Agus Rahardjo Duga UU KPK Satu Paket Omnibus Law Cipta Kerja

Agus Rahardjo Duga UU KPK Satu Paket Omnibus Law Cipta Kerja

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019, Agus Rahardjo menduga Undang-Undang KPK yang telah direvisi pada 2019 masih satu paket dengan omnibus law UU Cipta Kerja.

Dalam webinar membahas setahun UU KPK, Agus mengungkapkan beberapa kejanggalan di masa penyusunan revisi undang-undang tersebut. Salah satunya, pimpinan KPK sulit menemui Presiden Joko Widodo kala itu.

Padahal, kata Agus, kesempatan bertemu Jokowi pada hari-hari biasanya untuk berkonsultasi relatif mudah. Namun, kala itu, pimpinan di lembaga antirasuah sama sekali tak diberi kesempatan untuk menyampaikan masukan kepada orang nomor satu di Indonesia.

"Biasanya kalau ada sesuatu masalah, kalau kita mau konsultasi dengan Pak Jokowi pada waktu itu relatif teman-teman ini mudah. Tapi pada waktu penyusunan UU KPK itu sama sekali kemudian kesempatan itu enggak ada," kata Agus dalam diskusi yang disiarkan secara daring, Sabtu (17/10).

"Kelihatannya pada waktu itu kita betul-betul terbentur, seperti kita tidak memang dianggap untuk memberi kontribusi pada waktu penyusunan itu. Jadi itulah kejadiannya, Bapak Ibu," imbuhnya.

Walhasil, Agus mengaku selama 13 hari penyusunan pihaknya sama sekali tak mengetahui isi naskah UU KPK Nomor 19 tahun 2019 yang tengah disusun itu.

Hingga memasuki hari terakhir sebelum dibawa di rapat pleno DPR, Agus menceritakan, dirinya sempat dipaksa oleh Komisioner KPK lain, Laode M. Syarif untuk menemui Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly di kantornya. Kedatangan Agus ingin meminta naskah UU tersebut.

Namun, Agus mengungkapkan lagi-lagi usahanya itu menemui jalan buntu.

Lihat juga: Penggugat Omnibus Law Cipta Kerja ke MK Semakin Banyak
Bahkan, hingga beberapa hari setelah RUU KPK itu disahkan, ia mengaku belum mengetahui versi resmi UU KPK baru itu.

"Berhari-hari kita juga enggak tahu, versi yang resmi itu yang mana. Karena yang beredar di media ini kan kita juga enggak tahu ini, sebetulnya versi ini yang benar apa tidak kita enggak tahu," kata Agus.

Oleh karenanya, Agus menyebut kasus yang terjadi pada proses revisi UU KPK memiliki pola yang sama dengan pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Selain itu, dia berpandangan bahwa sejumlah RUU yang disahkan oleh DPR dalam kurun waktu satu tahun terakhir, bak satu paket UU yang sengaja direncanakan, termasuk UU Omnibus Law yang baru-baru ini disahkan DPR dan mendapat penolakan keras publik.

"Oleh karena itu, saya kok kalau melihat, ini kelihatannya sudah satu paket. UU KPK, undang-undang yang lain kemudian termasuk Omnibus Law ini, mungkin kita perlu memikirkan memang, jadi gerakan anti-korupsi kita ke depan itu seperti apa," ujarnya.

Dukungan Publik Melemah

Sementara itu, di sisi lain, Agus juga mengungkapkan bahwa menjelang masa penyusunan UU KPK diumumkan, lembaga antirasuah turut menerima banyak tudingan miring dari publik. KPK kerap disebut sebagai sarang Taliban.

Walhasil, menurut dia, situasi itu membuat kepercayaan publik terhadap KPK semakin melemah dan memunculkan pertanyaan di tengah publik untuk membela KPK.

"Jadi pandangan negatif terhadap KPK kemudian digemborkan terus menerus sehingga orang kemudian jadi berpikir ini KPK masih bisa dibelain atau enggak," katanya.

Agus mengaku saat ini dirinya hanya bisa berharap ke MK terkait proses uji materi UU KPK  baru yang dalam waktu dekat akan memasuki sidang putusan. Di sisi lain, ia menilai publik juga harus memikirkan cara dan strategi lain untuk kembali membentuk gerakan anti-korupsi di Indonesia.

"Strategi apa yang akan kita tentukan bersama untuk kemudian gerakan antikorupsi ke depan betul-betul bisa lebih bermakna dan tetap kuat, walaupun sekarang juga ragu-ragu," kata dia. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita