Tim Hukum HRS Jawab PTPN VIII: Somasi Saudara Error in Persona

Tim Hukum HRS Jawab PTPN VIII: Somasi Saudara Error in Persona

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Tim advokasi Markaz Syariah memberi jawaban atas somasi yang dikirimkan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII terkait permintaan meninggalkan lahan di Megamendung, Bogor. Mereka menilai somasi yang dikirimkan PTPN VIII salah alamat.
"Bahwa somasi Saudara adalah error in persona karena seharusnya pihak PTPN VIII mengajukan complain baik pidana ataupun perdata kepada pihak yang menjual tanah tersebut kepada pihak pesantren atau HRS, karena pihak pesantren dengan diketahui semua aparat dari mulai kepala desa hingga Gubernur membeli tanah tersebut dari pihak lain yang mengaku dan menerangkan tanah tersebut miliknya," demikian isi jawaban dari tim advokasi Markaz seperti diterima detikcom, Sabtu (26/12/2020).

Ada 11 poin yang termaktub dalam surat jawaban atas somasi PTPN VIII terkait permintaan Pondok Pesantren (Ponpes) Markaz Syariah. Jawaban tersebut ditandatangani enam orang yang mendapat kuasa hukum dari Habib Rizieq Shihab (HRS).


Keenam orang tersebut ialah Munarman, Sugito Atmo Pawiro, M Ichwanudin Tuankotta, Aziz Yanuar P, Nasrullah Nasution, dan Yudi Kosasih. Mereka menjawab surat somasi dari PTPN VIII bernomor SB/I.1/6131/XII/2020, tertanggal 18 Desember 2020.


Dalam somasi tersebut, dituliskan ada permasalahan penggunaan fisik tanah HGU PTPN VII, Kebun Gunung Mas seluas kurang-lebih 30,91 hektare, oleh Ponpes Agrokultur Markaz Syariah sejak 2013 tanpa izin dan persetujuan dari PTPN VIII. Selain itu, Markaz Syariah diminta menyerahkan lahan tersebut selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak diterima surat ini. Jika somasi tidak diindahkan, akan dilaporkan kepada Polda Jawa Barat.

Mereka mengaku baru mengetahui sertifikat hak guna usaha (SHGU) lahan di tempat Markaz Syariah berdiri setelah menerima surat somasi dari PTPN VIII. Mereka mengatakan Habib Rizieq berkeyakinan membeli lahan tersebut karena sudah lama dikelola oleh masyarakat.

"Bahwa atas lahan tersebut sebelumnya adalah merupakan lahan kosong atau tanah telantar yang dikuasai secara fisik dan dikelola oleh banyak masyarakat lebih dari 25 tahun lamanya," katanya.


"Bahwa berlatar belakang penguasaan fisik yang sedemikian lama oleh masyarakat, sehingga klien kami berkeyakinan atas lahan tersebut secara hukum memang benar milik para penggarap, sehingga klien kami bersedia untuk membeli lahan-lahan tersebut dari para para pemilik atas lahan tersebut," tambahnya.

Berikut jawaban lengkap Tim Advokasi Markaz Syariah atas somasi PTPN VIII:

Sehubungan dengan Surat Somasi yang Saudara sampaikan kepada kami, surat No. SB/I.1/6131/XII/2020, tertanggal 18 Desember 2020, maka dengan ini kami hendak menyampaikan tanggapan/jawaban atas Somasi saudara, antara lain sebagai berikut:

1. Bahwa Somasi Saudara adalah error in persona karena seharusnya Pihak PT. PN VIII mengajukan Complain baik pidana ataupun perdata kepada pihak yang menjual tanah tersebut kepada Pihak Pesantren atau HRS, karena Pihak Pesantren dengan diketahui semua aparat dari mulai Kepala Desa hingga Gubernur membeli tanah tersebut dari pihak lain yang mengaku dan menerangkan tanah tersebut miliknya. Pengakuan tersebut dibenarkan oleh pejabat yang terkait yang mengetahui dan memproses administrasi peralihan atas tanah tersebut. Secara hukum dilihat dari aspek hukum perdata dan hukum acara perdata PT. PN VIII keliru dan tidak memiliki alasan hukum untuk meminta Pihak HRS mengosongkan lahan tersebut, kecuali ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang memutuskan bahwa kedudukan pihak pesantren atau HRS sebagai pembeli beritikad baik dibatalkan, dengan kata lain somasi tersebut prematur dan salah pihak;

2. Bahwa kami baru mengetahui keberadaan SHGU No : 299 tertanggal 04 Juli 2008 melalui surat saudara No : SB/I.1/6131/XII/2020, tertanggal 18 Desember 2020;

3. Bahwa terhadap lahan yang saat ini ditempati, digarap dan telah dibangun di atasnya bangunan Pondok Pesantren Agrokultural Markaz Syariah oleh klien kami telah dibeli dari para petani yang menguasai dan mengelola lahan secara fisik serta dari para pemilik sebelumnya;



4. Bahwa atas lahan tersebut sebelumnya adalah merupakan lahan kosong atau tanah terlantar yang dikuasai secara fisik dan dikelola oleh banyak masyarakat lebih dari 25 tahun lamanya;


5. Bahwa berlatar belakang penguasaan fisik yang sedemikian lama oleh masyarakat, sehingga klien kami berkeyakinan atas lahan tersebut secara hukum memang benar milik para penggarap, sehingga klien kami bersedia untuk membeli lahan-lahan tersebut dari para para pemilik atas lahan tersebut;

6. Bahwa atas bukti-bukti jual beli antara klien kami dengan pengelola dan pemilik juga sudah sangat lengkap dan diketahui oleh perangkat Desa, baik RT, RW setempat yang kemudian terhadap surat tersebut telah ditembuskan kepada Bupati Kabupaten Bogor dan Gubernur Jawa Barat, sehingga legal standing klien kami dalam menempati dan mengusahakan atas lahan tersebut tidak dengan cara melawan hukum. Dan ini telah sesuai dengan kaidah-kaidah hukum pembeli dilindungi itikad baik sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung telah menegaskan hal ini dalam Putusan MARI No. 251K/Sip/1958 tanggal 26 Desember 1958 yang kaidah hukumnya berbunyi : "Pembeli yang telah bertindak dengan itikad baik harus dilindungi dan jual beli yang bersangkutan haruslah dianggap syah". Hal yang sama juga telah dijelaskan oleh MA dalam Surat Edaran MA No. 7/2012, yang dalam butir ke IX dirumuskan : "Perlindungan harus diberikan kepada Pembeli Beritikad Baik sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak..", dan Asas itikad baik tercantum juga dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi : "Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak pertama dan kedua harus melaksanakan substansi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak", sehingga tidak benar apabila klien kami dianggap telah melakukan tindak pidana atas penguasaan lahan tersebut;

7. Bahwa karena berdasarkan informasi yang telah kami dapatkan di lapangan, terhadap sertifikat HGU PT. Perkebunan Nasional VIII telah dibatalkan dengan adanya putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewisjde), untuk menghindari tumpang tindih kepemilikan atas lahan tersebut dan memastikan apakah betul sertifikat HGU PT Perkebunan Nasional VIII yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung tersebut benar berada di area lahan yang dikuasai klien kami, untuk itu diperlukan adanya klarifikasi secara resmi dari pihak BPN (Badan Pertanahan Nasional) terkait peta batas atas lahan HGU (Hak Guna Usaha) yang saat ini diklaim oleh saudara (i.c. PT. Perkebunan Nasional VIII) yang berupa peta digital dari pihak BPN (Badan Pertanahan Nasional) yang merupakan instansi yang berwenang atas hal tersebut sehingga bersifat objektif dan independen ;

8. Bahwa PT. Perkebunan Nasional VIII, sudah lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun menelantarkan dan tidak mengelola langsung lahan tersebut, dan telah ada 9 (sembilan) SHGU PT. Perkebunan Nasional VIII yang sudah dibatalkan oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (Tingkat Kasasi Mahkamah Agung), sehingga di dalam sistem hukum agraria, lahan-lahan tersebut adalah merupakan lahan bebas, karena HGU hapus dengan sendirinya apabila LAHAN DITELANTARKAN oleh pihak penerima HGU, Dan otomatis menjadi objek land reform, yaitu memang dialokasikan untuk kepentingan rakyat ;


9. Bahwa berdasarkan :
A. UUD Pokok Agraria Bab IV tentang Hak Guna Usaha pasal 34 huruf e Hak guna usaha hapus karena diterlantarkan ;
B. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Presiden Republik Indonesia, Bagian Kelima Kewajiban dan Hak Pemegang Hak Guna Usaha Pasal 12 (1) Pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban untuk :
c. mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan bik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis ;
g. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus ; Bahwa berdasar ketentuan tersebut, Pasal 34 huruf e dan PP No. 40 tahun 1996 Pasal 12 (1) huruf c, dengan mengingat fakta PT. PN VIII sudah lebih 25 tahun menelantarkan lahan a quo, TIDAK mengelola sendiri lahan a quo, maka SHGU No. 299 tersebut HAPUS DEMI HUKUM.

10. Bahwa berdasarkan Somasi Saudara tersebut pemilik lahan sudah mengelola dan melakukan kegiatan yang bersifat produktif oleh klien kami baik penanaman kebon alpukat dan kebun sayur mayur dan peternakan serta digunakan untuk aktifitas syiar Agama Islam dan pengajian oleh karenanya saudara tidak bisa bertindak sewenang-wenang terhadap benda hak milik klien kami dan lahan yang sudah dibeli dan dikelola oleh klien kami ;

11. Bahwa atas hal-hal yang telah kami uraikan tersebut di atas, maka kami siap dan bersedia untuk duduk bersama/berdialog secara musyawarah untuk mencari solusi/jalan keluar atas permasalahan ini dengan pihak saudara dan instansi terkait lainnya.

BPN Tegaskan Lahan Markaz Syariah Milik PTPN

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menerangkan lahan Pondok Pesantren Markaz Syariah milik Habib Rizieq di Megamendung, Bogor, Jabar, masih milik PTPN VIII. Lahan itu tidak bisa dilepas ke masyarakat kecuali sudah ada permohonan dan disetujui pihak BUMN.


"Itu masih domain BUMN. Itu milik PTPN. Karena itu, yang harus menyelesaikan persoalan tersebut adalah PTPN, dan PTPN itu tidak bisa memberikan kepada pihak tertentu, tidak bisa melepaskan lahan. Kecuali kalau yang melepas itu Menteri BUMN. Tapi kalau Menteri BUMN itu tidak bisa melepas kalau tidak diajukan permohonan," ujar jubir BPN Taufiqulhadi saat dihubungi, Jumat (25/12).



Dalam pernyataannya, FPI mengklaim Habib Rizieq sudah membeli lahan dari warga sebelum membangun Markaz Syariah. Menurut BPN, itu tidak diperbolehkan lantaran secara hukum masih merupakan lahan PTPN VIII, yang merupakan milik BUMN.


"Boleh membeli kepada masyarakat? Nggak boleh. Karena itu milik PTPN. Kalau mau, minta kepada PTPN, nanti PTPN mengarahkan kepada BUMN. Kelihatannya ini tidak selesai persoalannya karena masyarakat tidak boleh menjual tanah milik negara," ujar Taufiq.

Taufiq mengatakan pihak BPN baru bisa turun tangan jika persoalan lahan Markaz Syariah sudah selesai dan lahan itu menjadi milik perorangan. BPN bisa menerbitkan sertifikat tanah jika sudah diajukan pihak Markaz Syariah.

"Bagaimana BPN? Kalau sudah dilepas, statusnya misalnya menjadi milik perorangan, maka pada saat itulah boleh mengusulkan BPN untuk disertifikatkan. Tetapi selama belum dilepas BUMN, maka tidak bisa BPN ikut," kata Taufiq.

Berikut isi dari surat somasi tersebut:

Sehubungan dengan adanya permasalahan penguasaan fisik tanah HGU PT Perkebunan Nusantara VIII Kebun Gunung Mas seluas -+ 30,91 Ha yang terletak di Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor oleh Pondok Pesantren Alam Argokultural Markaz Syariah sejak 2013 tanpa izin dan persetujuan dari PT Perkebunan Nusantara VIII, kami tegaskan bahwa lahan yang saudara kuasai tersebut merupakan aset PT Perkebunan Nusantara VII berdasarkan sertifikat HGU Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008.

Tindakan saudara tersebut merupakan tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak, larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya dan atau pemindahan sebagaimana yang diatur dalam pasal 385 KUHP, Perppu No 51 Tahun 1960 dan atau Pasal 480 KUHP.

Berdasarkan hal tersebut, dengan ini kami memberikan kesempatan terakhir serta memperingatkan saudara untuk segera menyerahkan lahan tersebut kepada PT Perkebunan Nusantara VIII selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterima surat ini. Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterima surat ini saudara tidak menindaklanjuti maka kami akan melaporkan ke kepolisian cq. Kepolisian Darah Jawa Barat.

Demikian surat somasi ini disampaikan, atas perhatian dan pengertian diucapkan terima kasih.(dtk)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita