Sesumbar Edhy Prabowo Siap Dihukum Mati Tak Bikin KPK Gentar

Sesumbar Edhy Prabowo Siap Dihukum Mati Tak Bikin KPK Gentar

Gelora Media
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengaku siap dihukum mati atas kasus suap ekspor benih lobster atau benur yang menjeratnya. Merespons ini, KPK menyerahkannya pada proses peradilan.

Awalnya Edhy Prabowo mengaku sudah menjalankan tugasnya, bahkan menurutnya, menyempurnakan pekerjaan menteri sebelum dia. Lantas Edhy Prabowo kembali mengklaim mengenai kinerjanya lagi sebagai Menteri KKP. Namun bilamana pada akhirnya Edhy Prabowo dinyatakan bersalah, dia mengaku siap menghadapinya.

"Sekali lagi kalau memang saya dianggap salah saya tidak lari dari kesalahan, saya tetap tanggung jawab. Jangankan dihukum mati, lebih dari itu pun saya siap, yang penting demi masyarakat saya. Saya tidak bicara lantang dengan menutupi kesalahan, saya tidak berlari dari kesalahan yang ada. Silakan proses peradilan berjalan, makanya saya lakukan ini. Saya tidak akan lari dan saya tidak bicara bahwa yang saya lakukan pasti bener, nggak," ujar Edhy Prabowo di gedung KPK, Jakarta, Senin (22/2).

Menjawab pernyataan Edhy Prabowo, KPK menegaskan bahwa penyidikan masih berjalan. KPK sudah mengantongi bukti dalam kasus ekspor benur Edhy Prabowo dkk.

"Saat ini masih proses penyidikan masih berjalan. KPK telah memiliki bukti-bukti yang kuat atas dugaan perbuatan para tersangka tersebut," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan, Selasa (23/2).

Penyidik KPK berfokus membuktikan tindakan suap yang dilakukan Edhy Prabowo dkk. Berkaitan dengan ucapan Edhy Prabowo soal kesiapan dihukum mati, Ali menyerahkannya pada proses peradilan.

"Fakta hasil penyidikan akan dituangkan dalam surat dakwaan yang akan dibuktikan oleh JPU KPK. Namun, terkait hukuman, tentu majelis hakimlah yang akan memutuskan," ucap Ali.

Dalam kasus ini, total ada tujuh tersangka yang ditetapkan KPK, termasuk Edhy Prabowo. Enam orang lainnya adalah Safri sebagai mantan staf khusus Edhy Prabowo, Andreau Pribadi Misanta sebagai mantan staf khusus Edhy Prabowo, Siswadi sebagai pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK), Ainul Faqih sebagai staf istri Edhy Prabowo, Amiril Mukminin sebagai sekretaris pribadi Edhy Prabowo, serta seorang bernama Suharjito sebagai Direktur PT DPP.

Pengacara Edhy Prabowo, Soesilo Aribowo, menjelaskan alasan pengakuan Edhy tersebut.

"Itu mungkin saking kesalnya dengan opini-opini itu," kata Soesilo kepada wartawan, Selasa (23/2/2021).


Diketahui, awal mula saran hukuman mati untuk Edhy Prabowo itu diungkapkan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkum HAM) Edward Omar Sharif Hiariej. Soesilo menyebut Edhy belum bicara dengannya terkait hukuman mati itu.

Saat menjawab pertanyaan, Edhy Prabowo mengklaim telah menjalankan tugas dengan baik sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) sebelum akhirnya ditangkap KPK karena urusan suap-menyuap. Namun tiba-tiba Edhy Prabowo angkat bicara perihal wacana hukuman mati.

Pernyataan itu awalnya disampaikan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward 'Eddy' Omar Sharif Hiariej. Eddy menilai Edhy Prabowo dan eks Mensos Juliari Batubara layak dituntut vonis mati.

"Kedua kasus korupsi yang terjadi pada era pandemi, seperti misalnya kita ketahui bersama misalnya bahwa dua mantan menteri terkena OTT KPK pada akhir tahun 2020. Yang satu pada bulan akhir November, yang satu pada 4 Desember. Bagi saya kedua mantan menteri ini melakukan perbuatan korupsi yang kemudian kena OTT KPK, bagi saya mereka layak dituntut dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi, yang mana pemberatannya sampai pidana mati," kata Eddy saat diskusi online yang digelar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan tema 'Telaah Kritis terhadap Arah Pembentukan dan Penegakan Hukum di Masa Pandemi', Selasa (16/2).


Eddy menjelaskan alasan dua mantan menteri itu layak diancam tuntutan hukuman mati. Pertama, kejahatan keduanya dilakukan di saat pandemi; dan kedua, korupsi tersebut dilakukan dalam jabatan sebagai menteri.

"Karena menurut hemat saya ada paling tidak ada dua alasan pemberatan bagi kedua orang ini, pertama mereka melakukan kejahatan itu dalam keadaan darurat dalam konteks ini adalah COVID-19, dan kedua melakukan kejahatan itu dalam jabatan. Jadi dua hal yang memberatkan itu sudah lebih dari cukup untuk diancam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Tipikor," tuturnya.

Dalam kasus Edhy Prabowo, Suharjito ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap, sisanya disebut KPK sebagai penerima suap.

Secara singkat, PT DPP merupakan calon eksportir benur yang diduga memberikan uang kepada Edhy Prabowo melalui sejumlah pihak, termasuk dua stafsusnya. Dalam urusan ekspor benur ini, Edhy Prabowo diduga mengatur agar semua eksportir melewati PT ACK sebagai forwarder dengan biaya angkut Rp 1.800 per ekor.

KPK menduga suap untuk Edhy Prabowo ditampung dalam rekening anak buahnya. Salah satu penggunaan uang suap yang diungkap KPK adalah ketika Edhy Prabowo berbelanja barang mewah di Amerika Serikat (AS), seperti jam tangan Rolex, tas LV, dan baju Old Navy.

Dari nama-nama tersangka di atas, Suharjito tengah menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Dia didakwa memberi suap ke Edhy Prabowo sebesar Rp 2,1 miliar terkait kasus ekspor benur.

"Terdakwa Suharjito telah melakukan beberapa perbuatan yang mempunyai hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu, yaitu memberi sesuatu berupa uang seluruhnya USD 103 ribu dan Rp 706.055.440 kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yaitu kepada Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (Menteri KP-RI)," ujar jaksa KPK Siswandono di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (11/2).(dtk)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA