Harga Jual Listrik Hasil PLTSa Kemahalan, Energy Watch Dorong Pemerintah Beri Subsidi Ke PLN

Harga Jual Listrik Hasil PLTSa Kemahalan, Energy Watch Dorong Pemerintah Beri Subsidi Ke PLN

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Produksi listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dinilai terlalu mahal sehingga berimbas pada harga jual yang cukup tinggi.
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) 35/2018, PLN diwajibkan membeli listrik dari PLTSa sebesar 13,35 sen dolar AS per perkilowatt hour (kWh).

Jika dikonversikan ke mata uang rupiah dengan kurs satu dolar Amerika Serikat sama dengan Rp14.400, maka harga beli listrik dari PLTSa senilai Rp1.922,4 per kWh.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mendorong adanya subsidi dari pemerintah kepada PLN, agar bisa merealisasi upaya pengurangan sampah perkotaan melalui PLTSa.

Menurut Mamit, harga yang ditetapkan dalam Perpres tersebut di atas rata-rata Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik PLN pada APBN 2021. Yaitu BPP ditetapkan Rp 355,58 triliun atau rata-rata sebesar Rp1.334,4 per kWh.

"Bentuk insentif yang bisa diberikan bisa berupa dana kompensasi atau subsidi kepada PLN terkait pembelian harga PLTSa tersebut," ujar Mamit dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Jumat (25/6).

Di samping itu, Mamit juga menjabarkan contoh konkret dari biaya produksi listrik dari sampah yang cukup mahal, sehingga berakibat pada harga jual yang mahal.

Ia menyebutkan, produksi pembangkit PLTSa Benowo di Surabaya membutuhkan investasi sebesar 50 juta dolar Amerika Serikat dengan kapasitas 10 Megawatt (MW).

Selain itu, ada PLTSa Jakarta yang diungkapkan Mamit melakukan investasi mencapai 345,8 juta dolar Amerika Serikat dengan kapasitas pembangkit 38 MW.

"Dengan tarif per kWh yang begitu mahal maka akan memberatkan PLN. Apalagi sebenarnya PLN masih memiliki pilihan energi primer lain yang tarifnya lebih rendah dibandingkan PLTSa," ucapnya kepada wartawan.

Lebih lanjut, Mamit menyoroti soal biaya pembangunan PLTSa yang dibebankan ke daerah akan cukup memberatkan bagi setiap pemerintah daerah.

Ia berharap pemerintah daerah bisa berperan dalam menggandeng pihak swasta untuk membangun PLTSa tersebut. Namun, Mamit masih ragu biaya pembangunan PLTSa tidak membebani nilai beli listrik oleh PLN.

"Apalagi jika Pemda menggandeng pihak swasta maka perhitungan mereka akan lebih hati-hati lagi, kecuali memang pemda membentuk BUMD yang mengelola PLTSa sendiri. Perlu adanya insentif lebih kepada Pemda di mana bantuan saat ini sebesar Rp 500.000 per ton di nilai belum cukup dan memadai," tuturnya.

Mamit menekankan perlunya dibuat kembali aturan turunan dari Perpres 35/2018, sehingga bisa mengatur juga dari sisi lebih teknis dan juga pembiayaan agar bisa berjalan optimal.

Karena ia melihat, PLTSa ini membutuhkan dukungan semua pihak, mengingat ada dua potensi yang didapatkan. Yaitu, pengelolaan sampah menjadi lebih baik dan listrik bisa dihasilkan dari sampah tersebut.

"Tanpa ada dukungan dari pusat, Pemda sepertinya berhati-hati dalam menjalankan pembangunan PLTSa tersebut mengingat investasinya sangat besar tetapi listrik yang dihasilkan kurang signifikan," tutupnya.

Perpres 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, mentaur harga pembelian listrik oleh PLN dari PLTSa untuk kapasitas sampai dengan 20 megawatt (MW) yang ditetapkan sebesar 13,35 sen dolar AS per kWh, sedangkan kapasitas di atas atas 20 MW ditetapkan 11,8 sen dolar AS per kWh.[rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita