Penjual Gorengan Pun Kena Imbas Perang Dagang

Penjual Gorengan Pun Kena Imbas Perang Dagang

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

 

Oleh:Mukhaer Pakkanna
 KENDATI masih masa pandemi Covid-19, kurva laju importasi kedelai dari Amerika tidak pernah menurun. Tetap bertengger tinggi.

Tatkala perang dagang AS-China menghangat, ekspor kedelai ke China berhenti. Kedelai masuk dalam daftar komoditas yang dilarang. Dampaknya, harga kedelai menjadi mudah masuk ke negara lain, termasuk ke Indonesia. Bahkan harga kedelai impor sangat murah hingga di tingkat konsumen Rp 6.500 per kg.



Namun, ketika Amerika mengeluarkan kedelai dalam daftar barang yang dilarang masuk ke China pada akhir Desember 2020, seketika China mengimpor skala besar dari Amerika. Harga pun membumbung tinggi di tingkat internasional.

Dampaknya, harga kedelai di Tanah Air menjadi terdongkrak tinggi. Sementara, produk kedelai lokal sulit bersaing. Selain karena harga kedelai lokal yg tinggi juga kualitasnya masih payah. Bahkan, tidak ada kebijakan afirmatif pemerintah untuk meningkatkan kualitas kedelai dan memproteksi petani kedelai supaya bisa bersaing di pasar lokal.

Akhirnya, masyarakat sangat bergantung pada impor kedelai. Penjual gorengan yang selama ini mengandalkan tahu dan tempe sebagai komoditas unggulan yang dipasarkan menjadi hilang. Karena ketiadaan barang dan ongkos produksi yang maha tinggi.  

Dampaknya, kenaikan harga kedelai impor berbuntut mogok produksi produsen tahu dan tempe di Jakarta dan Jawa Barat sejak 1 hingga 3 Januari 2021. Merujuk laporan Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo), memperkirakan lonjakan harga kedelai dipicu meredanya ketegangan antara Amerika dan China.

Selama ini, sebagian besar dari kebutuhan kedelai Indonesia memang dipenuhi dari impor. Para perajin tahu tempe bukannya tidak ingin membeli kedelai lokal. Tapi masalahnya, harganya belum kompetitif.

Sekali lagi, ini tamparan bagi kita semua karena mental produksi yang hilang. Tapi yang paling penting adalah kebijakan afirmatif dan protektif kepada petani kedelai.

Di negara-negara maju kebijakan seperti itu sudah galib terjadi. Sehingga mutu dan harga jual komoditas mereka sangat bersaing dalam perdagangan internasional.

Dampak dari itu semua, sebanyak 5.000 pelaku usaha kecil dan menengah di Jakarta menghentikan proses produksi tahu dan tempe selama tiga hari, pada 1 hingga 3 Januari 2021.

Mogok kerja ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap lonjakan harga bahan baku yakni kedelai dari Rp 7.200 menjadi Rp 9.200 per kilogram.

(Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA