Bukhori Yusuf: Historiografi Indonesia Kurang Mengungkap Peran Ulama

Bukhori Yusuf: Historiografi Indonesia Kurang Mengungkap Peran Ulama

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Draf naskah Kamus Sejarah Indonesia yang kadung beredar di masyarakat memicu polemik dan protes dari berbagai kalangan. Khususnya dari warga Nahdiyin.

Pasalnya, dalam draf tersebut tak ada nama pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratus Syaikh Hasyim Asyari, dalam daftar tokoh yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Belakangan, pemerintah melalui Kemendikbud akhirnya memberikan klarifikasi bahwa draf naskah softcopy yang disusun sejak 2017 itu adalah buku yang tidak pernah diterbitkan secara resmi oleh Kemendikbud.

Anggota Komisi Agama DPR RI, Bukhori Yusuf, menyesalkan sikap gegabah tim penyusun yang mengabaikan kaidah historiografi Indonesia yang objektif.

Menurutnya, kiprah ulama maupun tokoh Islam lainnya berhak memperoleh kedudukan yang proporsional dalam narasi sejarah bangsa. Pasalnya, eksistensi mereka, secara autentik, telah mewariskan sumbangsih signifikan bagi usaha pendirian Republik ini.  

“Insiden ini sangat fatal dan harus disikapi serius. Dengan kata lain, upaya melenyapkan profil Hadratus Syaikh Hasyim Asyari dalam ingatan generasi tentang sejarah bangsa kita adalah perilaku ahistoris dan kontraproduktif bagi pengembangan wawasan kebangsaan kita," tegas Bukhori, Selasa (20/4).

"Tidak cukup sampai disitu, minimnya porsi ulama dalam narasi sejarah kita juga mengindikasikan historiografi kita yang diskriminatif dan kolonialistik,” sambungnya.

Lebih lanjut, dikatakan Bukhori, menghapus Hadratus Syaikh Hasyim Asyari dalam memori intelektual masyarakat adalah pengkhianatan terhadap amanat Bung Karno untuk tidak sekali-kali melupakan sejarah. Sekaligus bentuk pengabaian peran umat Islam dalam mendirikan dan mempertahankan Republik.

Anggota DPR yang pernah menjabat sebagai Ketua IPNU Jepara ini juga mengkritik penulisan sejarah Indonesia yang tertuang dalam buku formal sekolah.

Menurutnya, penulisan sejarah dalam buku tersebut seperti condong Belanda-Sentris/Eropa-Sentris dan kurang kritis secara metodologi. Sehingga, ia mendorong terobosan baru dalam historiografi Indonesia.

“Fenomena ini akhirnya membuat kita datang pada suatu kesadaran untuk meninjau kembali Historiografi Indonesia yang tertuang dalam buku-buku formal di sekolah, di mana sedikit sekali mengungkap peran ulama dan santri dalam perjuangan penegakan kedaulatan hingga mempertahankan NKRI,” paparnya.  

Indonesia sebagai negara yang berdasarkan ketuhanan, lanjutnya, tidak sepenuhnya compatible dengan narasi sejarah yang dibangun dari konstruksi berpikir yang sekuleristik, sebagaimana dituliskan oleh para sejarawan barat dan orientalis.

“Kendati begitu, bukan berarti kita anti terhadap narasi sejarah yang dituliskan mereka. Tetapi, cukup dimaknai sebagai pengayaan khazanah. Sementara, historiografi kita harus dibangun dari kajian yang kritis, referensi yang kuat, dan penulisan yang objektif dengan tidak mengesampingkan peran umat Islam sebagai salah satu isu krusialnya,” jelasnya.

Narasi sejarah, dia melanjutkan, akan membentuk kepribadian bangsa.

"Sebab itu, kita perlu adil sejak dalam pikiran. Termasuk pengakuan kita secara jujur bahwa para ulama dan santri adalah domain penting dalam historiografi Indonesia," pungkasnya. (RMOL)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita