4 Sorotan Tajam Fadli Zon di Setahun Jokowi-Ma'ruf

4 Sorotan Tajam Fadli Zon di Setahun Jokowi-Ma'ruf

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Gerindra Fadli Zon menyoroti kinerja Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin dalam satu tahun terakhir ini. Fadli Zon menilai selama pemerintahan Jokowi banyak kemunduran yang dialami oleh Indonesia.
"Hari ini genap setahun usia pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Atau, jika digabungkan dengan periode pertama, hari ini adalah genap enam tahun Indonesia berada di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo. Kalau diminta menilai perjalanan setahun terakhir, apalagi enam tahun terakhir, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, cukup jelas saya melihat ada banyak sekali kemunduran yang telah kita alami. Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, rakyat dan negara sama-sama memikul beban yang kian berat," kata Fadli Zon kepada wartawan, Selasa (20/10/2020).

Fadli mencatat setidaknya ada empat permasalahan yang terjadi selama pemerintah Jokowi. Pertama, Fadli menyebut beban utang luar negeri Indonesia semakin berat di era Jokowi. Menurutnya, hal itu disebabkan adanya miskalkulasi, mismanajemen, serta kerja-kerja pembangunan tuna konsep.


Ia menjelaskan berdasarkan laporan Bank Dunia 'International Debt Statistics 2021' utang luar negeri Indonesia berada di posisi 6. Ia menyebut saat ini utang luar negeri lebih dari US$ 402 miliar.

"Selain utang luar negeri, tahun ini pemerintah juga telah menerbitkan Global Bond sebesar US$ 4,3 miliar dengan tenor 30 tahun. Artinya, utang ini akan jatuh tempo pada tahun 2050. Jadi, jangankan mengurangi beban rakyat dan negara, pemerintahan saat ini justru sedang melarikan sebagian persoalan menjadi beban bagi anak cucu kita nanti. Warisan gunungan utang. Bayangkan, dengan total utang pemerintah yang mencapai Rp 5.594,9 triliun per Agustus lalu, setiap orang Indonesia saat ini menanggung utang negara sebesar Rp 20,5 juta. Sejarah kelak mencatat, anak cucu kita menerima 'legacy' utang!" ungkapnya.

Persoalan kedua terkait beban hukum. Fadli mengatakan di era pemerintahan Jokowi telah terjadi kerusakan tatanan hukum. Ia kemudian menyinggung dua kebijakan terkait hukum di pemerintah Jokowi pada periode pertama dan kedua yakni 16 paket kebijakan hukum dan ekonomi dan Omnibus Law Cipta Kerja.

"Saya melihat pola penerbitan regulasi semacam itu bukanlah bentuk terobosan hukum, melainkan bentuk perusakan hukum. Sejauh yang bisa saya pelajari, omnibus law di negara lain paling banyak mengubah 10 undang-undang. Tapi, kebanyakan kurang dari itu. Itupun, ini perlu digarisbawahi, sebagian besar proses perumusan omnibus law umumnya hanya mencakup satu isu atau bidang saja, bukan menerabas berbagai bidang secara semena-mena," ucapnya.

"Seperti halnya 16 paket kebijakan yang pernah diluncurkan pada periode pertama lalu, misalnya telah menarik kembali sejumlah kewenangan daerah kepada pusat, maka melalui omnibus law ini kian sempurnalah sentralisasi kekuasaan yang ada di tangan Presiden. Ya, saya tak melihat kebijakan omnibus law ini sebentuk kebijakan deregulasi. Sama sekali tidak," lanjutnya.


Menurutnya, kedua kebijakan soal hukum era Jokowi itu banyak menimbulkan permasalahan.

"Alih-alih menciptakan kepastian dan stabilitas, omnibus law sudah terbukti hanya akan melahirkan konflik dan instabilitas saja. Dampak kerusakannya sangat besar sekali. Bahkan sejumlah pihak menganjurkan pembangkangan sipil," ucapnya.

Ketiga, Fadli menilai pemerintah saat ini masih bermain-main dengan sejumlah isu sensitif keagamaan. Ia kemudian menyinggung soal Menteri Agama yang dinilai berkali-kali membuat umat Islam marah karena sejumlah ucapan dan kebijakannya.

"Seharusnya di periode kedua ini Presiden Joko Widodo belajar membangun pemerintahan yang berusaha untuk melakukan proses rekonsiliasi, bukan malah kian mempertajam segregasi," ujar Fadli.

Kemudian keempat, Fadli menyebut rakyat kini bebannya kian berat. Ia menilai banyak kebijakan di era pemerintah Jokowi yang makin membebani rakyat.

"Sebelum ada pandemi Covid-19, rakyat sudah banyak terbebani kebijakan pencabutan subsidi, kenaikan tarif listrik, BBM, tol, BPJS Kesehatan, dan lain-lain. Kini, beban rakyat bertambah karena pandemi. Ironisnya, pemerintah terkesan menggunakan pandemi justru sebagai momen menolong para taipan dan pengusaha, bukan menolong rakyat kecil. Stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), misalnya, 24 persennya digunakan untuk menolong korporasi. Hanya 12 persen saja yang digunakan untuk belanja kesehatan. Itukan ironis," katanya.(dtk)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita