"Akhirnya Presiden Mundur"

"Akhirnya Presiden Mundur"

Gelora News
facebook twitter whatsapp



Penulis: M Rizal Fadillah

JUDUL ini tentu bukan berita di Indonesia yang masih penuh dengan kegelisahan bahkan kegoncangan akibat undang undang yang "memakan semua" omnibus law. Aksi unjuk rasa belum ada tanda berakhir. Masyarakat belum puas dengan berbagai klarifikasi tentang "hoaks" bahkan tindakan "tegas".

Adalah Presiden Kyrgyzstan, Sooronbay Jeenbekov yang baru saja mengundurkan diri akibat unjuk rasa akibat sengketa pemilihan anggota parlemen 4 Oktober 2020. Presiden Jeenbekov mengundurkan diri dengan mempertimbangkan kebaikan negara dan tidak mau mengorbankan rakyat yang tersakiti.

"Saya tidak bergantung pada kekuasaan. Saya tidak ingin turun dalam sejarah Kurzystan sebagai Presiden yang membiarkan pertumpahan darah dan penembakan terhadap rakyat. Saya telah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri," demikian ungkapan dilansir Al Jazeera 15 Oktober 2020.

Kepemimpinan yang berpikir kebaikan ke depan tentu terpuji apalagi dengan  keyakinan bahwa kekuasaan bukanlah segala-galanya.

"Mempertahankan kekuasaan tidak sebanding dengan integritas negara dan kesepakatan dalam masyarakat" kata Jeebenkov.

Unjuk rasa rakyat adalah suara kebenaran dan keadilan, bukan sasaran lawan dari kekuasaan. Substansi yang diperjuangkan senantiasa pada aspek kecurangan, keculasan atau kesewenang-wenangan. Juga berkisar pada moralitas politik, hukum, dan ekonomi yang diabaikan.

Pada November 2019 yang lalu, Presiden Bolivia, Evo Marales juga mengundurkan diri setelah unjuk rasa rakyat Bolivia yang datang bergelombang. Akhirnya dengan "terbirit-birit" ia lari meminta suaka ke Mexico City. Kekuasaan tak mampu dipertahankan dengan modal kekerasan.

Unjuk rasa di Indonesia baru tahap desakan pembatalan omnibus law yang dinilai berbahaya oleh kaum buruh dan lainnya. Implikasi bisa saja pada tuntutan pengunduran diri jika tidak ada putusan bijak. Tindakan represif bukan jawaban. Karenanya diharapkan tidak ada sikap  pemaksaan kehendak. Undang-undang ini diproduk tanpa proses dan konten yang matang dan berkeadilan.

Reaksi publik harus dibaca sebagai kritik atas pemanfaatan hukum oleh kepentingan politik yang secara telanjang dipertontonkan. Rasa malu penyelenggara negara yang hilang. DPR maupun pemerintah.

Sebagai pelajaran adalah peristiwa di Amerika Latin lagi, Mexico tepatnya. Anggota Parlemen Antonio Garcia  pada tahun 2013 berpidato sambil membuka baju kemeja dasi dengan menyisakan celana dalam saja yang dikenakannya.

"Kalian malu melihatku telanjang? Kenapa kalian tidak malu pada bangsamu? Hartanya telah kalian rampok dan curi, hingga kalian dan keluarga kalian hidup dalam kemewahan yang paripurna!?".

Ia memprotes investasi asing yang telah menggerus kedaulatan negara.

"Karena duit rela mengorbankan harga diri dan bangsa!" tegasnya.

Untung saja itu pidato di Mexico, bukan di Indonesia. (*)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA