Bukan Saja Tolak Jabatan, Muhammadiyah Konsisten Kritisi Pemerintah

Bukan Saja Tolak Jabatan, Muhammadiyah Konsisten Kritisi Pemerintah

Gelora News
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Muhammadiyah belakangan ini makin kritis dan kian sering menunjukkan sikap tegas kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) . Sikap tersebut dinilai sebagai bentuk koreksi Muhammadiyah atas kekeliruan pemerintah yang sudah semakin menumpuk.

Terbaru, sikap tegas organisasi persyarikatan ini ditunjukkan saat Abdul Mu'ti yang menjabat Sekretaris Umum PP Muhammadiyah menolak jabatan wakil menteri pendidikan dan kebudayaan (wamendikbud) yang ditawarkan Jokowi. Penolakan ini menarik perhatian banyak pihak karena selama ini jabatan menteri justru diidamkan banyak orang, terutama ormas atau partai politik.

Bukan hanya itu. Pekan lalu PP Muhammadiyah melalui Ketua Umum Haedar Nashir juga menginstruksikan agar kader di daerah menarik dana mereka dari sejumlah bank syariah. Di balik rencana pemerintah membentuk Bank Syariah Indonesia, Muhammadiyah melihat ada kebijakan yang tidak menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada UMKM.

Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun menilai sikap Muhammadiyah yang makin kritis dan tegas itu sebagai respons atas kebijakan pemerintah yang banyak keliru.

"Jadi, kalau pemerintah ingin tidak dikritik Muhammadiyah maka jangan lakukan kekeliruan dalam mengelola negara, jangan korupsi, jangan oligarkis, dan jangan berbuat tidak adil. Sesederhana itu sebenarnya sikap Muhammadiyah. Tetapi karena menumpuknya kekeliruan pemerintah, oleh Muhammadiyah itu dilihat sebagai ancaman," ujarnya kepada SINDONews, Minggu (26/12/2020).

Ubedilah menyebut Ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir seorang intelektual. Karena itu tentu akan sangat objektif dalam melihat setiap kebijakan pemerintah.

"Artinya kalau pemerintah benar, tidak mungkin Muhammadiyah melakukan kritik. Tetapi sebaliknya jika ada yang tidak benar pasti Muhammadiyah terus melakukan kritik," kata Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS) ini.

Menurut Ubedilah, kritik dalam negara demokrasi itu hal yang wajar dan dijamin oleh konstitusi UUD 1945. Jika pemerintah ada yang mengkritik, kata dia, itu mesti disyukuri karena masih ada yang mengingatkan.

"Bahaya kalau pemerintah tidak ada yang mengingatkan. Di sisi lain pemerintah harus mendengarkan kritik yang konstruktif dan mau berubah. Jika tidak mau memperbaiki kebijakanya itu artinya pemerintah sendiri yang menyuburkan sikap oposisi," katanya.

Di balik sikap oposisinya, Muhammadiyah juga disebutnya tidak terlihat transaksional. Muhammadiyah melakukan peran oposisi bukan karena ingin mendapatkan jatah menteri di kabinet.

"Sikap oposisi itu lebih karena motif kepentingan nasional (national interest) yang sedang terancam dan pemerintah saat ini dianggap terjebak dalam persoalan besar," ujarnya.

Jika ditarik ke belakang, maka bukan kali ini saja Muhammadiyah menujukkan sikap tegas ke pemerintah. Dalam dua tahun terakhir, tercatat beberapa kali Muhammadiyah tampil di garda terdepan dalam mengoreksi pemerintah terkait isu-isu yang menyangkut kepentingan publik.

Saat pemerintah memutuskan akan menggelar pilkada serentak pada 9 Desember 2020, Muhammadiyah dengan tegas menolak karena dinilai akan membahayakan kesehatan masyarakat akibat Indonesia masih dalam situasi pandemi COVID-19.

Muhammadiyah juga terdepan menolak pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja karena dinilai lebih membela kepentingan pemilik modal ketimbang rakyat selaku pekerja. Sikap yang sama juga ditunjukkan organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini ketika pemerintah dan DPR membahas serta mengesahkan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Muhammadiyah menyebut UU KPK hasil revisi berpotensi melemahkan lembaga antirasuah tersebut.

Ketegasan juga ditunjukkan Muhammadiyah saat menarik diri dari Program Organisasi Penggerak (POP) yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Alasan menarik diri adalah diloloskannya sejumlah lembaga atau ormas ke dalam POP meski dinilai tidak kompeten. Meski Mendikbud Nadiem Makarim waktu itu sudah menyampaikan permintaan maaf dan meminta tetap terlibat, Muhammadiyah bergeming.

Atas serangkaian peristiwa tersebut muncul pertanyaan, ada apa dengan Muhammadiyah? Mengapa ormas ini yang justru terkesan mengambil alih fungsi check and balances terhadap pemerintah yang seharusnya menjadi tanggung jawab DPR? Mengapa Muhammadiyah justru lebih menunjukkan karakter oposisi—fungsi yang seharusnya dijalankan oleh partai politik?

"Dalam kepemimpinan Muhammadiyah sejauh yang saya tahu, selalu menempatkan diri secara objektif. Jika pemerintah keliru mereka tetap kritis meski ada di antara anggotanya menjadi menteri. Karena salah satu prinsip pokok Muhammadiyah adalah amar ma'ruf nahiy munkar," kata Ubedilah.

Dia menambahkan, keberadaan ormas seperti Muhammadiyah sangat dibutuhkan Indonesia saat ini. Dalam perspektif sosiologi poliik di Indonesia, Muhammadiyah bisa ditempatkan sebagai oposisi kaum agamawan terpelajar yang paling progresif.

Muhammadiyah disebutnya sedang menjalankan prinsip amar ma'ruf nahiy munkar dengan metodolog bilhikmah walmauizdotul hasanah (oposisi intelek dan santun). Setiap kebijakan yang diambil tidak simbolik, melainkan menunjukkan Islam substantif yang secara terang benderang membedakan mana benar dan salah.

"Oleh karenanya Muhammadiyah berani menolak pelemahan KPK, berani menolak UU Ciptaker, dan menolak pelaksanaan pilkada di tengah pandemi COVID-19 secara tegas dan santun," ujarnya.

Di tengah minimnya peran DPR sebagai lembaga yang mengontrol pemerintah, perlu ada lembaga yang bersikap kritis demi terciptanya demokrasi.

"Di tengah minoritas oposisi di parlemen yang hanya 20%, keberadaan Muhammadiyah yang bersikap kritis pada pemerintah menjadi gizi demokrasi bangsa," ujarnya. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita