9 Pemberontak Komunis Filipina Tewas Usai Duterte Minta Aparat Abaikan HAM

9 Pemberontak Komunis Filipina Tewas Usai Duterte Minta Aparat Abaikan HAM

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO -  Komisi Independen Hak Asasi Manusia di Filipina mengatakan telah memulai investigasi tewasnya sembilan orang yang diduga pemberontak komunis di tangan polisi.

Pernyataan yang dikeluarkan lembaga pemantau HAM, hari Senin (08/03), menyebutkan mereka mengecam cara-cara kekerasan untuk menggulingkan pemerintah, namun respons aparat dalam menghadapi kelompok ini tetap harus menghormati prinsip hak asasi manusia.

Tindakan polisi yang menewaskan sembilan tersangka pemberontak komunis hari Minggu (07/03) dilakukan dua hari setelah Presiden Rodrigo Duterte memerintahkan aparat keamanan untuk membunuh pemberontak dan mengabaikan hak asasi manusia.

Upaya kelompok komunis untuk merebut pemerintah di Filipina sudah dilakukan selama lebih dari 50 tahun.

Sebelumnya, sejumlah kelompok hak asasi manusia mendesak pemerintah menyelidiki kematian sembilan orang dan penangkapan empat orang lainnya dalam rangkaian aksi yang digelar kepolisian, pada Minggu (07/03).

Seorang politisi menyebut operasi tersebut "banjir darah".

Rentetan kejadian ini berlangsung setelah Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, menyeru kepada kepolisian dan militer untuk "menghabisi" pemberontak komunis dan mengabaikan hak asasi manusia.

filipinaPresiden Filipina, Rodrigo Duterte, memerintahkan polisi dan militer "menghabisi" dan "membunuh" semua pemberontak komunis di Filipina. (Reuters)

Belum jelas apakah mereka yang tewas dalam rentetan aksi aparat merupakan pemberontak bersenjata atau aktivis sayap kiri.

Menurut sejumlah kelompok aktivis, di antara sembilan jenazah terdapat seorang pegiat lingkungan serta koordinator kelompok kiri, Bagong Alyansang Makabayan.

Lembaga Human Rights Watch mengatakan aparat tidak lagi membeda-bedakan antara pemberontak bersenjata dan aktivis.

"Rangkaian razia ini tampak menjadi bagian dari rencana terkoordinasi aparat dalam menggerebek, menangkap, atau bahkan membunuh para aktivis di rumah dan kantor mereka," kata Deputi Direktur Human Rights Watch di Asia, Phil Robertson.

Insiden-insiden ini, menurutnya, "jelas bagian dari kampanye perlawanan balik pemerintah yang kian brutal".

"Masalah mendasarnya adalah kampanye ini tidak lagi membedakan antara pemberontak bersenjata, aktitivis nonkombatan, pemimpin buruh, dan pembela hak-hak," cetusnya sebagaimana dikutip kantor berita Reuters.

filipina

Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam laporannya menyebutkan bahwa "mencap merah" atau melabeli orang dan kelompok sebagai komunis atau teroris, serta penghasutan aksi kekerasan semakin marak di Filipina.

"Pemerintah Filipina harus bertindak sekarang untuk menyelidiki penggunaan kekerasan mematikan dalam operasi ini, menghentikan kekisruhan, dan pembunuhan yang sejalan dengan praktik label merah," kata Robertson.

Apa kata Duterte?
Presiden Rodrigo Duterte, dalam pernyataannya pada Jumat (05/03), memerintahkan polisi dan militer "menghabisi" dan "membunuh" semua pemberontak komunis di Filipina.

"Saya telah memerintahkan kepada militer dan polisi, jika mereka kontak senjata dengan pemberontak komunis, bunuh mereka, pastikan Anda membunuh mereka, dan menghabisi mereka jika mereka hidup," kata Duterte.

"Hanya saya pastikan jenazah mereka dikembalikan ke keluarga masing-masing."

"Lupakan hak asasi manusia. Itu perintah saya. Saya bersedia masuk penjara, itu bukan masalah," seru Duterte dalam bahasa Visaya.

Bagaimana reaksi berbagai kalangan?
Sekretaris Jenderal Lembaga HAM Filipina, Cristina Palabay, mengecam aksi aparat.

"Tiada yang lebih cocok dari sebutan 'Minggu Berdarah'," kata Palabay.

Eks polisi akui bagian dari 'skuat maut' Duterte dan bunuh 200 orang
Presiden Duterte mengaku pernah membunuh langsung penjahat
Letnan Jenderal Antonio Parlade selaku ketua satuan tugas antipemberontakan mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa pihaknya melakukan "operasi penegakan hukum yang sah" dan aparat bertindak menggunakan surat penggeledahan untuk mencari senjata api dan bahan peledak.

"Seperti biasa, kelompok-kelompok ini begitu cepat berasumsi bahwa mereka [yang tewas] adalah para aktivis dan mereka dibunuh. Jika motifnya membunuh, seharusnya mereka semua tewas. Namun, ada pula mereka yang tidak melawan saat ditangkap sehingga mereka ditahan," kata Parlade.(dtk)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita