Setelah Uighur, China Mulai Persekusi Muslim Utsul di Sanya

Setelah Uighur, China Mulai Persekusi Muslim Utsul di Sanya

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO -  Tak hanya menyasar minoritas Muslim Uighur di Xinjiang, pembatasan agama oleh Beijing telah menyebar ke wilayah lain di negara itu. Baru-baru ini, pemerintah menargetkan Utsul, komunitas kecil Muslim kecil yang tak terlalu terkenal di Sanya, Pulau Hainan.
Dilansir dari South China Morning Post pada Senin (28/9/2020), dokumen Partai Komunis menunjukkan ‘baju tradisional’ dilarang dipakai di sekolah dan otoritas akan meningkatkan pengawasan terhadap penduduk di lingkungan Muslim tersebut untuk ‘menyelesaikan masalah’. Selain itu, peribadahan dan arsitektur ‘khas Arab’ akan dibatasi dengan lebih ketat.

Perintah larangan hijab di sekolah pun memicu protes dari sekolah-sekolah di lingkungan Utsul awal bulan ini. Dalam gambar dan video yang beredar di media sosial China, terlihat sekelompok gadis yang mengenakan hijab membaca buku teks di luar SD Tianya Utsul sambil dikelilingi petugas polisi.

“Dalam protokol resminya, tak ada etnis minoritas yang dapat mengenakan baju tradisional di halaman sekolah. Namun, bagi kami, jilbab adalah bagian tak terpisahkan dari budaya kami. Jika kami melepaskannya, kami seperti menanggalkan pakaian kami,” keluh seorang relawan komunitas Utsul yang meminta namanya tak disebutkan karena sensitifnya masalah ini.

Pemerintah China sendiri tak merasa tindakannya terhadap Muslim di Xinjiang itu salah. Mereka selalu menggunakan dalih serangan teroris sebelumnya.

Di tahun 2015, badan legislatif regional mengeluarkan undang-undang yang melarang cadar dan pakaian lainnya yang ‘mempromosikan pemikiran keagamaan ekstrem’ di Urumqi. Kata-kata itu dapat dengan mudah dihubungkan pada jilbab. Aturan itu pun diperluas ke seluruh Xinjiang 2 tahun kemudian.

Namun, tak ada alasan yang diberikan pada larangan pakaian tradisional bagi etnis Utsul Sanya. Menurut relawan komunitas itu, para wanita Utsul yang bekerja di pemerintahan kota Sanya dan cabang Partai Komunis China setempat juga dilarang mengenakan hijab ke kantor sejak akhir tahun lalu. Mereka hanya diberi tahu kalau hijab itu ‘tidak sesuai aturan’.

Dokumen Partai Komunis dari tahun lalu yang diperiksa oleh South China Morning Post dan diverifikasi oleh relawan komunitas itu hanya menyasar pada 2 lingkungan di Sanya yang kebanyakan penduduknya adalah etnis Utsul. Dokumen 4 halaman ini mengatur lingkungan tempat etnis Utsul tinggal, makan, dan beribadah.

Menurut dokumen itu, masjid harus diperkecil ukurannya saat dibangun kembali dan dilarang ‘bergaya Arab’. Aksara Arab juga harus dihapus dari etalase toko, begitu juga dengan karakter China untuk menulis kata Arab, seperti pada kata ‘halal’ atau ‘Islam’.

Pemantauan warga Utsul juga dijadikan prioritas utama untuk menegakkan ‘ketertiban sosial’ dan ‘menyelesaikan masalah’ di 2 lingkungan itu. Anggota partai Utsul juga akan diselidiki untuk memastikan mereka bukan Muslim dan akan dihukum jika terbukti taat beragama.

Selain hijab, rok panjang yang dikenakan wanita Utsul untuk menutupi aurat bagian bawah dilarang di sekolah dan tempat kerja. Masjid pun kini harus punya anggota Partai Komunis yang duduk di komite manajemen mereka untuk pemantauan.

Langkah ini serupa dengan kebijakan yang pertama kali dikembangkan di Xinjiang yang kemudian diterapkan di seluruh negeri. Di tahun 2018, Dewan Negara China mengeluarkan arahan rahasia yang memerintahkan penghapusan corak Arab apa pun dari masjid dan banyak pembatasan lainnya. Sejak saat itu, masjid di daerah atau provinsi di luar Xinjiang tak lagi menggunakan kubah, tetapi diganti dengan atap biasa atau pagoda gaya China.

Menurut relawan Utsul tersebut, pelarangan hijab ini menuai protes keras dari siswa dan keluarganya. Larangan pun dicabut untuk sementara pada Selasa (22/9) setelah ratusan siswa di 3 sekolah menolak melepas hijab mereka, sedangkan siswa lainnya memboikot kelas untuk menunjukkan dukungan.

Sayangnya, hingga saat ini, pemerintah kota Sanya menolak menanggapi permintaan komentar dari South China Morning Post.

Sementara itu, menurut Ma Haiyun, seorang profesor sejarah di Universitas Negeri Frostburg di Amerika Serikat, Xinjiang adalah ‘laboratorium’ untuk kebijakan represif terhadap Islam yang kini ditiru di seluruh China. Ma yang merupakan seorang Muslim Hui menjelaskan ada standar ganda yang jelas dalam menyikapi pakaian tradisional. Saat negara itu menargetkan minoritas, tren terbaru di kalangan milenial untuk mengenakan pakaian tradisional Han justru menuai pujian dari otoritas.

Ia juga menjelaskan wanita Utsul cenderung menganggap jilbab sebagai warisan tradisi, alih-alih tanda ketaatan agama. Hal ini disetujui oleh relawan komunitas Utsul. Ia mencatat bahwa pejabat lokal salah mengartikan adat sebagai pemaksaan agama kepada anak di bawah umur.

“Agama kita mengajarkan bahwa anak perempuan yang belum menstruasi tidak wajib memakai hijab. Namun, mereka memakainya karena kebiasaan. Itu hanya adat. Saya tak mengerti mengapa masalah ini dicampuradukkan dengan agama,” ungkapnya.

Selain itu, Ma memperkirakan penargetan Utsul di Sanya dapat menimbulkan masalah yang sebelumnya tidak ada. Meski jumlahnya jauh lebih sedikit daripada Uighur atau Hui, persekusi itu dapat merusak hubungan dengan negara-negara Asia Tenggara. Pasalnya, etnis Utsul punya ikatan budaya yang kuat dengan kawasan itu.

Utsul adalah keturunan Cham yang dulu mendiami kerajaan Champa di Vietnam. Di sana, agama Islam menjadi dominan di abad ke-17. Utsul juga punya bahasa sendiri yang mirip dengan bahasa Melayu.

Ma mengatakan Malaysia dan Indonesia telah membangun hubungan dengan Utsul beberapa tahun terakhir. Bahkan, nenek mantan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi pun seorang Utsul. Badawi juga telah mengunjungi Sanya beberapa kali.

Jika penindasan terhadap minoritas berlanjut, Ma memperingatkan sentimen anti-China di negara-negara seperti Malaysia dapat dengan mudah meluap.

“Dengan hanya menghajar kelompok kecil Utsul, citra Tiongkok di hadapan Asia Tenggara bisa rusak. Ini dapat mendorong pemerintah mereka untuk menjadi lebih populis dan memicu kebencian terhadap perantau China di negara mereka,” komentarnya.(*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita