Kenangan Orang Minang: Kisah Soekarno Hapus Oposisi

Kenangan Orang Minang: Kisah Soekarno Hapus Oposisi

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh: DR Dipo Alam, mantan sekretaris Kabinet Republik Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu II.

Pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit pembubaran Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945. Dengan demikian, proses penyusunan undang-undang dasar baru di Konstituante yang tinggal menyisakan perdebatan mengenai dasar negara, yang telah berlangsung sejak 1956, sesudah dikeluarkannya dekrit tadi dengan sendirinya berakhir. Peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden.

Setelah kembali kepada UUD 1945, corak pemerintahan kita kembali lagi ke sistem presidensial. Bung Karno, yang sejak 3 November 1945 hanya menjadi kepala negara, karena jabatan kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri, kini kembali menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. 

Sayangnya, kekuasaan eksekutif itu kembali kepada Bung Karno sesudah ia ditinggalkan oleh Bung Hatta. Kita tahu, pada 1 Desember 1956, Bung Hatta telah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil presiden RI.

Tanpa kehadiran Hatta di sampingnya, tak ada lagi orang yang bisa memberikan dissenting opinion kepada Sukarno. Dan hal itu juga telah membuat kekuasaan presiden jadi sangat besar. Apalagi, sebelum menerbitkan Dekrit, Presiden Sukarno sebelumnya juga telah membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 karena telah menolak anggaran belanja yang diajukan pemerintah.

Motor penolakan itu adalah PSI dan Masyumi, dua partai yang selalu bersikap kritis pada Sukarno. Penolakan DPR tadi sepertinya telah membuat Sukarno marah. Ia akhirnya mengesahkan anggaran melalui dekrit, sekaligus membubarkan parlemen pada 5 Maret 1960.

Tak lama sesudah itu, Presiden kemudian menyusun daftar anggota DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang terdiri atas 283 kursi. Mereka dilantik pada tanggal 25 Juni 1960. Dalam upacara pelantikan tersebut, Presiden Sukarno menyatakan bahwa tugas DPR-GR adalah melaksanakan Manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat, dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Sebagai catatan, seluruh anggota DPR-GR ditunjuk oleh Sukarno sendiri. 

Meskipun anggota DPR-GR mewakili berbagai golongan dan partai politik, Masyumi dan PSI tidak memiliki wakil dalam DPR-GR. Padahal, kita tahu, pada Pemilu 1955, Masyumi adalah salah satu partai pemenang Pemilu. Jumlah suara Masyumi berada di urutan kedua, dengan 20,92 persen suara, hanya kalah oleh PNI (22,32 persen). Jumlah perolehan suara Masyumi ini lebih besar dari NU (18,41 persen) juga PKI (16,36 persen).

Dengan tidak adanya perwakilan Masyumi dan PSI di dalam DPR-GR, tidak ada lagi kontrol parlemen terhadap Sukarno. Apalagi, pada 17 Agustus 1960, Presiden Sukarno secara resmi kemudian membubarkan Masyumi dan PSI.

Menurut Ahli Sejarah Indonesia M.C. Ricklefs, kedua partai tersebut dilarang sebagai akibat permusuhan para pemimpin mereka terhadap Sukarno selama bertahun-tahun, oposisi mereka terhadap gagasan Demokrasi Terpimpin, dan keterlibatan mereka dalam PRRI. Dari 283 kursi DPR-GR, lebih dari separuhnya, yaitu 154, jatuh ke tangan golongan-golongan fungsional.

Masalahnya, sebagian besar golongan fungsional tersebut sebenarnya merupakan anggota partai politik juga. PKI diperkirakan memperoleh antara 17 hingga 25 persen dari jumlah kursi. Dengan kata lain, mereka mendapatkan jumlah kursi yang jauh lebih besar dari hasil Pemilu resmi 1955. 

Adanya dominasi PKI ini, menurut Ricklefs, merupakan buah persaingan kekuasaan antara Sukarno dan Nasution. Pada saat itu, kekuasaan yang dipegang oleh Nasution memang cukup besar. Di samping jabatannya sebagai KSAD (kepala Staf Angkatan Darat), ia juga adalah ketua Gabungan Kepala-kepala Staf (GKS), atau kepala Staf Angkatan Bersenjata (KASAB).

Jabatan KASAB ini merupakan pengganti jabatan KSAP (kepala Staf Angkatan Perang), yang sebelumnya dipegang oleh Mayjen T.B. Simatupang. Berbeda dengan KSAP, pimpinan KASAB dijabat secara bergantian dari Angkatan Darat dan Udara. Jabatan Nasution bukan itu saja.

Ia kemudian juga menjabat Penguasa Perang Pusat (Peperpu), yang membawahi Penguasa Perang Daerah (Peperda). Selain itu, Abdul Haris Nasution juga menjadi anggota ex-officio Dewan Nasional dan anggota Panitia Tujuh dalam rangka penyelesaian kemelut di daerah. Dengan berbagai jabatan itu, kekuasaannya menjadi sangat besar, baik di wilayah militer maupun sipil.

Adanya kekuasaan tadi, misalnya, Nasution bisa memberedel surat kabar dan melakukan pelarangan partai politik tertentu di sejumlah daerah konflik. Pada 10 Januari 1958, misalnya, Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raja, Mochtar Lubis, diangkut ke penjara militer tanpa keterangan apa pun.

Beberapa hari sesudahnya, penahanan itu diganti dengan tahanan kota. Sukarno melihat kekuasaan Nasution yang besar tersebut sebagai ancaman. Untuk menyaingi Nasution, Sukarno kemudian menggunakan dua taktik.

Pertama, ia berusaha merebut dukungan partai-partai politik yang menguasai Jawa. Taktik ini belakangan telah membuat PKI jadi memainkan peranan besar pada masa sesudahnya. Kedua, Sukarno berusaha merangkul angkatan bersenjata lain yang berada di luar kekuasaan Nasution.

Dengan taktik kedua ini Sukarno telah menempatkan Angkatan Udara sebagai favoritnya. Sejumlah analis belakangan mengutarakan penilaian, akibat terlalu fokus menghadapi Nasution inilah yang membuat Sukarno jadi mengabaikan pergerakan politik perwira lainnya, dalam hal ini adalah Soeharto.

Disukai atau tidak, intrik antar-elite semacam itu pada akhirnya telah mendorong terjadinya konsentrasi kekuasaan yang sangat besar di tangan sejumlah orang, terutama di tangan Presiden. Sesudah parlemen hasil Pemilu dibubarkan, dan partai-partai yang beroposisi kepada Sukarno—yaitu Masyumi dan PSI—juga dibubarkan, kontrol terhadap kekuasaan jadi hampir tidak ada sama sekali.

Pers, yang pada zaman normal sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi (fourth estate), pada masa itu juga hidup dalam tekanan. Semua itu telah membuat demokrasi di Indonesia memasuki masa suram. Apalagi, pada saat bersamaan, sebagai cara untuk mengimbangi pihak militer, golongan komunis kian diberi panggung oleh Sukarno.

Pada tahun 1960-an, proses politik kian mengeras. Sukarno dan PKI, serta kelompok-kelompok yang berkolaborasi dengannya, semakin memantapkan kekuasaan. Keadaan ini tentu saja mencemaskan kekuatan-kekuatan politik lainnya. Di situlah terjadi konsolidasi kekuatan sosial keagamaan untuk membendung pemekaran politik PKI.

Buya Hamka, yang merupakan tokoh Masyumi, dengan Masjid Agung Al Azhar di Kebayoran Baru, tampil sebagai salah satu pusat perlawanan. Hamka sebelumnya adalah anggota DPR dari Masyumi mewakili Jawa Tengah. Sesudah DPR dan Masyumi dibubarkan Sukarno, konsentrasi kegiatannya berpindah dari politik praktis ke bidang dakwah Islamiah.

Masjid Agung Al Azhar menjadi pusat kegiatan dakwah Hamka. Secara perlahan-lahan, kegiatan dakwahnya mampu menyedot banyak jamaah, terutama dari kalangan menengah atau “gedongan”.  

                        ******

Sebagai sesama orang Minang (orang awak), ayahku juga ikut menjadi bagian jamaah Buya Hamka. Bukan hanya itu, belakangan ayahku juga diminta ikut membesarkan Majalah Pandji Masjarakat yang diterbitkan kembali oleh Hamka pada 1966. Di kalangan pembacanya, majalah ini populer disebut Panjimas.

Majalah Pandji Masjarakat sebenarnya pertama kali terbit pada 15 Juni 1959. Selain Hamka, pendirinya adalah K.H. Faqih Usman (pimpinan umum), Jusuf Abdullah Puar (redaksi), dan H.M. Joesoef Ahmad (pimpinan usaha).

Namun, baru setahun terbit, pada Mei 1960, majalah ini diberedel pemerintah karena dalam salah satu edisinya memuat tulisan Mohammad Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita”. Tulisan itu dianggap menyerang Sukarno dan Demokrasi Terpimpin.

Selain diberedel, Hamka, yang menjadi pemimpin Redaksi Panjimas, juga ditahan. Dua tahun sesudah Majalah Pandji Masjarakat diberedel, Hamka kembali menerbitkan majalah baru, yaitu Gema Islam. Di majalah baru ini, posisi Hamka memang hanya menjadi pembantu, bersama sejumlah tokoh Islam lainnya, seperti Sidi Gazalba, Imran Rosjadi, Aboebakar Atjeh, Osman Raliby, atau Bahrum Rangkuti.

Namun, sulit untuk menepis peran penting Hamka di situ. Sebab, melalui perantara majalah inilah Masjid Agung Al Azhar, yang merupakan kantor redaksi Gema Islam, kemudian menjadi panggung aktivitas sekaligus identik dengan nama Hamka.

Nasib Majalah Gema Islam dan Pandji Masyarakat

Menurut Fachry Ali, terbitnya Gema Islam merupakan refleksi pertentangan kekuatan politik “tingkat tinggi”. Penilaian itu menurut saya tidak berlebihan, karena penerbitan Gema Islam memang masih ada kaitannya dengan persaingan politik antara Soekarno dengan Nasution, serta persaingan antara golongan yang pro-PKI dengan yang anti-PKI.

Sesudah Harian Abadi milik Masyumi dibredel, termasuk Majalah Pedoman Masjarakat yang juga digawangi Hamka, golongan Islam memang tidak lagi memiliki corong untuk membendung propaganda dan serangan-serangan PKI. Kelahiran Majalah Gema Islam dimaksudkan untuk menghadapi semua itu. Kedudukan umat Islam pada masa itu, menurut Rosihan Anwar, memang sangat terdesak.

PKI kala itu memang sedang mendapatkan angin dan mereka tak hendak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menyingkirkan golongan Islam dari gelanggang politik. Pada situasi demikian, Gema Islam menjadi corong untuk mengkonsolidasikan kembali suara umat.



Di tengah pemerintahan yang sudah dibajak oleh golongan komunis, bagaimana bisa sebuah majalah semacam itu terbit melenggang? Kalau saya melihat kembali boks redaksi Majalah Gema Islam No. 2/Th. I, 1 Februari 1962, majalah ini diterbitkan oleh Yayasan Perpustakaan Islam Pusat. Posisi pemimpin umum dipegang oleh Brigjen TNI Soedirman. Sementara, posisi penanggung jawab dipegang oleh Letkol TNI M. Rowi. Di bawah nama dua orang tadi, tercantum posisi Dewan Redaksi, yang diisi oleh H. Anwar Tjokroaminoto, Dr. A. Mukti Ali, Letkol TNI M. Esa Idris, dan Mahbub Djunaidi.

Rusjdi Hamka, yang merupakan anak lelaki Hamka, menempati posisi Sekretaris Redaksi. H.M. Joesoef Ahmad, yang di Majalah Pandji Masjarakat menempati posisi Pimpinan Usaha, menempati posisi yang sama.



Melihat susunan pengurus tersebut, cukup jelas jika majalah ini terbit dengan dukungan tentara di belakangnya. Brigjen TNI Soedirman, yang menjadi Pimpinan Umum, adalah Kepala Komando Seskoad. Sementara, Letkol TNI Muchlas Rowi, yang menjadi Penanggung Jawab, adalah Kepala Pusat Pemeliharaan Rohani (Pusroh) TNI AD. Sulit untuk membayangkan dukungan kedua tokoh militer itu hadir tanpa sepengetahuan Nasution.

Sebagaimana telah disebut sebelumnya, kehadiran Majalah Gema Islam dan berpindahnya aktivitas Hamka ke Kebayoran Baru telah menjadikan Masjid Agung Al Azhar bukan hanya sebagai pusat kegiatan dakwah, melainkan juga menjadi pusat dari oposisi ideologis terhadap golongan komunis dan pendukungnya. Tak heran, pada masa itu Hamka kerap jadi obyek serangan koran-koran PKI dan sejumlah teror lainnya.

Misalnya, salah satu karya Hamka, Tenggelamnya Kapal van der Wijk (1939), dituduh orang-orang PKI sebagai karya plagiat atas karya Jean-Baptiste Alphonse Karr berjudul Sous les Tilleuls (1832). Puncak teror dan fitnah golongan komunis adalah ketika Hamka dituduh hendak membunuh Bung Karno, yang membuatnya harus mendekam dalam penjara selama lebih dari dua tahun.



Sesudah kekuasaan Soekarno surut, dan PKI dibubarkan, pada 5 Oktober 1966 Majalah Pandji Masjarakat kembali terbit. Kali ini, majalah ini diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam, yang dipimpin Hamka sendiri. Pengasuh lamanya, Jusuf Abdullah Puar, menyatakan diri keluar. Sementara, K.H. Faqih Usman saat itu sudah meninggal.

Dari para pengasuh lama, yang masih tinggal adalah Hamka dan H.M. Joesoef Ahmad. 
Selain para pengasuh lama, menurut Kurniawan Junaedhi, Pandji Masjarakat generasi kedua ini juga diisi oleh para pengurus baru, yaitu Hasjim Sutan Pamenan, H. Sjafril Umar Ali, H. Amiruddin Siregar, H.M. Yunan Nasution, Zulfikar Yusuf Ahmad, dan H. Rusjdi Hamka. 

Ayahku, H. Sjafril Umar Ali, bukan hanya menjadi staf biasa di Madjalah Pandji Masjarakat generasi kedua ini. Sebagai pengusaha, ayah diminta menjadi pemimpin perusahaan. Ia tercatat menjadi Pemimpin Perusahaan Panjimas sejak pertengahan tahun 1967.

Saya tidak ingat hingga tahun berapa ayahku menjadi pemimpin perusahaan di sana. Namun, kalau dari penelusuran arsip yang saya lakukan, sejak akhir tahun 1969, nama ayahku tak lagi masuk di dalam boks pengasuh Majalah Pandji Masjarakat.

Sebagai corong umat, Majalah Panji Masyarakat saya kira termasuk majalah yang berumur panjang. Saat media umat lainnya patah tumbuh dalam siklus yang cepat, Panjimas adalah corong umat Islam yang bertahan lama, bukan hanya melewati fase Orde Lama, tapi juga hingga melewati Orde Baru. 

Sesudah sempat berhenti terbit pada pertengahan dekade 1990-an, majalah ini, misalnya, kembali terbit pada 1997 dengan manajemen, wajah dan positioning baru.

Jika sebelumnya majalah ini menyebut dirinya sebagai “Madjalah Penjebar Kebudajaan dan Pengetahuan untuk Perdjuangan Reformasi dan Modernisasi Islam”, yang kemudian diperbarui menjadi “Majalah Penyebar Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan untuk Dakwah dan Pembangunan Umat”, maka sesudah terbit kembali pada 1997, majalah ini menggunakan tajuk “Mingguan Berita Khas”. 

Secara umum isinya mirip dengan majalah berita mingguan umum. Namun, Panji menyediakan rubrik khas. Tiap edisi, Panji Masyarakat baru ini memuat sisipan berukuran lebih kecil yang diberi nama “Khas”. Sisipan ini mirip seperti majalah tersendiri. Ada sejenis liputan utama dan sejumlah rubrik yang semuanya bernuansa keagamaan.

Misalnya, ada rubrik “Pengalaman Religius”. Isinya adalah pengalaman keagamaan para tokoh atau artis. Tiap edisi mengangkat pengalaman satu tokoh. Rubrik lainnya adalah “Tafsir”. Sesuai namanya, rubrik ini berisi tafsir ayat-ayat Al Qur’an.

Ada juga rubrik “Muzakarah” yang isinya adalah konsultasi keagamaan. Pendek kata, semua hal yang terkait dengan soal keagamaan sebagaimana yang menjadi isi Majalah Panjimas versi lama, kini dipisahkan pada sisipan Khas tersebut.

Pada edisi-edisi awal, nama Rusjdi Hamka saya lihat masih tercantum sebagai Pemimpin Redaksi.

Bedanya, kini Rusjdi didampingi oleh dua Wakil Pemimpin Redaksi, yaitu Syu’bah Asa dan S. Sinansari Ecip. Sesudah Rusjdi, jabatan pimpinan redaksi kemudian dipegang oleh Uni Zulfiani Lubis. Majalah Panji versi baru ini secara visual dan isi, menurut saya, adalah versi terbaik dari Panjimas. Tampilan visualnya hanya bisa disaingi oleh Majalah Ummat.

Sebagai majalah berita, berkali-kali Panji mengangkat dan menginvestigasi kasus-kasus besar dan sensitif. Namun demikian, dengan latar belakang sejarahnya, majalah ini tak kehilangan perannya sebagai penyambung lidah umat. Inilah yang membedakannya dengan majalah berita lainnya, seperti Gatra, Sinar, Forum, dan juga Tempo.

Sayangnya, format terbaik Majalah Panji Masyarakat ini tak berumur panjang. Pada tahun 2001, majalah ini berhenti terbit. Saat terbit kembali pada Oktober 2002, namanya berubah menjadi “Panjimas”. Slogannya juga berubah menjadi “Majalah Islam Representatif”. Jika sebelumnya terbit mingguan, versi terkini Panjimas ini terbit dwi mingguan.

Sayangnya lagi, Panjimas versi baru ini sepertinya kurang matang melakukan riset pasar. Terbukti, sesudah tahun 2003, saya tak lagi mendengar kabar majalah ini.

Hingga hari ini, kalau mendengar kembali nama “Panji Masyarakat”, atau “Panjimas”, ingatan saya akan kembali lagi ke masa lalu. Saya memang punya banyak memori dengan majalah tersebut. Selain karena saya pernah menjadi loper majalah ini sewaktu sekolah dulu, ayahku juga pernah menjadi pengasuhnya. []
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita