Mengenang Cakrabirawa, 'Paspampres' Era Soekarno yang Disebut Terlibat G30S Bersama PKI

Mengenang Cakrabirawa, 'Paspampres' Era Soekarno yang Disebut Terlibat G30S Bersama PKI

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Malam itu, 30 September 1965, tepat hari ini 55 tahun yang lalu, terjadi peristiwa kelam dalam sejarah Republik Indonesia, yang disebut sebagai Gerakan 30 September (G30S atau Gestapu).

Kala itu, tujuh perwira tinggi Angkatan Darat (AD), terdiri dari enam orang berpangkat jenderal dan seorang letnan satu, diculik dan dibunuh dalam suatu upaya kudeta.

Tak cuma Partai Komunis Indonesia (PKI), sebagian anggota resimen Cakrabirawa juga disebut-sebut sebagai dalang tragedi berdarah ini.

Resimen Cakrabirawa adalah pasukan gabungan dari TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian Republik Indonesia yang bertugas khusus menjaga keamanan Presiden RI. Resimen ini dibentuk pada 2 Juli 1962, merespons berbagai upaya pembunuhan terhadap Presiden Soekarno masa itu. Para prajurit yang tergabung dalam Cakrabirawa ini mereka yang telah matang dan terlatih.

Namun, benarkah pasukan Cakrabirawa terlibat penculikan para perwira tinggi Angkatan Darat dalam G30S?

Menurut sejumlah literatur, dikatakan bahwa benar ada sejumlah prajurit yang tergabung dalam resimen Cakrabirawa yang terlibat penculikan dan pembunuhan tujuh perwira tinggi Angkatan Darat (AD). 

Namun, perlu diketahui, tidak semua anggota resimen itu terlibat. Julius Pour dalam bukunya 'Benny: Tragedi Seorang Loyalis' (2007), menulis bahwa, dari 3.000 orang anggota resimen Cakrabirawa, hanya sekitar 60 orang atau 2 persen yang terlibat.

Dari 60-an orang itu, beberapa di antaranya disebut-sebut memimpin langsung penculikan dan menembak para perwira Angkatan Darat dalam G30S, pada malam menjelang subuh, 1 Oktober 1965. Mereka menghabisi para perwira tinggi Angkatan Darat yang dianggap tidak loyal kepada presiden (Soekarno) lewat isu Dewan Jenderal. 

Mereka adalah:

1. Letnan Kolonel Untung bin Syamsuri. Letkol Untung adalah Komandan Batalion Kawal Kehormatan II Cakrabirawa. Dia lahir di Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen, Jawa Tengah pada 3 Juli 1926. 

Untung adalah mantan anak buah Soeharto saat menjadi Komandan Resimen 15 di Solo. Dia juga Komandan Kompi Batalyon 454 dan pernah mendapat didikan politik dari tokoh PKI, Alimin.

2. Letnan Satu Dul Arif. Lettu Dul Arif adalah Komandan Kompi C dari batalion yang dipimpin Letnan Kolonel Untung. Bersama Untung, dia dieksekusi mati karena memimpin penculikan.

3. Sersan Mayor Soekardjo. Dia memimpin penculikan Brigadir Donald Izacus Panjaita dan dieksekusi mati pada Oktober 1988.

4. Johannes Surono. Dia lahir di Pucungsawit, Solo. Dia adalah komandan peleton III kompi C Batalyon pimpinan Untung di Cakrabirawa, yang memimpin penculikan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo.

Surono ditangkap pada 8 Oktober 1965, dan sempat menjadi saksi dalam perkara Letkol Untung. Kala itu usianya masih 36 tahun dan ia masih beragama Islam dengan nama Surono Hadiwijono.

Tahun 1970, ia dijatuhi hukuman mati oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Pengajuan bandingnya ditolak pada 1986 dan grasinya juga ditolak pada 1989.

5. Paulus Satar Suryanto. Dia memimpin penculikan Mayor Jenderal Suwondo Parman. Satar dijatuhi hukuman mati pada 29 April 1971 oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Sebelum dieksekusi mati, Satar memakai nama Paulus Satar Suryanto, usai permohonan bandingnya ditolak.

6. Simon Petrus Solaiman. Lahir di Cepu, Blora, Jawa Tengah, pada 1927. Dia memimpin penculikan Mayor Jenderal Raden Soeprapto, yang kemudian ditembak oleh Norbertus Rohayan. Dia kemudian ditangkap pada 5 Oktober 1965, pada hari ketika Mayor Jenderal Soeprapto dan perwira Angkatan Darat lainnya dikebumikan di Taman Makam Kalibata, Jakarta.

Solaiman dijatuhi hukuman mati pada November 1969 oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Banding dan grasi yang ia ajukan juga ditolak.

7. Norbertus Rohayan. Seperti yang disebutkan sebelumnya, dia adalah penembak Mayor Jenderal Raden Soeprapto. Rohayan ditangkap pada 5 Oktober 1965 dan dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Distrik Bandung pada 8 November 1969. Februari 1987, bandingnya ditolak. 5 Desember 1989, grasinya juga ditolak.  

8. Anastasius Buang. Dia adalah penembak Mayor Jenderal Suwondo Parman. Dia sebaya dengan dengan Rohayan.

9. Sersan Dua Gijadi Wignjosuhardjo. Dia adalah penembak Letnan Jenderal Ahmad Yani. Dia ditangkap pada 4 Oktober 1965, dan dijatuhi hukuman mati pada 16 April 1968 oleh mahkamah militer distrik Jakarta.Seperti Surono, dia jugasempat menjadi saksi dalam perkara Letkol Untung. Eksekusi matinya baru dilakukan 20 tahun kemudian, tepatnya Oktober 1988, bersamaan dengan eksekusi mati Sersan Mayor Soekardjo yang memimpin penculikan Brigadir Donald Izacus Panjaitan.

Sumber: indozone
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita