Ubedilah Badrun Urai Fakta Jokowi Abai Saran Cendekiawan Hingga Berbuntut Indonesia Dalam Bahaya

Ubedilah Badrun Urai Fakta Jokowi Abai Saran Cendekiawan Hingga Berbuntut Indonesia Dalam Bahaya

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Bangsa Indonesia dalam kondisi bahaya besar karena pemimpin mengabaikan saran dari para cendekiawan. Padahal cara cendekiawan mengingatkan Presiden Joko Widodo sudah sangat santun dan sabar.

Analis sosial politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun mengingatkan bahwa basis kritik kaum cendekiawan juga selalu menggunakan data, hasil riset, argumen teoritik yang kokoh, dan memberikan solusi.

“Tetapi kritik kaum cendekiawan dianggap angin lalu. Jokowi pura-pura dengar, lalu cuek," ujarnya saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (22/6).

Sejumlah contoh diurai Ubedilah Badrun atas sikap Presiden Joko Widodo yang abai pada aspirasi kaum cendekiawan.

"Misalnya, satu bulan setelah dilantik jadi presiden yang kedua, rezim Jokowi didemonstrasi oleh mahasiswa, cendekiawan, buruh dan masyarakat luas karena Jokowi menyetujui revisi UU KPK yang isinya melemahkan KPK," kata Ubedilah.

Padahal, tokoh nasional dan budayawan kala itu mendatangi Istana Negara bertemu Jokowi pada 26 September 2019. Sebelum itu, Jokowi juga terlebih dahulu bertemu dengan pimpinan organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan.

Saat itu, sambung Ubedilah, Jokowi mengatakan akan mempertimbangkan usulan para tokoh tersebut untuk mengeluarkan Perppu.

“Lalu apa yang terjadi? Perppu tidak dikeluarkan Jokowi dan UU KPK yang baru resmi sah secara hukum masuk dalam lembaran negara,” tegasnya.

“Ya, cendekiawan, para tokoh, budayawan, ormas keagamaan, mahasiswa, dan masyarakat luas dicuekin, tidak didengar," jelas Ubedilah.

Beberapa bulan kemudian, kata Ubedilah, tepatnya pada Maret 2020, Indonesia dilanda pandemi Covid-19. Jokowi dianggap nampak kebingungan antara memilih menyelematkan nyawa rakyat atau menyelematkan ekonomi.

Tak lama kemudian, pada 27 Maret 2020, Ketua Dewan Gurubesar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Profesor Siti Setiati menyarankan pemerintah untuk melakukan lockdown secara parsial atau karantina wilayah untuk mencegah semakin meluasnya penularan Covid-19.

Menurut Profesor Siti Setiati gagasan lockdown itu berkaca dari negara lain yang melakukan lockdown secara parsial. Yaitu menutup sebuah wilayah/provinsi yang sudah terjangkit infeksi Covid-19.

“Ikadan Dokter Indonesia (IDI), ekonom, para analis kesehatan masyarakat, kaum cendekiawan sebelumnya juga mengusulkan agar segera lockdown Jakarta pada Maret 2020. Termasuk saya sendiri bahkan sempat menghitung berapa biaya yang dibutuhkan jika Jakarta lockdown,” terang Ubedilah.

Ubedilah pada saat itu sempat menghitung biaya yang dibutuhkan jika Jakarta lockdown pada Maret 2020 lalu. Yakni hanya butuh sekitar Rp 12,4 triliun untuk 9,6 juta penduduk Jakarta selama 14 hari.

"Tetapi, jika hanya untuk penduduk miskin Jakarta yang jumlahnya sekitar 300 ribu penduduk berarti akan lebih kecil jumlah uang yang dibutuhkan ditambah kebutuhan medis dan lain-lain angkanya mungkin hanya sekitar 7 triliun," kata Ubedilah.

Uang Rp 12,4 triliun tersebut untuk membiayai makan, kebutuhan listrik, air, alat medis dan petugas medis selama 24 hari di masa lockdown Jakarta waktu itu.

Tetapi Jokowi tidak mendengarkan saran IDI, ekonom, para analis kesehatan masyarakat, kaum cendekiawan, bahkan para profesor juga tidak didengar Jokowi.

“Ya, Jokowi melenggang membuat Perpu 1/2020, lockdown tidak dilakukan, tetapi buat kebijakan PSBB yang masih membolehkan orang melakukan mobilitas ke berbagai tempat. Bahkan kerumunan yang dilakukan pejabat sering terjadi, bahkan oleh Jokowi sendiri," tutur Ubedilah.

Kini, kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia memasuki episode yang semakin mengkhawatirkan dengan kasus positif 1,97 juta lebih dengan korban meninggal dunia lebih dari 54 ribu dan positivity rate pada pertengahan Juni 2021 lebih dari 30 persen, melampaui standar WHO yang hanya 5 persen.

"Aspirasi rakyat, mahasiswa, buruh, kaum cendekiawan, dan ormas keagamaan juga terus tidak didengar ketika memprotes usulan pemerintah yang mengajukan UU Cipta Kerja (Omnibus law). Demontrasi besar terjadi pada 8 Oktober 2020 untuk menolak UU Ciptaker. Lagi-lagi itu tidak didengar Jokowi, termasuk dengan terang benderang Jokowi tidak mendengarkan NU dan Muhammadiyah," jelas Ubedilah.

"Itu semua adalah fakta empirik untuk menyimpulkan bahwa Jokowi memang sering mengabaikan para cendekiawan. Ini tanda-tanda Indonesia dalam bahaya besar," pungkas Ubedilah.(RMOL)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita