Wacana PPN Sembako, Siapakah yang Paling Dirugikan?

Wacana PPN Sembako, Siapakah yang Paling Dirugikan?

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Pemerintah sempat mewacanakan akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako. 

Lalu jika diimplementasikan pada masyarakat, siapakah yang akan paling dirugikan dengan kebijakan tersebut?
Pakar Ekonomi sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Sunan Gunung Djati Bandung Setia Mulyawan mengatakan, kebijakan tersebut akan membawa dampak luas di tengah masyarakat. 

Apalagi, kata dia, komoditas sembako merupakan barang-barang yang tidak bisa dihindari dari segi konsumsinya.

"Sebetulnya saya juga agak kaget mendengar berita itu. Tapi seandainya wacana ini diimplementasikan sekarang tentu saja saya termasuk yang tidak setuju dalam keadaan seperti sekarang. 

Dampaknya tentu kontradiktif dengan ikhtiar kita memicu pertumbuhan ekonomi," kata Setia saat dihubungi detikcom beberapa saat lalu.

Dia mengatakan, secara teori menarifkan pajak pada sembako akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat. Beberapa kelompok masyarakat pun dikaitkan akan terkena imbasnya. Setelah ekonominya terdampak pagebluk Corona kini harus mempersiapkan diri dengan pajak sembako.

"Tentu yang paling kena dampaknya mereka yang penghasilannya rendah (dalam tanda kutip) kelompok masyarakat bawah. Masyarakat bawah ini sebagian besar dari pendapatannya akan digunakan untuk belanja kebutuhan konsumsi. Nah mereka semakin tidak punya kelebihan kapasitas pendapatan untuk kepentingan lain kalau kemudian konsumsi barang pokoknya saja mengalami peningkatan," jelasnya.

Lain halnya dengan masyarakat menengah ke atas, kata dia, kelompok masyarakat ini cenderung menggunakan penghasilannya selain untuk konsumsi namun juga untuk saving (dana simpanan) dan investasi.

Selain masyarakat menengah ke bawah, Setia menjelaskan, kelompok masyarakat kedua yang paling dirugikan dan terkena dampaknya ialah masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai petani. Menurutnya, secara faktual kondisi petani berada dalam nilai tambah yang kecil.

"Mereka mengolah lahan yang terbatas dengan modal yang terbatas kemudian mereka menghasilkan produk pertanian yang dikonsumsi. Kalau kemudian mereka menghasilkan produknya dikenakan pajak (berimbas) harga jualnya semakin tinggi. Harga jual semakin tinggi dampaknya itu kan pada demand (permintaan)," tuturnya.

"Ini dikhawatirkan akan menurunkan permintaan sehingga yang kena itu masyarakat kita yang nanem padi atau komoditas sembako itu. Sudah nilai tambahnya kecil dikenain pajak pula. Itu akan berdampak semakin memperberat daya beli mereka," kata Setia menambahkan.

Dari kacamata ekonomi syariah, Setia menjelaskan sudah sesuai dengan konstitusi yang ada. Lebih tepatnya, perekonomian sudah diatur dalam UU Pasal 33 ayat 1 dan 2. Dimana di dalamnya terkandung salah satunya bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

"Ini juga landasan konstitusi ekonomi kita yang tidak bertentangan atau sesuai dengan kaidah ekonomi syariah. Bagaimana hajat hidup orang banyak itu dilindungi bukan hanya untuk kepentingan para pemilik modal, pemilik kapital tapi orientasinya pada rakyat banyak," imbuhnya.

"Pemerintah harus hadir untuk melindungi masyarakat terutama kelas menengah ke bawah yg pendapatannya sangat resisten dengan perubahan harga sehingga apabila harga ini dipicu kenaikannya melalui pajak itu mereka tidak serta merta daya belinya mengalami penurunan," tandas Setia.(dtk)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita