Bagaimana Para Buzzer Nazi Mati Mengenaskan?

Bagaimana Para Buzzer Nazi Mati Mengenaskan?

Gelora News
facebook twitter whatsapp


SEBUAH lelucon antifasis beredar di Jerman era Nazi. Bunyinya: “Seorang Arya punya badan setinggi Goebbels, selangsing Göring, rambutnya sepirang Hitler, dan namanya se-Jerman Alfred Rosenberg.”

Tentu saja lelucon itu menyasar propaganda visual rezim fasis yang menggambarkan orang Jerman sebagai ras unggul dengan berbagai atributnya: bermata biru, berambut pirang, berotot, cerdik-cendekia, dan bukan Yahudi. Ironisnya, ciri-ciri itu tak ditemukan pada diri dedengkot fasis dalam lelucon tersebut. Tubuh Goebbels terbilang pendek untuk orang Jerman (165 cm), Hermann Göring gendut, Hitler berambut gelap, dan nama Rosenberg lazim disandang orang Yahudi di Eropa dan Amerika.

Sehebat-hebatnya mereka menggambarkan ras Arya dalam pidato, koran, dan film dokumenter, sebagian besar gembong fasis ini binasa di tangan musuh—tepatnya di tiang gantungan Nuremberg—pada 1946. Hitler mati dalam bunkernya di Berlin setahun sebelumnya. Demikian pula Goebbels, menteri propaganda Reich Ketiga, yang mati bunuh diri bersama istri dan anak-anaknya dengan menenggak sianida.

Di tempat lain, diktator fasis Italia Benito Mussolini digantung terbalik oleh kaum Partisan. Josef Tiso, pentolan republik boneka Nazi di Hungaria, juga digantung setelah diadili oleh pengadilan pascaperang pada 1947. Philippe Pétain, kepala pemerintahan Vichy di Perancis dan kolaborator Jerman, sedikit lebih beruntung. Veteran yang pernah dielu-elukan Perancis sebagai pahlawan Perang Dunia I ini dibui seumur hidup. Hukuman kurungan itu akhirnya diringankan menjadi tahanan rumah karena Petain sakit-sakitan. Ia mati di kediaman pribadinya pada 1951.

Daftar kematian itu mungkin tak terbayangkan 20 tahun sebelumnya, ketika kaum fasis di sejumlah negara Eropa bangkit dan mulai berkuasa. Para sejarawan telah mengupas habis bagaimana kaum fasis Eropa mengambil alih pemerintahan. Mereka memanfaatkan ketakutan akan pemberontakan komunis. Mereka mengipas-ngipasi ketakutan kaum borjuasi akan revolusi yang dimotori kaum buruh sejak 1917 di Rusia dan Jerman.

Kepada kaum pemodal dan konservatif, kaum fasis menawarkan jasa tukang pukul untuk menggebuk dan mengontrol gerakan-gerakan buruh. Kepada buruh-buruh pabrik, mereka bersumpah akan menyelamatkan bangsa dari bankir-bankir Yahudi. Kepada seluruh rakyat Jerman, mereka menyebarkan fitnah bahwa Yahudi dan komunis adalah biang kerok krisis ekonomi dan kekalahan Imperium Jerman dalam Perang Dunia I.

Kebrutalan fasis di Jerman, Italia, dan Eropa secara umum tidak akan terjadi tanpa dukungan publik. Di situlah pentingnya peran propagandis. Mereka adalah buzzer, influencer, dan spin doctor pada zamannya yang berhasil memanipulasi kesadaran khalayak bahwa Yahudi dan komunis adalah sumber masalah, bahwa rakyat Jerman harus menolak gerakan buruh, bahwa privatisasi ekonomi besar-besaran penting adanya untuk memakmurkan "bangsa Arya”.

Kembali ke Alam, Makmur tanpa Yahudi

Lazimnya orang Eropa akan mengenali Rosenberg sebagai nama khas Yahudi Ashkenazi. Tapi tak demikian bagi Alfred Rosenberg. Dalam The Devil’s Diary: Alfred Rosenberg and the Stolen Secrets of the Third Reich (2016), Robert K. Wittman dan David Kinney menyatakan keluarga Alfred berasal dari diaspora Jerman yang menetap di sekitar Lithuania, Estonia, dan Latvia. Nama Rosenberg juga sering dipakai orang-orang Jerman yang bukan keturunan Yahudi di kawasan Baltik.

Kampung halaman Rosenberg memang bukan Jerman—sebagaimana Hitler berasal dari Braunau am Inn (bagian dari Austria saat ini). Lahir di Tallinn, Estonia, pada 1893, Rosenberg menjadi ideolog terkemuka yang memberikan pijakan pseudosains bagi rasisme Nazi melalui buku Der Mythus des zwanzigsten Jahrhunderts (Mitos Abad keduapuluh, 1930). Bagi Rosenberg, orang Jerman adalah keturunan bangsa Nordik dari Skandinavia yang kemurnian budayanya dirusak oleh Yahudi, seni modern, dan kehidupan kota. Adalah Rosenberg yang mempopulerkan ilusi romantik tentang kehidupan Jerman yang sejahtera, makmur, dan tenteram jika orang Yahudi dimusnahkan.

Tapi imajinasi tersebut bukan milik Rosenberg seorang. Dalam berbagai coraknya, ekspresi propaganda fasis abad ke-20 selalu mencatut unsur-unsur budaya setempat yang dianggap asli dan pribumi. Charles Maurras, misalnya, menjadikan masyarakat agraris di pedesaan sebagai model kehidupan khas Perancis yang masih perawan yang belum tersentuh kapitalisme dan keriuhan dunia modern. Maurras, pentolan kelompok fasis Action Française pada 1920-an, mempertentangkan kehidupan ideal itu dengan masyarakat kota yang baginya telah dikotori kapitalisme, komunis, riba, buruh asing, dan Yahudi.

"Hari ini," tulis Rosenberg dalam Der Mythus, "kita menyaksikan arus perpindahan orang dari desa ke kota, yang efeknya mematikan bagi mematikan bagi Bangsa [Arya] … dan menghancurkan ikatan manusia dengan Alam; kehidupan kota mengundang kehadiran segala jenis petualang dan pencari laba sampai-sampai melahirkan kekacauan rasial."

Meski disambut oleh sebagian besar kader dan petinggi Nazi, karya-karya Rosenberg rupanya kurang berkenan bagi Hitler. Der Mythus dianggap terlalu mempromosikan paganisme sehingga bertentangan dengan iman Kristen yang dianut mayoritas populasi Jerman—basis pendukung Nazi. Namun demikian, sulit membayangkan pembantaian sistematis terhadap enam juta orang Yahudi bisa terjadi tanpa imajinasi kolektif tentang bahaya Yahudi yang dipopulerkan Rosenberg.

Setelah 200-an sesi pengadilan, Pengadilan Militer Internasional di Nuremberg menyampaikan putusan penting pada 6 Oktober 1946: menghukum gantung 12 terdakwa berlatar belakang Nazi. Rosenberg termasuk di dalamnya.

Sebagai penulis produktif—paling produktif di antara kader Nazi lainnya—Rosenberg mampus digantung tanpa mengucap satu kata pun. Barangkali ia memang bukan orang yang bisa berhemat kata. Buzzer fasis ini menulis sekitar 20 buku sepanjang hayatnya. Isinya adalah sampah.

Bayangkan, Rosenberg menerbitkan puluhan buku hanya untuk menyumpahi Yahudi.

Jutawan Bigot

Julius Streicher tak menulis sebanyak Rosenberg. Tapi perannya sangat sentral dalam propaganda Nazi. Ia mendirikan dan mengoperasikan salah satu koran terbesar di Jerman bernama Der Stürmer. Laporan Der Spiegel (September 2000) menyebut Streicher sebagai mantan guru yang terjun dalam Perang Dunia I.

Setelah perang, ia mendirikan Partai Sosialis Jerman (Deutschsozialistische Partei/DSP) yang mengampanyekan permusuhan terhadap orang-orang Yahudi. Meski namanya sosialis, partai Streicher berbeda dari partai-partai kiri lainnya yang memegang prinsip internasionalisme dan memperjuangkan nasib buruh setempat (termasuk pekerja Yahudi) sekaligus buruh migran. Masih menurut Der Spiegel, Streicher memboyong sekitar tiga ribu anggota DSP bergabung ke dalam Nazi.

Didirikan pada 1923, oplah Der Stürmer sempat mencapai 500 ribu eksemplar hanya dengan jualan, sebagaimana dilaporkan Der Spiegel, “agitasi anti-semit, cerita-cerita skandal, konten murahan, dan gambar-gambar semi-porno”.

Dilihat dari isinya, Der Stürmer adalah pendahulu Breitbart, media ultrakanan yang disunting Steve Bannon, bekas anggota tim penasihat Presiden AS Donald Trump. Der Stürmer menghidupkan mitos anti-semit lawas bahwa Yahudi mengorbankan anak-anak Kristen untuk diambil darahnya. Koran ini juga menuduh bisnis-bisnis milik orang keturunan Yahudi sebagai “Duit Iblis” dan menyatakan bahwa "kemerdekaan adalah omong kosong di tanah yang dikuasai Yahudi."

Der Stürmer tak hanya membuat Nazi berjaya, tapi juga membikin pemimpin redaksinya, Julius Streicher, tajir melintir.

Masa lalu Streicher sebagai guru sekolah dasar rupanya juga menjadi modal penting dalam berkomunikasi dengan anak. Pada 1938 ia menerbitkan buku cerita anak berjudul Der Giftpilz (Jamur Beracun). Buku setebal 56 halaman itu antara lain berisi nasihat seorang ibu kepada anaknya bahwa “orang Yahudi bukan orang seperti kita. Orang Yahudi itu Iblis. Dan Iblis tidak punya martabat”.

Streicher baru berhenti berkicau di Nuremberg, 16 Oktober 1946. Kicauan terakhirnya di tiang gantungan: “Orang-orang Bolshevik akan menggantungmu!”

Influencer-in-Chief

Penulis Daniel Oppenheimer pernah mengajukan pertanyaan tentang bagaimana sejumlah intelektual kiri dan tokoh terkemuka Amerika Serikat menjadi konservatif karena pernah ditolak, dikritik teman seperjuangan, atau merasa kurang dihargai bakat artistiknya. Dalam Exit Right: The People Who Left the Left and Reshaped the American Century (2016), Oppenheimer berspekulasi: Apa yang terjadi jika Ronald Reagan bukan aktor medioker? Akankah Norman Podhoretz tetap jadi liberal seandainya penulis Norman Mailer tidak kejam mengkritik memoarnya?

Kelak Ronald Reagan terpilih sebagai presiden AS, meluncurkan revolusi neoliberal pada 1980-an, mengobrak-abrik negara kesejahteraan yang telah dibangun Roosevelt 50 tahun sebelumnya, dan mengubah wajah politik Amerika dari liberal ke konservatif. Norman Podhoretz kelak mendirikan jurnal Commentary yang kelak jadi mercusuar intelektual antikomunis dan neokonservatif Amerika.

Pertanyaan serupa bisa diajukan ke para pentolan fasis. Bagaimanapun, Hitler adalah pelukis berbakat yang ditolak kuliah di Akademi Seni Wina. Asistennya, Menteri Propaganda Reich Ketiga Joseph Goebbels, adalah penulis novel gagal.

Infografik Buzzer Nazi Mati Mengenaskan

Sebelum bergabung dengan Nazi pada 1924, Goebbels pernah bekerja sebagai wartawan dan penulis. Ia juga memegang gelar doktor di bidang sastra Jerman dari Universitas Heidelberg. Selama hidupnya, ia menulis sekitar 14 buku.

Pada 1923 ia menerbitkan Michael, sebuah novel tentang Michael Voorman, veteran perang yang dropout kuliah dan bekerja sebagai penambang. Voorman, yang berasal dari keluarga kelas pekerja, adalah pelajar teladan yang terasing dari teman-teman sekolahnya. Dalam Goebbels: A Biography (2015), Peter Longerich menuturkan bahwa tokoh Voorman sebenarnya merupakan gambaran Goebbels tentang dirinya sendiri: “bangkit dari kelas rendahan, cacat, ditolak oleh banyak orang, sekaligus berbakat, bertekad kuat, dan sukses”.

Bagi Longerich, Goebbels adalah seorang narsis yang sejak awal ingin menjadi bagian dari kelas penguasa sebagai kompensasi atas kekurangan-kekurangan pribadinya. Tapi, buat banyak sejarawan, tidak akan ada Hitler tanpa Goebbels.

Sebagai arsitek propaganda Nazi, Goebbels memastikan agar foto Hitler dan logo Swastika terpampang di tiap ruang kelas dan gedung pemerintah. Ia memberlakukan sensor ketat terhadap media serta mengorganisasi pawai partai dan acara-acara olahraga. Goebbels pula yang menemukan Leni Riefenstahl, pembuat film yang menyutradarai Triumph des Willens (Kemenangan Kehendak, 1935) dan Olympia (1938). Masing-masing film mengangkat rapat akbar Nazi di Nuremberg dan keikutsertaan Jerman di Olimpiade Munich.

Dua film itu dipandang sebagai salah satu puncak pencapaian estetika film propaganda dan sinema Jerman. Meski sempat didiskreditkan setelah Perang Dunia II selesai, ditahan, dan dipenjara, Leni Riefenstahl panjang umur. Ia meninggal pada 2003 dalam usia 101 tahun. Nasibnya jauh lebih beruntung dibanding Goebbels.

Pada 2012 dokumen-dokumen milik Goebbels dilelang seharga 200.000 dolar AS. Di dalamnya terdapat surat-surat pribadi dan tugas-tugas zaman sekolah. Salah satu surat itu ditujukan kepada Anka Stalhern, pacarnya semasa SMA.

Kepada Stalhern, Influencer-in-Chief Nazi itu menulis: “Seandainya kau di sini, aku akan menyeretmu, memaksamu untuk mencintaiku untuk sesaat saja—setelah itu aku akan membunuhmu”.

Tentu tak mengherankan jika kematian Goebbels dirayakan banyak orang. 

Source: tirto
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita