bersalah ketika mendengar kabar tentang kerabatnya yang meninggal di kampung halaman.

Wanita yang pindah ke Australia sejak 22 tahun lalu ini menyebut kabar buruk dari Indonesia beberapa waktu belakangan sudah menjadi kenyataan yang menyedihkan.

"Kami tidak bisa pulang untuk membantu. Tak bisa berbuat apa-apa," ujarnya kepada ABC.

Ia bersama teman-temannya mengikuti perkembangan di Indonesia dan saling menguatkan diri melalui grup percakapan online. 

"Hari-hari ini sangat berat bagi teman-teman saya," katanya.

"Orangtua dari sejumlah teman saya telah meninggal dunia dalam beberapa hari terakhir," kata Felia. 

Felia mengatakan ayahnya di Indonesia dalam kondisi baik, namun khawatir dengan banyaknya informasi menyesatkan tentang COVID yang diterima keluarganya.

Karena itu, ia mengaku mengambil peran untuk menjelaskan mana informasi yang tidak benar dalam grup percakapan WhatsApp keluarganya.  

"Saya harus melakukannya untuk membantu keluarga. Saya sampaikan betapa perlunya kita divaksin, dan betapa COVID ini nyata adanya," ujar Felia lagi.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari laporan dalam bahasa Inggris ABC News. [viva]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita