Iran Mulai Produksi Logam Uranium yang Bisa untuk Senjata Nuklir, Negara Barat Ketar-Ketir

Iran Mulai Produksi Logam Uranium yang Bisa untuk Senjata Nuklir, Negara Barat Ketar-Ketir

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengungkapkan pada Selasa (6/7) bahwa Iran telah memulai proses produksi logam uranium. Langkah ini dapat mendukung pengembangan senjata nuklir, sehingga 3 kekuatan Eropa mendesak perundingan untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015.

Dilansir dari Reuters, Teheran berdalih tujuannya untuk mengembangkan bahan bakar untuk reaktor riset. Meski begitu, tindakan ini menuai kritik dari Amerika Serikat (AS) yang menyebutnya sebagai langkah mundur yang disayangkan.

Otoritas AS dan Eropa menegaskan kalau keputusan Iran akan memperumit perundingan tak langsung  AS-Iran yang berusaha membawa kedua negara untuk mematuhi kembali kesepakatan tahun 2015. Kesepakatan ini membatasi program nuklir Iran dan mempersulit Teheran mengembangkan bahan fisil untuk senjata nuklir dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi.

Namun, mantan Presiden Donald Trump menarik AS mundur dari kesepakatan ini, sehingga Iran mulai melanggar banyak pembatasan. Teheran telah menghasilkan sejumlah kecil logam uranium yang tidak diperkaya tahun ini. Tindakan ini melanggar kesepakatan yang melarang seluruh proyek logam uranium lantaran dapat digunakan untuk membuat inti bom nuklir.

"Hari ini, Iran memberi tahu IAEA bahwa UO2 (uranium oksida) yang diperkaya hingga 20 persen U-235 akan dikirim ke laboratorium riset dan pengembangan (R&D) di Pabrik Pembuatan Bahan Bakar di Esfahan. Di sana, materi tersebut akan diubah menjadi UF4 (uranium tetrafluorida), kemudian ke logam uranium diperkaya hingga 20 persen U-235, sebelum digunakan untuk memproduksi bahan bakar," bunyi pernyataan IAEA.

Menurut laporan rahasia IAEA yang dilihat REUTERS, pengawas atom PBB tersebut telah mengonfirmasi kalau Iran sudah memulai proses produksi logam uranium yang diperkaya.

Inggris, Prancis, dan Jerman pun pada Selasa (6/7) mengaku sangat prihatin terhadap keputusan Iran yang melanggar kesepakatan nuklir Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA).

"Iran tak punya kebutuhan sipil yang kredibel untuk R&D dan untuk produksi logam uranium yang jadi langkah kunci dalam pengembangan senjata nuklir. Dengan demikian, Iran mengancam kesuksesan hasil perundingan Wina yang kemajuannya dicapai melalui 6 putaran negosiasi," kritik mereka.

Iran pun didesak untuk kembali berunding di ibu kota Austria. Perundingan itu dimulai pada bulan April dan ditunda pada 20 Juni. Belum ada tanggal yang ditetapkan untuk putaran berikutnya.

Menurut Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price, Washington memang tidak menetapkan tenggat waktu untuk perundingan tersebut.

"Seiring berjalannya waktu, kemajuan nuklir Iran akan mempengaruhi pandangan kami untuk kembali ke JCPOA," ungkapnya.

Price mengaku kalau AS khawatir Iran terus melanggar perjanjian, terutama soal eksperimen yang bernilai untuk penelitian senjata nuklir.

Di sisi lain, Duta Besar Rusia untuk IAEA menyoroti kalau tak hanya Iran yang melanggar kesepakatan 2015. Keputusan pemerintahan Joe Biden untuk mempertahankan sanksi Iran yang dijatuhkan kembali oleh Trump juga melanggar perjanjian tersebut.

"Satu-satunya jalan keluar dari lingkaran setan ini adalah dengan dimulainya kembali perundingan Wina tanpa ditunda-tunda dan pemulihan total JCPOA," usulnya melalui Twitter. []
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita