Demonstran Myanmar Serukan Mogok Massal untuk Lawan Kudeta Militer

Demonstran Myanmar Serukan Mogok Massal untuk Lawan Kudeta Militer

Gelora Media
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Para demonstran antikudeta militer Myanmar menyerukan 'mogok massal' dan lebih banyak lagi protes di jalan-jalan pada Senin (22/2). 

Seruan ini muncul setelah ancaman pihak berwenang bahwa konfrontasi dapat kembali menelan korban jiwa setelah dua pengunjuk rasa ditembak mati pada akhir pekan.

Seperti dilansir Reuters, Senin (22/2/2021) meskipun militer telah mengerahkan lebih banyak pasukan dan berjanji untuk mengadakan pemilihan umum baru, para jenderal gagal menghentikan protes yang berlangsung lebih dari dua minggu itu. Gerakan pembangkangan sipil terus terjadi untuk meminta kudeta diakhiri dan dibebaskannya pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi.

Aktivis pemuda terkenal, Maung Saungkha mendesak banyak warga lainnya untuk bergabung dalam protes hari Senin ini.

"Mereka yang tidak berani keluar, tinggal di rumah. Saya akan keluar dengan cara apa pun yang saya bisa. Saya mengharapkan Generasi Z. Mari bertemu, rekan-rekanku, "katanya dalam postingan di Facebook.

Para demonstran mencatat pentingnya tanggal 22.2.2021, membandingkannya dengan demonstrasi pada 8 Agustus 1988, ketika generasi sebelumnya melancarkan protes antimiliter yang menyebabkan pertumpahan darah.

Tanggapan pasukan keamanan kali ini tidak begitu mematikan, tetapi setidaknya tiga pengunjuk rasa telah tewas. Menyusul dua orang yang ditembak mati di kota terbesar kedua di Myanmar, Mandalay pada hari Sabtu (20/2) dan seorang polisi yang tewas akibat cedera.

Korban jiwa di Mandalay tidak mematahkan semangat pengunjuk rasa di hari berikutnya. Puluhan ribu orang terus berkumpul di sana dan di kota terbesar Myanmar, Yangon.

Media milik pemerintah, MRTV memperingatkan para demonstran akan terjadi tindakan keras pada hari Senin (22/2)

Para pengunjuk rasa sekarang menghasut orang-orang, terutama remaja dan pemuda yang emosional, ke jalur konfrontasi di mana mereka akan menderita kehilangan nyawa," kata MRTV.

Beberapa negara Barat mengutuk kudeta dan mengecam kekerasan terhadap pengunjuk rasa. Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Inggris dan Jerman juga mengutuk kekerasan itu dan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan kekerasan mematikan tidak dapat diterima.

Penduduk di Yangon mengatakan jalan menuju beberapa kedutaan, termasuk kedutaan AS, diblokir pada hari Senin (22/2). Misi diplomatik itu telah menjadi titik berkumpul para pengunjuk rasa yang menyerukan intervensi asing.

Militer Myanmar merebut kekuasaan setelah menuduh terjadinya kecurangan dalam pemilu 8 November 2020, yang dimenangkan oleh Partai Liga Demokrasi Nasional (NLD). Suu Kyi dan sebagian besar pemimpin partai ditahan.

Asosiasi Bantuan Myanmar untuk Tahanan Politik mengatakan setidaknya 640 orang telah ditangkap, didakwa atau dijatuhi hukuman sejak kudeta - termasuk mantan anggota pemerintah dan penentang pengambilalihan tentara.(dtk)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA