Putra Pramono Anung Jadi Calon Tunggal, Masyarakat: Ini Sudah Kebablasan

Putra Pramono Anung Jadi Calon Tunggal, Masyarakat: Ini Sudah Kebablasan

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO -  Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 diputuskan tetap digelar di tengah pandemik Covid-19. Kabupaten Kediri, Jawa Timur, menjadi salah satu dari 270 daerah di Indonesia yang akan menyelenggarakan Pilkada.

Geliat menyambut Pilkada 2020 sudah terasa sejak awal gawe tersebut diselenggarakan. Berbagai nama santer muncul ikut serta di pilkada. Bahkan, sejumlah bakal calon berlomba-lomba mendaftarkan diri berharap rekomendasi dari partai untuk bisa maju di Pilkada Kabupaten Kediri.

Wakil Bupati Kediri Masykuri termasuk salah satu yang mengambil formulir pendaftaran bakal calon di sejumlah partai.

Nama Hanindhito Himawan Pramono, putra dari Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung sudah santer terdengar ikut maju di Pilkada Kabupaten Kediri. Berbagai teka-teki tersebut akhirnya terjawab ketika DPP PDIP memberikan rekomendasi pada Hanindhito. Ia bergandengan dengan Dewi Mariya Ulfa yang merupakan Ketua Fatayat NU Kabupaten Kediri.

Munculnya rekomendasi itu membuat pupus harapan sejumlah bakal calon yang sudah mengambil formulir dari PDIP. Tinggal harapan dari partai lain yang diharapkan mau memunculkan figur baru yang mampu menyaingi jago PDIP tersebut.

Lagi-lagi sejumlah bakal calon harus kembali menelan kekecewaan. Sejumlah partai politik di Kabupaten Kediri justru berduyun-duyun memberikan rekomendasi pada Dhito di pilkada.

Selain PDI Perjuangan, partai lain yang juga memberikan rekomendasi yakni Partai NasDem, PKB, dan PAN, Partai Golkar dan Partai Gerindra. Ini hampir seluruh kursi di legislatif mendukung pasangan itu maju di pilkada. Pasangan Dhito-Dewi tentunya di atas angin.

Sejumlah partai politik di Kabupaten Kediri nyatanya memang tak keberatan pada sosok Dhito yang dijagokan di pilkada. Mereka menilai Dhito sosok yang muda dan visioner.

Dhito dan Dewi dipastikan menjadi calon tunggal di Pilkada Kabupaten Kediri. Ini setelah hampir semua partai politik memberikan rekomendasi untuk pasangan ini.

Namun, partai politik justru mengaku tidak keberatan dengan calon tunggal. Seperti yang dikatakan oleh Ketua DPD Partai NasDem Kabupaten Kediri Lutfi Mahmudiono. Dirinya menyebut calon tunggal juga sah, karena sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Bagi Lutfi, Dhito memberikan harapan untuk perbaikan Kabupaten Kediri ke depan. Menurut dia, hal itu sesuai dengan perjuangan partai nya yang ingin perbaikan pemerintahan.

“Kami dukung Dhito. Ia masih muda, responsif, dan cocok untuk Kabupaten Kediri ke depan. Dhito juga visioner dan saya melihat pandangannya ke depan juga bagus,” ucap Lutfi saat dikonfirmasi belum lama ini.

Selain itu, ia juga berharap ke depan pemerintahan Dhito akan lebih tertata. Selama ini, Kabupaten Kediri mendapatkan sisa lebih perhitungan anggaran (Silpa) cukup besar, di atas Rp500 miliar.

Ia juga ingin reformasi pelayanan publik di Kabupaten Kediri menjadi lebih baik. Dengan itu, masyarakat akan lebih mudah mengakses berbagai macam pelayanan publik.

Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kabupaten Kediri Dodi Purwanto menambahkan DPP PDIP telah memutuskan rekomendasi untuk pasangan bakal calon Dhito dan Dewi Mariya Ulfa di Pilkada 2020. Untuk itu, seluruh kader juga harus mematuhi rekomendasi dan all out memenangkan pasangan itu.

“Kami harapkan semua lini bergerak untuk kemenangan masyarakat Kabupaten Kediri,” kata Dodi Purwanto yang juga ketua DPRD Kabupaten Kediri ini.

Masyarakat kecewa

Fenomena calon tunggal saat pilkada nyata nya tidak bisa diterima oleh semua warga. Seperti yang dikatakan oleh Ketua Kediri Corruption Watch (KCW) Muhammad Karim Amirullah.

Ia berharap saat pilkada nantinya partai politik akan berlomba memunculkan figur yang dinilai mampu memimpin Kabupaten Kediri. Nyata nya, harapan itu pupus setelah partai politik hanya memunculkan pasangan Dhito-Dewi.

Padahal, partai politik di Kabupaten Kediri telah berlomba-lomba menyelenggarakan konvensi. Beberapa kader yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas juga muncul.

Kebijakan partai politik di luar ekspektasi. Bakal calon yang dinilai kuat justru tersingkir dan yang dinilai kurang memahami aspek politik di Kabupaten Kediri justru jadi figur yang dicalonkan.

“Malah dapat calon yang kemudian ‘tidak pernah aktif, bukan aktivis, kurang memahami aspek politis’ menjadi calon. Ini yang saya katakan sesuatu yang memprihatinkan di Kabupaten Kediri,” katanya dengan kecewa.

Muhammad Karim menyayangkan kebijakan partai politik tersebut. Dirinya menilai hal itu diputuskan partai karena hanya bersifat kepentingan dan bukan esensial dari negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan Pancasila.

Kekecewaan juga diungkapkan oleh pengamat politik di Kediri, Taufik Al Amin. Ia menyesalkan sikap partai politik di Kabupaten Kediri yang modelnya seperti dikuasai para elite partai.

Dicontohkan, banyak nama-nama yang muncul ke publik, namun nyata nya tidak diproses. Disebutnya, partai tidak memiliki komitmen guna menjaring nama di masyarakat, terlepas nantinya bakal dipilih oleh rakyat atau tidak.

Hingga akhirnya hanya satu nama. Itu pun merupakan proses internal partai sendiri yang tidak melibatkan publik.

“Kita lihat nama itu entah Mas Dhito atau Mbak Dewi belum terjaring di publik,” kata dia kecewa.

Dosen IAIN Kediri tersebut juga menambahkan dengan belum terjaring nya itu memantik kekecewaan untuk tidak adanya hubungan yang semestinya bagian dari infrastruktur politik yang proaktif terhadap aspirasi masyarakat.

Disebutnya, yang terjadi saat ini adalah pembicaraan melalui perebutan kekuasaan yang menguntungkan partai. Publik yang menjadi penonton tidak tahu beritanya termasuk akhirnya bagaimana.

Menurut dia, kondisi di Kabupaten Kediri tidak sehat, karena demokrasi dari masyarakat. Seharusnya, masyarakat yang memberikan suara, menjaring nama. Kemudian partai mengolah semua itu. Namun, yang terjadi kini yang ditentukan partai disuguhkan ke publik.

Masyarakat tidak paham apa yang terjadi dalam proses internal partai, sehingga terputus antara publik dan partai tidak tersambung.

“Mending satu atau dua direpresentasikan dinamika di masyarakat diakomodasi partai. Ini tidak. Kekuatan beberapa kelompok saja yang tentukan dan publik disuruh memilih. Diborong semua rekomendasi. Publik disuguhkan itu, tidak ada pilihan lain,” tukas Taufik.

Kendati tidak bisa dikatakan politik dinasti di Pilkada 2020 ini, karena di Pilkada 2020 ini tidak ditentukan oleh salah satu keluarga yang kuasai politik (Kabupaten Kediri selama 20 tahun dipimpin suami istri), cara pandang atau frame politik di Kabupaten Kediri selama ini diserahkan ke elite politik dan hal ini telah berjalan lama.

Menurut dia, hal ini tentu nya menjadi evaluasi bahwa civil society dan partai politik tidak berdaya menghadapi format politik yang sifatnya top down.

Pilkada ini tentunya menjadi tantangan bagi masyarakat. Di pilkada ini wajah demokrasi dinilainya memprihatinkan, karena tidak ada pendidikan politik. Bahwa masyarakat dilatih untuk menyampaikan aspirasinya tidak ada. Fungsi partai hanya sebagai bagian dari pendidikan politik pun tidak jalan.

Ia juga mengevaluasi sebenarnya warga Kediri dan umumnya masyarakat Jawa, terlebih di Mataraman sangat menghormati kedudukan seseorang entah yang punya jenjang kebih ataupun yang sudah sepuh. Masyakat yang kental dengan budaya Jawa ini dimanfaatkan, memberikan ruang para penguasa untuk melanggengkan kekuasaan.

Masyarakat di Kediri cara pandangnya selama ini juga percaya pada jabatan. Hal ini lalu dikapitalisasi, dipertahankan terus sampai pilkada langsung pun tidak ada calonnya.

“Ini sudah keblablasan menurut saya. Kecuali dinamika masyarakat, silakan, karena kedaulatan di tangan mereka. Ini kan di dalam kekuatan elite politik saja yang terjadi,” ujar Taufik Al Amin.

Namun, bagaimana dengan kotak kosong di Pilkada Kabupaten Kediri. Hal itu masih belum bisa ditentukan.

Jalur perseorangan kini sudah ditutup dan tidak ada pasangan yang mendaftar. Pun jika hendak maju lewat partai kursi yang tersedia masih kurang. Pasangan Dhito-Dewi telah memborong rekomendasi dari partai.

Rekomendasi dari jalur partai politik kini hanya menyisakan enam kursi parlemen yakni dari Partai Demokrat dengan kepemilikan tiga kursi parlemen, PPP dengan dua kursi parlemen dan PKS dengan satu kursi parlemen. Kursi di legislatif ada 50, padahal minimal dukungan 10 kursi.

Buntut dari kekecewaan warga tersebut, gaung untuk memenangkan kotak kosong di Kabupaten Kediri nyaring terdengar. Hal itu sebagai ungkapan kekecewaan karena fenomena calon tunggal tersebut.

Sony Sumarsono, salah seorang warga Kediri mengatakan fenomena calon tunggal tersebut disebutnya kemunduran demokrasi. Padahal, masih banyak calon yang berpotensi besar bisa membangun Kabupaten Kediri.

“Sangat disayangkan, padahal saat penjaringan calon di tingkat partai banyak yang bermunculan,” ujar Sony yang juga ketua lembaga swadaya masyarakat (LSM) Garda Depan Penegak Demokrasi (Gada Paksi) Kediri ini.

Bukan hanya Sony yang mengaku kecewa, melainkan banyak warga Kabupaten Kediri lainnya yang juga menyayangkan. Bahkan, sejumlah partai politik peserta Pemilu 2019 yang tidak mendapatkan kursi di legislatif juga menolak calon tunggal. Bahkan, mereka mendukung gerakan memenangkan kotak kosong.[]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita