Lebih 3 Kali Jokowi Marah soal Corona, Tak Ada Menteri yang Dipecat

Lebih 3 Kali Jokowi Marah soal Corona, Tak Ada Menteri yang Dipecat

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Pemerintah merancang stimulus ekonomi untuk pemulihan akibat dampak COVID-19. Pada 27 Juli, Jokowi menyebut penyerapan dana stimulus sebesar Rp695 triliun, baru terserap 19 persen atau Rp136 triliun.

Rendahnya penyerapan stimulus, di antaranya terjadi pada sektor perlindungan sosial 38 persen, UMKM 25 persen, termasuk penempatan dana di Himbara Rp30 triliun.

“Di sektor kesehatan baru terealisasi 7 persen. Demikian juga untuk sektor pemerintah daerah juga baru terserap 6,5 persen. Insentif usaha 13 persen,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta ini.

Ia meminta agar para menteri bekerja cepat dan optimal untuk menyerap dana. Di antaranya lewat Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi.

“Saya ingatkan kalau masalahnya ada di regulasi, di administrasi, segera dilihat betul. Kalau memang regulasi ya revisi regulasi itu agar ada percepatan,” ungkap Jokowi sembari ingatkan Indonesia masih di situasi krisis akibat Corona.

Di hari berikutnya, Jokowi saat berpidato saat acara pendidikan TNI-Polri secara tak langsung melanjutkan kemarahannya pada prosedur birokrasi Indonesia yang lambat.

“Tata kelola pemerintahan kita semuanya memang harus berubah semuanya. Terlalu banyak peraturan yang membelenggu kita sendiri,” katanya.

Jokowi juga mengingatkan di tengah kerumitan birokrasi, ada ancaman badai ekonomi dunia akan terkontraksi minus 6 hingga minus 7,5. IMF, kata Jokowi, memproyeksikan di akhir 2020, pertumbuhan ekonomi 0,5 persen, termasuk tiga besar dunia setelah Cina dan India.

Lambatnya birokrasi penanganan Corona juga disinggung Jokowi pada 29 Juli saat pelantikan pamong praja muda dari IPDN. Saat krisis kesehatan, kata dia, diperlukan kerja cepat yang berorientasi pada hasil dan rakyat bisa langsung terkena dampak positifnya.

“Saya mengajak saudara dari cara kerja yang rumit, yang lambat, jadi cara kerja yang cepat. Dari regulasi yang banyak dan rumit ke regulasi yang sedikit dan sederhana. Dari SOP yang berbelit-belit ke SOP yang mudah dan sederhana,” ujarnya.

Jokowi menampik, nada bicara tinggi saat bicara bukan karena marah, melainkan memotivasi para menteri untuk bekerja lebih cepat.

"Oleh sebab itu saya minta para menteri untuk bekerja keras, tapi kalau mintanya dengan nada yang berbeda yang untuk memotivasi para menteri untuk bekerja lebih keras lagi, bukan marah, memotivasi agar lebih keras lagi bekerjanya," kata, melansir Antara.

Terkait perombakan kabinet, menurut peneliti CSIS Arya Fernandes, pertimbangan Jokowi harus berdasarkan evaluasi.

Menurut Arya, melalui evaluasi tersebut Presiden bisa segera mengganti menteri yang masih lambat dalam proses pencairan anggaran dan tidak mampu menjalankan program pemerintah secara cepat.

"Kalau ada menteri yang tidak punya sense of crisis, atau kerjanya lambat, 100 persen hak prerogratif presiden untuk mencopot, dan tugas Presiden untuk membereskannya," ujar Arya kepada Antara.

Reshuffle kabinet, kata dia, sebaiknya menjadi pembicaraan internal istana, bukan menjadi konsumsi publik yang bisa menjadi bola liar.

Ia menambahkan saat ini masyarakat lebih membutuhkan adanya efektivitas program untuk mengatasi COVID-19, baik melalui penyaluran bantuan sosial, kartu prakerja maupun berbagai subsidi serta relaksasi. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita