Hari Ini dalam Sejarah: Bawa Tank dan Meriam, Perwira Militer Bersama 30.000 Orang Demo Istana

Hari Ini dalam Sejarah: Bawa Tank dan Meriam, Perwira Militer Bersama 30.000 Orang Demo Istana

Gelora News
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Demonstrasi besar menuntut dibubarkannya Dewan Perwakilan Rakyat Sementara terjadi 17 Oktober 1952 atau tepatnya 68 tahun lalu. 

Aksi tersebut merupakan demonstrasi rakyat yang didukung TNI AD. Mereka menuntut DPRS diganti dengan parlemen baru.

Dilansir Harian Kompas, 13 Agustus 1970, pada 17 Oktober 1952 terjadi peristiwa yang cukup menggemparkan. Itu pertama kalinya parlemen diserbu massa. Kejadian itu hanya selang sehari setelah penerimaan mosi PNI.

Mosi PNI itu berisi permintaan diadakannya suatu panitia yang harus menyelidiki kemungkinan untuk mengadakan perubahan dalam pimpinan angkatan perang dan Kementerian Pertahanan.

Dilaporkan sebanyak 30.000 perwira militer bersama demonstran melakukan unjuk rasa menuju Istana Merdeka.

Perkakas parlemen banyak yang rusak akibat demonstrasi itu. Beberapa anggota parlemen terpaksa dilindungi.

Menteri Pertahanan kala itu adalah Sultan Hamengkubuwono IX, sedangkan sebagai Staf Angkatan Perang adalah Mayor Jenderal Simatupang. Kemudian sebagai Kepala Staf Angkatan Darat adalah Kolonel Nasution.

Di dalam tubuh Angkatan Darat diduga muncul perbedaan pendapat.

Hal itu terkait usaha peningkatan kualitas sebagai militer profesional yang hendak diwujudkan Pimpinan Angkatan Perang.

Jenderal Nasution mengatakan bahwa perasaan TNI sangat tersinggung karena DPRS mengadakan/melakukan intervensi kepada pimpinan Angkatan Darat. Padahal waktu itu TNI baru saja selesai dari perang gerilya.

Dikawal tank dan panser

Dikutip Harian Kompas, 30 November 2007, pada Jumat pagi 17 Oktober 1952, Kolonel AH Nasution menggerakkan massa demonstran dengan dikawal 2 tank, 4 panser, dan 4 meriam ke depan Istana Merdeka.

Mereka menuntut pembubaran parlemen karena dianggap didominasi orang-orang federal yang tidak ikut berjuang. Nasution lalu dilengserkan dari dinas militer.

Meski digertak, Bung Karno ternyata menolak dengan alasan, "Saya tidak mau jadi diktaktor."

Dikutip Harian Kompas, 17 Oktober 2017, hal itu disampaikan Bung Karno pada tanggal 17 sore hari.

Presiden Soekarno keluar dan berdiri di beranda Istana dan berpidato. Inti pidatonya adalah dia tak mau membubarkan DPR.

Para demonstran membubarkan diri setelah pidato itu. Demonstrasi dinilai gagal total.

Sebelum pidato, hubungan Angkatan Perang RI dengan Parlemen tegang. Di Gedung Parlemen, di sudut Jalan Lapangan Banteng Timur dengan Jalan Wahidin, terjadi debat tentang peran Angkatan Perang RI.

Ada beberapa mosi diajukan anggota DPR terkait Angkatan Perang RI. Mosi PNI juga disebut Mosi Zainal Baharudin.

Dalam mosi itu mengusulkan penghapusan posisi kepala staf angkatan perang (KSAP) dan diganti dengan kepala staf gabungan (KSAD, KSAL, dan KSAU).

Waktu itu KSAP dijabat Jenderal Mayor Tahi Bonar Simatupang dan KSAD adalah Kolonel Abdul Haris Nasution.

Esoknya Jenma TB Simatupang dan Kolonel AH Nasution dipecat dari jabatan mereka masing-masing. Sejak itu kemelut di kalangan Angkatan Darat terjadi.

Nasution dilengserkan dari dinas militer, selanjutnya Kolonel TB Simatupang dipaksa pensiun dini karena jabatan KSAP dihapus.

Sebagai langkah kompromi, tokoh netral Kolonel Bambang Sugeng dijadikan KSAD dan Kolonel Zulkifli Lubis, penentang Nasution, sebagai Wakil KSAD.

Untuk menyelesaikan beda pendapat antarpimpinan militer, Februari 1955 diselenggarakan musyawarah di Yogyakarta, dihadiri 270 perwira AD se-Indonesia, termasuk Nasution yang datang dengan pakaian sipil.

Bambang Sugeng kemudian meletakkan jabatan karena merasa tidak mampu melaksanakan Piagam Yogya, antara lain menyebutkan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Dwi Tunggal, sedangkan Bung Hatta sudah mundur dari jabatan Wapres. (*)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA