Rencana IPO Anak Usaha Pertamina: Inkonstitusional Dan Tidak Adil!

Rencana IPO Anak Usaha Pertamina: Inkonstitusional Dan Tidak Adil!

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


Oleh: Marwan Batubara
PEMERINTAH segera menjual saham (initial public offering, IPO) anak-anak usaha (sub-holding) Pertamina di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pengkondisian dan kajian pelaksanaan IPO sedang disusun. Menurut Menteri BUMN Erick Thohir, IPO antara lain bertujuan mencari dana murah dan memperbaiki good corporate governance (GCG), transparansi, dan akuntabilitas.

IPO atau privatisasi suatu perusahaan di BEI guna memperoleh dana dan meningkatkan GCG merupakan hal lumrah. Masalahnya, karena perusahaan yang akan di-IPO anak usaha BUMN, maka persoalan menjadi lain.

Apa pun alasannya, IRESS menilai rencana tersebut harus dibatalkan karena berlawanan dengan konstitusi. Apalagi, ternyata dana yang murah dan peningkatan GCG justru dapat diraih tanpa harus IPO!

Pertamina telah memperoleh kredit dengan tingkat bunga rendah tanpa IPO. Sejak 2011 hingga awal 2020 total obligasi Pertamina mencapai sekitar 12,5 miliar dolar AS dengan tingkat bunga (kupon), tergantung tenor dan kondisi pasar, antara 3,1% hingga 6,5% (weighted average kupon sekitar 4,3%). Nilai kupon tersebut ternyata lebih rendah dibanding kupon PGN yang telah IPO, yakni 5,125% (1,35 miliar dolar AS, 5/2014).

Kupon rata-rata obligasi Pertamina (4,30%) yang tidak go public tidak lebih tinggi (atau hampir sama) dengan kupon obligasi sejumlah BUMN go public.

Misalnya kupon-kupon obligasi Bank Mandiri 4,7% (2,4 miliar dolar AS, 4/2020), BTN 4,25% (300 juta dolar AS, 1/2020), BNI 8% (Rp 3 triliun, 11/2017), dan Jasa Marga 8% (300 juta dolar AS, 12/2017). Ini menujukkan meski tidak go public/IPO, Pertamina mampu memperoleh “dana murah” dengan tingkat kupon lebih rendah atau setara dengan kupon BUMN yang sudah IPO.

Peringkat utang Pertamina malah bisa lebih baik (kupon lebih rendah) jika obligasi yang diterbitkan mendapat jaminan pemerintah. Karena saham negara di Pertamina masih 100%, jaminan pemerintah terhadap Pertamina otomatis melekat. Dengan jaminan pemerintah, tanpa IPO Pertamina justru dapat mengakses dana lebih murah dibanding BUMN yang sudah IPO.

Terkait GCG, masalah justru timbul dari para pejabat pemerintah, hingga level Presiden. Intervensi pemerintah telah merusak kinerja BUMN, sehingga peringkat utang bisa turun.

GCG Pertamina akan otomatis meningkat, jika oknum pejabat pemerintah mampu menahan dan tidak menjadikan BUMN sebagai sapi perah. Selain itu, Pertamina pun harus dijadikan sebagai non-listed public company (NLPC), terdaftar di BEI tanpa harus menjual saham meski hanya 1% pun. Dengan begitu, GCG-nya akan meningkat lebih baik.

Jelas terlihat tanpa IPO, target dana murah dan perbaikan GCG dapat tercapai. Kuncinya ada pada pemerintah yang sering melanggar GCG. Kebijakan pencitraan Pilpres 2019 membuat Pertamina menanggung beban subsidi 2017-2019 sekitar Rp 96,5 triliun. Jika tidak segera dilunasi, Pertamina berpotensi gagal bayar.

Karena itu, kita ingatkan agar pemerintah dan manajemen Pertamina, untuk berhenti memanipulasi informasi dengan mengatakan: IPO anak usaha Pertamina diperlukan agar dapat mengakses dana murah dan meningkatkan GCG.

Inkonstitusionalitas IPO Anak Usaha Pertamina

Menurut Pasal 33 UUD 1945, Pertamina adalah BUMN yang mendapat mandat negara memenuhi hajat hidup orang banyak dan mengelola sumber daya alam (SDA) migas, guna bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Ada 3 aspek penting Ayat 2 dan Ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 yaitu:
1. Pemenuhan hajat hidup publik.
2. Pengelolaan SDA.
3. Pencapaian target sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dominasi BUMN mengelola SDA ini telah diperkuat Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No.36/2012 dan No.85/2013. Pada prinsipnya MK menyatakan penguasaan negara terhadap SDA dijalankan dalam bentuk pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan.

Kekuasaan negara dalam pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan dan pengawasan ada di tangan Pemerintah dan DPR. Sedangkan penguasaan negara dalam pengelolaan SDA berada di tangan BUMN.

Amanat Pasal 33 UUD 1945 di atas diimplementasikan dalam peraturan operasional yang termuat dalam UU BUMN No.19/2003 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.35/2004.

Pasal 77 huruf (c) dan (d) UU BUMN No.19/2003 menyatakan: Persero tidak dapat diprivatisasi karena: (c), oleh pemerintah ditugasi melaksanakan kegiatan berkaitan dengan kepentingan masyarakat; dan (d), bergerak di bidang SDA yang diatur UU tidak boleh diprivatisasi.

Sedangkan Pasal 28 ayat (9) dan (10) PP Hulu Migas No.35/2004 berbunyi sebagai berikut: (9) Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada Menteri mengelola Wilayah Kerja habis Kontrak; dan (10) Menteri dapat menyetujui permohonan dimaksud, dengan menilai kemampuan teknis dan keuangan, sepanjang saham Pertamina 100% dimiliki negara.

Gabungan ketentuan Pasal 77 UU BUMN No.19/2003 dan ketentuan Pasal 28 ayat 9 & 10 PP No.35/2004 menyatakan, sepanjang menyangkut hajat hidup orang banyak dan pengelolaan SDA, maka pelaksananya hanyalah BUMN/Pertamina.

Hak istimewa pengelolaan SDA hanya diberikan negara kepada Pertamina jika saham pemerintah di Pertamina masih utuh 100%. Jika saham pemerintah kurang dari 100%, maka privilege akan hilang. Artinya, anak usaha yang sudah IPO tidak berhak mendapat privilege mengelola SDA.

Sebagai contoh, karena 100% sahamnya milik negara, Pertamina berhak mengelola Blok Rokan. Jika anak usaha Pertamina yang berfungsi mengelola Blok Rokan kelak di-IPO, maka terjadilah privatisasi.

Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 77 UU BUMN No.19/2003 yang melarang privatisasi BUMN pengelola SDA sesuai konstitusi. Jika anak usaha tersebut tetap di-IPO maka telah terjadi pelanggaran konstitusi dan UU.

Skema IPO Tidak Berkeadilan

Jika IPO anak usaha Pertamina tetap dijalankan, maka publik pembeli saham anak usaha tersebut otomatis menikmati hak istimewa penguasaan SDA negara. Sedang mayoritas rakyat yang miskin atau tidak punya dana, tidak berkesempatan menikmati hak istimewa tersebut. Apalagi jika pembeli saham adalah warga negara atau negara asing. Kondisi ini tentu tidak adil dan bertentangan dengan sila ke-4 Pancasila.

Selain itu, penguasaan SDA migas oleh BUMN 100% milik negara akan menjamin 100% keuntungan BUMN dinikmati seluruh rakyat rakyat melalui mekanisme APBN. Jika sebagian saham BUMN dijual, maka keuntungan BUMN akan terbagi kepada para pemegang saham publik/asing. Kondisi ini juga tentu tidak adil.

Artinya terjadi pelanggaran terhadap mekanisme distribusi manfaat SDA yang berkeadilan sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.

Sebagai kesimpulan, IPO anak usaha melalui skema unbundling harus segera dihentikan karena selain inkonstitusional dan bertentangan dengan aturan berlaku, juga melanggar prinsip persamaan dan keadilan sesama anak bangsa.

Sesuai konstitusi, larangan privatisasi sektor SDA berlaku bukan hanya terhadap induk usaha, tetapi juga terhadap anak usaha BUMN. Karena itu, rekayasa licik pembentukan subholding untuk tujuan IPO anak usaha, yang lebih ditujukan untuk kepentingan oligarki dan kapitalis liberal, juga harus segera dihentikan.
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita