Kepulangan Habib Rizieq dan Kekalahan Trump

Kepulangan Habib Rizieq dan Kekalahan Trump

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Penulis: Nizwar Affandi

Beberapa kali sempat terdengar berita beliau akan kembali ke Indonesia namun batal, alhamdulillah akhirnya kemarin seorang warga yang dilindungi dan terikat oleh konstitusi dapat kembali ke negaranya sendiri.

Tentu kita dapat bersepakat Muhammad Rizieq Shihab atau yang lebih populer disebut dengan panggilan penghormatan Habib Rizieq Shihab (HRS) seorang tokoh fenomenal. Penjemputan beliau kemarin menjadi penanda bahwa postur ketokohannya mampu membangkitkan histeria massa melampaui tokoh-tokoh lain yang pernah dimiliki oleh negeri ini.

Ada yang bilang histeria seperti itu hanya pernah terjadi konon di masa Haji Oemar Said Tjokroaminoto ketika beliau berkeliling Jawa menggelorakan Sarekat Islam, atau di masa Soekarno pada minggu-minggu awal kemerdekaan, banyak juga yang berpendapat histeria kemarin jauh melampaui histeria publik ketika SBY, Jokowi dan Prabowo berkampanye.

Saya tidak akan merepotkan diri membahas lebih dalam tentang perjalanan perjuangan HRS dan organisasi yang dilahirkannya, Front Pembela Islam (FPI). Mengapa? Karena tidak sulit bagi saya untuk langsung mengakui bahwa sebagai sebuah gerakan dakwah, khususnya dalam implementasi semangat nahi mungkar terhadap penyakit sosial dan sebagai sebuah gerakan kemasyarakatan, HRS dan FPI telah menempati posisi tersendiri sebagai tokoh dan organisasi yang paling solid, efektif dan konsisten selama dua dekade terakhir.

Tetapi sebagai sebuah gerakan sosial yang memiliki efek dan dampak politik, saya masih memiliki beberapa catatan yang mungkin layak dijadikan bahan perbincangan.

Sepanjang minggu sebelum HRS kembali ke Tanah Air, saya bisa jadi juga anda tentu mengikuti berita tentang pemilihan Presiden Amerika Serikat. Kontestasi yang dikabarkan sebagai kompetisi paling keras dan paling ketat sepanjang sejarah pemilihan presiden di sana. Untuk sementara hasilnya mengejutkan, Biden mampu mengalahkan Trump.

Ada dua diksi dari Pilpres Amerika yang paling berkesan bagi saya, “swing” dan “flip”. Terjemah bebasnya kira-kira, “berayun” dan “berbalik”, tentu dalam konteks politik elektoral.

Biden dan Partai Demokrat mampu menggerakkan bandul pilihan rakyat Amerika beralih dari sisi Trump dan Partai Republik, Biden dan Kamala juga mampu membalikkan pilihan mayoritas warga di beberapa negara bagian yang pada pemilu sebelumnya “Red State” menjadi “Blue State”. Trump dan Republik tidak mampu membendung ayunan pilihan pemilih yang membalikkan hasil penghitungan suara.

Kemenangan Trump di 2016 dan kekalahannya di 2020 pada beberapa bagian bagi saya memiliki kemiripan dengan cerita Pilpres 2014 dan 2019 di negeri kita. Situasinya hampir serupa tapi tak sama, semangat supremasi kelompok mayoritas yang diteriakkan Trump relatif serupa dengan apa yang digelorakan oleh Prabowo walaupun berbeda kategorisasi yang digunakan. Trump lebih beruntung karena jurus itu pernah memenangkannya pada Pilpres 2016 sementara Prabowo mengalami kegagalan beruntun.

Dua kali Pilpres di Amerika dan Indonesia situasinya hampir sama, warga negara dibentuk mengelompok dalam dua kubu besar dengan isu-isu pokok yang bercitarasa primordial. Kendati berbeda hasil pada kontestasi pertama, baik Trump maupun Prabowo tetap menggunakan jurus yang sama pada kontestasi berikutnya dan kali ini hasilnya juga serupa.

Saya tidak akan mengulas belahan yang terjadi di tubuh bangsa ini ketika dua kali Pilpres kemarin yang konon ekor efek psikologisnya masih terasa sampai sekarang walaupun relatif bersifat laten. Tetapi di Amerika belahan yang berhadapan secara diametral itu dapat dengan mudah saya temukan pada situs-situs jaringan kantor berita besar di sana karena data statistiknya tersaji dengan sangat informatif.

Trump jelas sangat mengandalkan pilihan mayoritas warga kulit putih sementara dua lawannya (Hillary dan Biden) bertumpu pada pilihan warga kulit berwarna. Trump jelas menempelkan atribusi “pribumi” untuk basis konstituennya dan mengkategorisasi warga kulit berwarna sebagai “pendatang”.

Dalam dua kali Pilpres Trump konsisten menggunakan jurus itu, sebelumnya berhasil mengalahkan Hillary tetapi kali ini justru Biden yang berhasil mengukuhkan basis konstituennya di warga kulit berwarna sembari menarik sebagian pemilih lama Trump yang berkulit putih.

Kamala Harris juga memberikan dampak elektoral yang lumayan positif pada segmentasi gender para pemilih perempuan apapun warna kulitnya. Biden, Kamala dan Demokrat telah berhasil memperluas dukungan pemilih melampaui batas-batas tembok segmentasi yang dibangun oleh Trump .

Swing dan Flip itu yang tidak terlihat pada Pilpres terakhir di Indonesia, peta sebaran segmen pemilih dan hasil akhir di daerah-daerah relatif tidak mengalami perubahan yang berarti. Hasil Pemilu legislatif juga tidak banyak mengalami perubahan, gegap gempitanya gerakan-gerakan bercitarasa primordial keagamaan yang diawali oleh peristiwa fenomenal 212 di tahun 2016 dan terus berlangsung sampai menjelang Pemilu 2019 tetap memberikan hasil pemilu legislatif hanya 30 persen untuk partai-partai politik berbasis agama. Masih relatif landai jika dibandingkan dengan hasil-hasil pemilu sebelumnya sejak 1999 sampai 2014, belum mampu menyamai capaian Masyumi, NU, PSII, dll pada Pemilu 1955.

Kita tidak perlu membuang waktu membahas tentang isu kecurangan dalam pemilu 2019 kemarin baik Pilpres maupun Pileg karena semua kontestan baik partai politik maupun calon presidennya secara legal-formal sudah menerima hasilnya bahkan ikut menjadi bagian dari pemerintahan yang dipimpin oleh partai politik dan calon presiden yang menjadi pemenang.

Ahlan wa sahlan Yaa Habibana, HRS telah kembali ke Tanah Air dan landscape politik kekuasaan sekarang relatif tidak lagi sama seperti ketika beliau pergi walaupun bisa jadi efek dari perbedaan pilihan itu secara laten masih terus ada di tengah-tengah pergaulan kita sebagai bangsa. Sekarang PA 212, KAMI dan mungkin masih banyak lagi gerakan lainnya pada tingkatan persepsi publik menjadi semacam penanda bahwa efek belahan pilihan itu masih ada, walaupun Prabowo sudah menjadi bagian dari kabinet Jokowi dan HRS kemarin-kemarin berada di Saudi.

Saya seorang awam baik dalam ukuran pengetahuan umum apalagi pemahaman agama, tentu tidak pada tempatnya saya layak memberikan saran apalagi nasehat, baik kepada para tokoh yang dipersepsikan media dan publik telah mengambil sikap berbeda dengan pemerintah apalagi kepada ulama seperti Habib Rizieq. Tetapi mungkin cerita singkat tentang swing dan flip yang terjadi pada Pilpres Amerika dapat memberikan sedikit sumbangan perspektif dalam konteks gerakan sosial yang memiliki dampak politis.

Presiden Jokowi, para pembantunya dan tokoh-tokoh yang saat ini mengelola kekuasaan negara tentu juga telah belajar banyak pada pengalaman sejarah bangsa ini dan negara-negara lainnya. Publik pasti berharap rezim ini tidak mengulangi kecerobohan yang pernah dilakukan oleh Marcos terhadap Ninoy di Filipina atau sikap paranoid Shah Reza Pahlavi terhadap Ayatullah Khomeini di Iran. Kekonyolan yang hanya akan semakin mendorong bangsa ini dalam sentimen negatif yang berkepanjangan dan malah menjauhkan kita dari cita-cita kemerdekaan. Insha Allah. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita