Eks Komisioner KPU: Demokrasi Lebih Parah dari Orba Karena Dibajak Oligarki

Eks Komisioner KPU: Demokrasi Lebih Parah dari Orba Karena Dibajak Oligarki

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Pembahasan RUU Pemilu di Komisi II DPR terhenti setelah mayoritas fraksi sepakat menolak melanjutkan pembahasan karena berkilah tak ada urgensi dan pandemi virus corona. Banyak pihak yang menyebut demokrasi akan mengalami kemunduran jika Pilkada dan Pilpres digelar serentak pada 2024.

Eks Komisioner KPU Endang Sulastri menjelaskan, sistem demokrasi yang berjalan di Indonesia belum memiliki blue print yang jelas.

"Pascareformasi ini terjadi euforia demokrasi. Tahun 1998, kemudian 1999 tumbuh partai yang cukup banyak sehingga peserta pemilu sampai 48 partai. Kalau kita melihat reformasi dibangun tanpa blue print pembangunan politik," kata Endang dalam diskusi secara virtual, Kamis (11/2).

"Pada saat Orde Lama runtuh tahun 1965-1966, kemudian pemilu diselenggarakan pemerintah Soeharto pada 1971. Memerlukan waktu sekitar 5 tahun. Tapi ketika reformasi bergulir, blue print belum tersusun sempurna sehingga Pemilu 1999 dilaksanakan, Mei 1998 itu reformasi, 1999 sudah dilaksanakan pemilu. Sehingga bagaimana pembangunan sistem politik atau pembangunan poltik yang diinginkan visinya belum terpapar dengan baik," lanjutnya.

Endang mengatakan, karena tidak ada blue print yang jelas, proses demokrasi dan pemilu pun berjalan tanpa arah dan peraturan pemilu hampir berganti setiap periode. Hal ini pula yang menyebabkan penyelenggara pemilu kewalahan, apalagi dengan perdebatan RUU Pemilu yang berkembang selama beberapa waktu belakangan.

"Lembaga penyelenggara pemilu sekarang ini desainnya sudah jauh menurut saya. Harus jadi perhatian DPR kalau kita melihat penyelenggara pemilu bukan semakin efektif, justru terjadi pemborosan, enggak efisien, dan akan jadi semerawut karena lembaga penyelenggara pemilu makin banyak yang tetap dan tugas-tugas utamanya itu menjadi enggak jelas menurut saya," tuturnya.

Endang juga berpendapat, demokrasi yang berjalan tanpa visi ini akhirnya dibajak oleh olirgaki. Sehingga demokrasi hanya berjalan sebagai formalitas, namun dalam praktiknya lebih dikuasai oleh oligarki.

"Pembangunan demokrasi tanpa visi menjadikan demokrasi dibajak oligarki karena demokrasi hanya berjalan secara formalitas. Kondisi ini jauh lebih parah dari Orde Baru," ungkapnya.

Sistem pemilihan langsung, kata dia, memang melibatkan partisipasi masyarakat namun di sisi lain, karena SDM yang tidak memadai baik dari segi pendidikan politik hingga ekonomi, maka masyarakat hanya sekadar jadi sumber legitimasi.

"Jadi masyarakat hanya jadi legitimator saja. Kondisi ini dimanfaatkan sekelompok orang yang punya SDM ekonomi kuat. Bahkan kaum pemilik modal menguasai lembaga politik termasuk, pun dengan DPR bahkan media massa yang semestinya jadi alat kontrol," jelasnya.

Akibat oligarki pula, masyarakat menjadi terpecah. Kekuatan masyarakat tidak lagi seperti saat masa-masa jelang reformasi atau awal reformasi. Oligarki juga membuat idealisme masyarakat luntur.

"Idealisme masyarakat seakan-akan sudah luntur, moralitas juga luntur. Bahkan ketika ada orang yang punya idealisme seakan-akan bertentangan, maka ada buzzer. Ini golongan yang jadi amat langka diperoleh," pungkasnya. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita