Kata Gubernur Nova, Demokrasi Di Aceh Beda Dengan Daerah Lain

Kata Gubernur Nova, Demokrasi Di Aceh Beda Dengan Daerah Lain

Gelora Media
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Demokrasi merupakan konsep kebijakan yang bersifat dinamis dan universal. Namun dalam penerapannya dapat saja berbeda di berbagai daerah.

Demikian disampaikan Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, dalam diskusi publik bertajuk "Demokrasi Sebagai Pilar Pembangunan Aceh" yang digagas Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Aceh-Yogyakarta (Himpasay) yang berlangsung secara virtual, Kamis (8/7).

"Lihat saja, bagaimana pemilihan umum yang dilaksanakan di Jerman memiliki perbedaan dengan sistem pemilihan umum diterapkan di Inggris," kata Nova

Menurut Nova, demokrasi itu dapat dikatakan bersifat culturally bounded, atau dibatasi oleh karakteristik sosial dan budaya masyarakat setempat.

Nova menjelaskan bagaimana demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Tidak bisa disamakan dengan sistem kebebasan yang berkembang di Amerika.

Demokrasi Indonesia, lebih mengedepankan musyawarah dan kebersamaan. Sementara demokrasi Amerika Serikat lebih mengedepankan kebebasan aktualisasi individu.

Kendati demikian, dalam banyak konteks, demokrasi itu harus memiliki parameter yang sama. Misalkan, untuk kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan menyampaikan pendapat, hak yang sama di mata hukum, dan sebagainya.

Ditambahkan Nova, seiring berjalan waktu demokrasi terus berubah ke arah lebih baik. Untuk itu, suatu negara dapat disebut demokratis jika di negara tersebut sudah berkembang proses-proses menuju kondisi yang lebih baik dalam pelaksanaan supremasi hukum, penegakan HAM, dan menjunjung tinggi kebebasan berekspresi serta prinsip kesadaran dalam menghargai pluralisme.

"Demokrasi Indonesia sudah mengalami banyak kemajuan. Bahwa ada kekurangan di sana sini, itu bisa saja terjadi karena faktor kebijakan oknum, bukan karena landasan hukum. Sama halnya di Amerika di mana kasus-kasus rasial masih kerap terjadi," jelasnya.

Di samping itu, proses demokrasi yang diterapkan di Aceh, berbeda dengan daerah lain lantaran karakter sosial budaya masyarakatnya yang tidak sama dengan daerah lain.

Nova pun mencontohkan dari kacamata agama. Masyarakat Aceh adalah mayoritas muslim, sehingga ajaran Islam selalu menjadi acuan dalam kehidupan. Sehingga, dalam konteks tertentu sistem demokrasi di Aceh akan mengacu kepada ajaran Islam.

Walaupun demikian, mengenai kebebasan, pada dasarnya sama dengan daerah lain. Tapi kebebasan individu di Aceh dikatakan harus berpatokan kepada norma dan ajaran Islam. Terkait pembangunan, Aceh sama dengan daerah lain.

Dipaparkan Nova, setidaknya ada lima prinsip demokrasi yang harus ada dalam sistem pemerintahan. Seperti pengawasan, pemilu, adanya hak memilih dan dipilih, adanya kebebasan mengakses informasi, dan adanya kebebasan masyarakat sipil.

"Sehingga memberikan dorongan bagi warga negara yang merasa lemah untuk dapat memperkuat diri," imbuhnya, dikutip Kantor Berita RMOLAceh.

Sementara kebebasan masyarakat sipil memilikk beberapa aspek. Seperti kebebasan berkumpul, kebebasan berpendapat dan berserikat, kebebasan berkeyakinan, dan kebebasan dari sikap diskriminasi. Hal itu warga menjadi leluasa menyampaikan aspirasi secara terbuka.

Semua poin-poin yang ada itu, lanjut Nova, Aceh mengalami kemajuan yang sangat pesat. Bahkan dalam survei perkembangan demokrasi Indonesia yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik pada 2018 lalu, Aceh menempati posisi pertama sebagai daerah dengan pertumbuhan demokrasi yang terbaik.

"Semangat demokrasi inilah yang mewarnai proses pembangunan Aceh saat ini. Parlemen di Aceh begitu dinamis dengan kehadiran partai politik lokal, sehingga memberi ruang lebih luas kepada masyarakat untuk terlibat di dalamnya," beber Nova.

Hal tersebut sebuah kekhususan yang membuat Aceh berbeda dengan daerah lain di Indonesia.

"Dengan semua kebebasan itu, tentunya mendorong sistem Pemerintah di Aceh berjalan lebih hati-hati," ujarnya.

Lebih lanjut Nova menjelaskan, pengawasan sistem pemerintahan di Aceh begitu ketat. Sebab lembaga pengawasannya begitu banyak. Selain anggota dewan, ada pula kelompok masyarakat dan individu yang sangat kritis terhadap gerak pembangunan Aceh.

Keberadaan lembaga itu mendorong pemerintah lebih berhati-hati dan harus transparan dalam menjalankan kebijakannya. Namun di sisi lain, terkadang kebebasan itu juga disebut tidak lagi menerapkan sendi-sendi etika yang benar.

"Hal seperti ini tentu saja sangat tidak elok, karena sudah di luar etika demokrasi itu sendiri," ucap Nova.

Nova berharap semangat demokrasi di Aceh terus berkembang. Sehingga masalah etika juga menjadi pertimbangan dalam menyampaikan pendapat.(RMOL)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA