Rocky Gerung: 2024 Nanti Airlangga Hartarto Presiden, Wapresnya Pak Jokowi

Rocky Gerung: 2024 Nanti Airlangga Hartarto Presiden, Wapresnya Pak Jokowi

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Pemikir politik Rocky Gerung, mengungkapkan, bisa jadi pada Pilpres 2024, Jokowi akan kembali menjadi peserta tapi sebagai calon wakil presiden.

Jokowi, kata dia, dimungkinkan menjadi cawapres mendampingi Menteri koordinator Perekonomian sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.

Hal tersebut diungkapkan Rocky ketika diundang sebagai narasumber oleh politikus Partai Gerindra Fadli Zon dalam wawancara yang dilansir akun YouTube Fadli Zon Official, Selasa (3/11/2020).

"Saya dengar keterangan dari seorang politisi, dari Golkar, Nababan. Dia bilang begini. Nanti 2024, yang layak jadi presiden adalah Airlangga. Lalu nanti wapresnya Pak jokowi," kata Rocky Gerung.

Untuk diketahui, Rocky mengutarakan hal tersebut dalam konteks menerangkan sirkulasi elite pemimpin di Indonesia masih belum berubah, yakni masih di lingkaran elite politik kekinian.

"Jadi, memang agak bercanda. Tapi sebetulnya kan, bawah sadarnya kan ingin mengatakan sirkulasinya di sekitar itu saja," kata Rocky meneruskan.

Rocky menyampaikan hal tersebut untuk menanggapi pertanyaan Fadli Zon, yang mempersoalkan perbedaan politik Indonesia pada masa revolusi dan era awal kemerdekaan, dengan situasi elite kontemporer.

Menurut Fadli Zon, pada era dulu, elite politik selalu bertarung pada tataran ideologi, konsepsi filosofis. Pendek kata, politikus zaman dulu selalu sekaligus sebagai pemikir.

Tapi kekinian, jarang ada politikus yang sekaligus pemikir, sehingga pertarungan politik yang disajikan bisa bermutu untuk masyarakat.

"Nah, apakah ada jalan pintas untuk mengubah hal itu, ataukah politik kita sudah terlalu dikuasai pragmatisme, bagiamana memutusnya?" tanya Fadli Zon.

Dalam penjelasan lebih lanjutnya, Rocky menjelaskan sirkulasi elite pemegang kekuasaan kini selalu berada di lingkaran tertentu.

Lingkaran elite itu pun dibentuk oleh sekelompok orang, bisa jadi oligarkis atau plutokrat, tapi bukan oleh rakyat sendiri.

Sembari mengutip konsep power elite dari Gaetano Mosca (sosiolog Italia yang fokus pada teori kelas penguasa) dan C Wright Mills (sosiolog pragmatis AS), Rocky mengurai masalah tersebut.

"Kalau pakai istilah Mosca atau Mills, yang disebut power elite ini kan sebetulnya bukan dipilih rakyat, tapi dipilihkan untuk dipilih oleh rakyat. Jadi ada peternak elite sebetulnya, kita bisa sebut oligarkis atau plutokrat segala macam," kata dia.

Tapi itu faktanya, pemimpin tidak murni dipilih oleh rakyat, sehingga sirkulasi itu hanya terjadi di antara mereka saja."

Menurut Rocky, belum ada kesepahaman politik untuk memunculkan calon-calon elite baru untuk mengambilalih tampuk kekuasaan dari elite-elite lama.

"Jadi terlihat tak ada imajinasi untuk mengatakan, oke kita buka semacam pameran pemimpin baru dari daerah, yang muda, sehingga 'kompetisi' betul-betul dibaca oleh rakyat."

Kalau hal tersebut tidak terjadi, maka, "Kayak tadi, kompetisi dalam elite sendiri jadinya kan. Jadi, pasar bebas  politik tidak terjadi. Itulah asal-usul kemacetan-kemacetan politik saat ini," kata dia. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita