KPI Larang Dai dari Organisasi Terlarang Tampil saat Ramadan, PKS: Offside!

KPI Larang Dai dari Organisasi Terlarang Tampil saat Ramadan, PKS: Offside!

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf mengkritik Surat Edaran KPI Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Siaran pada Bulan Ramadan. Ia menyoroti poin 6 Ketentuan Pelaksanaan huruf (d) seperti dikutip dari SE KPI Nomor 2 Tahun 2021;

“Mengutamakan penggunaan dai/pendakwah kompeten, kredibel, tidak terkait organisasi terlarang sebagaimana telah dinyatakan hukum di Indonesia, dan sesuai dengan standar MUI, serta dalam penyampaian materinya senantiasa menjunjung nilai-nilai Pancasila”

Ketua DPP PKS ini menganggap KPI telah melampaui kewenangannya sebagai lembaga negara yang independen sebagaimana ditegaskan dalam pasal 7 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Alhasil, ia memperingatkan lembaga ini untuk menempatkan fungsinya sesuai proporsi yang semestinya.

“KPI tidak boleh terkooptasi oleh kepentingan politik kekuasaan. Kewenangan KPI berada pada wilayah etis, bukan pada wilayah politis. Jadi, jangan offside!” tegasnya.

Terkait frasa organisasi terlarang, kendati tidak disebutkan secara detil dalam surat edaran tersebut, Komisioner KPI Irsal Ambia membenarkan FPI dan HTI masuk dalam ketentuan tersebut saat CNN Indonesia mengonfirmasi pada Senin (22/3/2021).

Lebih lanjut, Anggota Badan Legislasi ini khawatir surat edaran ini berpotensi membentuk opini yang bias di tengah masyarakat sehingga memicu pembelahan sosial akibat munculnya stigmatisasi terhadap dai/pendakwah tertentu melalui edaran tersebut.

“Dasar penilaian yang objektif menekankan pada gagasan spiritual dan rasionalitas yang dibawa oleh dai, bukan pada latar belakang kelompok/organisasi mereka,”

Sementara di sisi lain, demikian Bukhori melanjutkan, pelarangan oleh pemerintah terhadap organisasi itu seharusnya dipahami oleh KPI dalam konteks pencabutan hak kebebasan organisasinya untuk beroperasi, bukan hak individunya. Artinya, individunya tetap memiliki hak untuk berbicara, apalagi untuk berdakwah, sambungnya.

“Hak berbicara, mengeluarkan pendapat tidak boleh dihalang sepanjang konten atau isi pembicaraannya tidak bertentangan dengan konstitusi dan nilai-nilai keagamaan serta tidak mengandung unsur adu domba maupun fitnah,” imbuhnya.

“Apakah KPI ini hendak menghambat penegakan HAM dengan menghalang orang untuk berbicara? KPI semestinya bisa lebih cermat dalam melihat fakta sosiologis masyarakat kita yang tidak hanya terdiri dari satu golongan/aliran keagamaan semata,”

“Oleh karena itu, saya minta bisa dipertimbangkan kembali opsi untuk merevisi edaran tersebut sebelum menimbulkan konsekuensi serius di kemudian hari,” pungkasnya. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita